PROBLEMATIKA AMBIGUITAS, HUKUM DAN DUNIA NYATA
Luasnya norma-norma sosial biasanya cukup untuk mendukung beberapa variasi dalam kepercayaan. Tanpa melanggar norma umum suatu budaya, masyarakat dapat mengembangkan kode etik pribadi yang mencerminkan sikap dan keyakinan yang berbeda. Sebagai contoh, setiap orang sepakat bahwa mengambil sesuatu yang bukan miliknya adalah perilaku tidak etis. Akan tetapi kita tidak dapat seyakin itu ketika menemukan uang Rp. 100.000 dan tidak tahu siapa yang menjatuhkannya? Mengambilnya tidak melanggar etis bagi masyarakat sekuler, tapi tidak demikian bagi masyarakat agamis.
Tatanan sosial dan peradaban bergantung pada hukum formal seperti norma etika atau norma sosial yang berlaku. Ironisnya, kita sering mencoba membuat undang-undang yang tidak ambigu, namun penafsiran dan penerapannya bisa ambigu karena situasi nyata seringkali bisa ditafsirkan berbeda. Sayangnya, epidemi skandal-skandal besar seperti yang terjadi pada Enron Corporation, WorldCom, Toshiba, Electro Scientific Industries, hanya sebatas menunjukkan seberapa besar orang ingin memanfaatkan situasi yang secara potensial bersifat ambigu – situasi inilah yang sesungguhnya memunculkan skandal tersebut (Patsuris, 2002).
DARIMANA HARUS MEMULAI?
Etika adalah keyakinan terhadap tindakan benar dan yang salah, atau baik dan buruk, yang akan mempengaruhi hal lainnya. Nilai-nilai dan moralitas personal yang dianut seseorang dan kaitannya dengan konteks sosial menentukan suatu perilaku dianggap ethical atau unethical.
Etika bisnis sendiri adalah seperangkat prinsip dan nilai yang mengatur perilaku serta tindakan perusahaan dalam konteks bisnis. Etika bisnis mencakup aspek moral dan etika yang berlaku dalam lingkungan bisnis, seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab social. Benturan antara etika bisnis dengan kepentingan bisnis kerap terjadi ketika keputusan bisnis yang diambil bersinggungan dengan nilai-nilai etika yang berlaku atau bertentangan dengan nilai-nilai perusahaan. Sebagai contoh, pemegang saham sering menuntut agar bisnis fokus pada pengembalian investasi mereka. Terkadang, strategi yang diambil untuk memenuhi tuntutan ini dapat berselisih dengan tanggung jawab moral dan etika kepada masyarakat, lingkungan, dan pekerja.
Dari sisi korporasi perilaku tidak etis sendiri bukan hanya merupakan keputusan individu, tetapi juga merupakan cerminan dari budaya perusahaan, sehingga perilaku tersebut lebih terkait dengan atribut bisnis itu sendiri dibandingkan dengan atribut individu karyawan. Para manajer melaporkan bahwa mereka sering mendapat tekanan untuk mengorbankan etika pribadi demi mencapai tujuan perusahaan dan menerjemahkan pertimbangan moral ke dalam istilah-istilah yang bersifat utilitarian (Ackall, 1988). Oleh karena itu, manajemen bisnis sering dihadapkan pada tantangan untuk menemukan singkronisasi antara upaya mencapai tujuan bisnis dengan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika.
PENGEMBANGAN GAGASAN
Fakta-fakta skandal mengisyaratkan dewan direksi yang bertanggung jawab untuk memantau manajemen senior tampaknya telah gagal dalam menjalankan tanggung jawab mereka. Pemegang tinggi kekuasaan tingkat senior, termasuk beberapa CEO dan dewan direksi telah dipersepsikan sebagai pemegang kunci dalam penyimpangan perusahaan. Oleh karena itu, banyak peneliti mengemukakan gagasan bahwa penanaman, pengembangan, dan pelestarian nilai-nilai etika yang baik merupakan kunci untuk meningkatkan etika, moral, dan tanggung jawab sosial perusahaan, dan memainkan peran penting dalam perbaikan tata kelola perusahaan serta mekanisme kontrol.
Pentingnya perhatian pada aspek ini mendasari sekolah bisnis terkemuka di Amerika Serikat baru-baru ini mengembangkan pusat-pusat pendidikan etika dan tanggung jawab sosial Perusahaan.
Aktifitas perusahaan yang tidak etis adalah salah satu persoalan yang berpotensi menghasilkan dampak negatif yang signifikan, sekaligus salah satu persoalan yang paling sulit untuk diatasi dengan baik. Sebuah jurnal dari sekolah studi universitas New York mengemukakan gagasan bahwa setidaknya harus ada 3 elemen kunci yang harus menjadi perhatian jika ingin persoalan itu diminimalkan melalui pengembangan dan pemeliharaan budaya yang etis. Ketiga kunci tersebut meliputi penanaman serangkaian nilai etika inti ke seluruh organisasi, pembentukan program etika formal, dan eksistensi kepemimpinan etis (ethical leadership).