Tanpa pikir lama saya naikkan sepeda saya, dan ikut menuju kota Merudu. Di dalam van itu, saya ngobrol banyak dengan pengemudi baik hati itu. Cik Man namanya. Ia menanyakan pekerjaan saya, tentang Indonesia, dan lainnya. Senang sekali rasanya saya mengikuti obrolan dari Bapak dan Ibu berhati mulia ini.
Cukup jauh ia mengantar saya, kira-kira 25 km saya tiba di pusat kota dan berhenti di sebuah kedai. Diam-diam saya ambil uang dari dompet saya, sebagai ucapan terima kasih. Tetapi, Ibu dan Cik Man tidak mau menerima uang itu. Saya hanya bisa tersenyum takjub dan mengulangi ucapan terima kasih saya. Kedua pasang suami-istri itu berlalu menuju tempat tujuan.
Saya berhenti di sebuah kedai, memesan es kopi dan makanan untuk makan siang. Sambil menunggu, saya menghubungi teman yang akan menjemput dan memberitahu posisi saya terbaru. Selesai makan, saya berpikir akan lebih mudah ke SPBU terdekat supaya mudah ditemukan nanti.
Saya meninggalkan kedai, menuntun sepeda menuju SPBU Shell. Saya berganti pakaian di toilet lalu duduk di dekat tempat saya memarkir sepeda. Menunggu di SPBU serba salah memang, karena tidak bisa bermain HP untuk mengisi waktu. Saya cuma celingak-celinguk melihat mobil lalu-lalang datang mengisi dan meninggalkan pompa bensin setelah tangki bahan bakar terisi.
Setelah agak lama duduk menunggu, seeorang keluar dari mobil Toyota Hilux double cabin berwarna jingga metalik. Laki-laki seumuran saya itu bersalaman, menyapa ramah. Tetapi saat bersalaman ada yang aneh dengan telapak tangannya. Ternyata, ia menyelipkan beberapa puluh ringgit untuk saya, jumlah yang cukup besar.
“Pak Cik tidak apa saya, uang ini untuk Pak Cik saja, saya sudah mempersiapkan uang untuk perjalanan ini.” Ucap saya berupaya menolak.
“Tidak apa, saya juga suka bersepeda. Janganlah tolak rejeki.” Ucapnya ramah.
Dibilang jangan tolak rejeki, luluh hati ini. Saya akhirnya menerima uang itu.
“Jom saya antar ke kedai basikal dekat sini.” Ajaknya
Dengan senang hati, saya menaiki sepeda ke Hiluxnya. Ternyata di dalam Hilux itu ada istri dan kedua anaknya yang dengan ramah tersenyum kepada saya. Kurang dari 15 menit perjalanan, kami tiba di kedai. Di situ saya mengobrol, berkenalan. Penolong berhati berlian ini bernama Cikgu Pong. Dipanggil Cikgu karena profesinya adalah pengajar, sama seperti saya.
Cikgu Pong bercerita jika ia juga punya hobi bersepeda, atau touring dengan motornya ke tempat-tempat eksotis di Sabah, lalu berkemah. Ia juga pernah melintasi batas negara dengan motornya, masuk ke tengah pulau Kalimantan Indonesia.