Kepentingan bisnis adalah segala sesuatu yang menjadi tujuan dan melatarbelakangi jalannya proses bisnis. Paradigma umum yang dianut oleh mayoritas masyarakat terutama para pelaku bisnis di berbagai belahan dunia adalah etika bisnis seringkali bersinggungan dengan kepentingan bisnis sehingga diantara keduanya kerapkali menjadi batu sandungan satu sama lain. Meskipun tidak semua kalangan mengamini, namun Sudah menjadi pameo yang lazim di dengar di telinga masyarakat Indonesia..."yang haram saja susah, apalagi yang halal ?"...
Paradigma yang dianut oleh masyarakat tampaknya bukan lagi sebuah kerangka berfikir yang segmented pada era tertentu tetapi sudah mengindoktrinasi lintas generasi. Menjadi sebuah tantangan yang menarik untuk mejawab tanda tanya besar:
- Apakah etika bisnis bisa bersinergi dengan kepentingan bisnis dan mempengaruhi produktifitas?
- Apakah perhatian terhadap etika personal dan sosial berdampak kontra produktif?
- Apakah penanaman etika dapat meningkatkan perbaikan terhadap tata kelola perusahaan dan mekanisme kontrol?
Etika bisnis dan tanggung jawab social menjadi topik yang banyak diperdebatkan dalam kajian akademis dan media populer. Para penulis akademisi dan media berulang kali menyerukan gagasan perlunya pendidikan etika yang lebih baik dan lebih luas (mis.,Copeland, 2005; Waddock, 2005). Banyak literatur terkini dalam akuntansi dan bisnis menunjukkan bahwa dewan direksi gagal melindungi stakeholder karena masalah standar etika dan integritas pribadi (Copeland, 2005), dan pendidikan etika yang buruk (Waddock, 2005).
FLASH BACK SKANDAL
Pada tahun 2020, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia merilis hasil survey tahun 2019 yang melaporkan losses yang disebabkan oleh fraud di Indonesia mencapai Rp 873.4 miliar dengan komposisi penyebab kerugian; korupsi 69.9% dengan kerugian senilai Rp 373.6 miliar, penyalahgunaan aset 20.9% dengan kerugian mencapai Rp 257.5 miliar, dan yang terakhir adalah fraud laporan keuangan 9.2% dengan kerugian mencapai Rp 242.2 miliar (Association of Certified Fraud Examiners Indonesia, 2019).
Bagaimana dengan kondisi di luar Indonesia? Banyaknya skandal yang terjadi pada perusahaan-perusahaan besar karena lemahnya peran auditor mekanisme kontrol di dalamnya, seperti yang terjadi pada: Enron Corporation; WorldCom; Toshiba; Electro Scientific Industries; serta perusahaan-perusahaan besar lainnya dengan jumlah yang terus bertambah, telah memicu minat terhadap reformasi tata kelola Perusahaan mengingat kerugian finansial dan sosial yang signifikan yang ditimbulkan terhadap masyarakat.
Enron Corporation, Toshiba, dan WorldCom merepresentasikan keserakahan yang merasuk ke dalam tata kelola Perusahaan, yang melibatkan manajemen dalam upaya yang sistematis dan meluas dengan tujuan sengaja menampilkan kondisi keuangan perusahaan agar ditafsirkan secara keliru untuk memperkaya diri sendiri. Dewan menyaksikan banyak indikator yang meragukan tentang manajemen Enron selama beberapa tahun, tetapi memilih untuk mengabaikannya sehingga merugikan pemegang saham, karyawan, dan rekanan bisnis Enron (Moffett, 2004).
''Sebuah laporan investigasi menyimpulkan para direktur WorldCom hanya menjadi pengamat pasif dan tidak menjalankan kepemimpinan yang independen saat jajaran top executive salah mengelola perusahaan dengan sangat buruk” (Hilzenrath, 2003).
Electro Scientific Industries merepresentasikan motif loss aversion, dimana ketakutan akan kerugian yang terekspos menyebabkan direktur mengambil resiko dengan mengorbankan kepentingan karyawan melalui rekayasa jurnal tengah malam untuk menghapus kewajiban sebesar $977.000 terkait biaya pensiun dan pesangon.
PROBLEMATIKA AMBIGUITAS, HUKUM DAN DUNIA NYATA
Luasnya norma-norma sosial biasanya cukup untuk mendukung beberapa variasi dalam kepercayaan. Tanpa melanggar norma umum suatu budaya, masyarakat dapat mengembangkan kode etik pribadi yang mencerminkan sikap dan keyakinan yang berbeda. Sebagai contoh, setiap orang sepakat bahwa mengambil sesuatu yang bukan miliknya adalah perilaku tidak etis. Akan tetapi kita tidak dapat seyakin itu ketika menemukan uang Rp. 100.000 dan tidak tahu siapa yang menjatuhkannya? Mengambilnya tidak melanggar etis bagi masyarakat sekuler, tapi tidak demikian bagi masyarakat agamis.
Tatanan sosial dan peradaban bergantung pada hukum formal seperti norma etika atau norma sosial yang berlaku. Ironisnya, kita sering mencoba membuat undang-undang yang tidak ambigu, namun penafsiran dan penerapannya bisa ambigu karena situasi nyata seringkali bisa ditafsirkan berbeda. Sayangnya, epidemi skandal-skandal besar seperti yang terjadi pada Enron Corporation, WorldCom, Toshiba, Electro Scientific Industries, hanya sebatas menunjukkan seberapa besar orang ingin memanfaatkan situasi yang secara potensial bersifat ambigu – situasi inilah yang sesungguhnya memunculkan skandal tersebut (Patsuris, 2002).
DARIMANA HARUS MEMULAI?
Etika adalah keyakinan terhadap tindakan benar dan yang salah, atau baik dan buruk, yang akan mempengaruhi hal lainnya. Nilai-nilai dan moralitas personal yang dianut seseorang dan kaitannya dengan konteks sosial menentukan suatu perilaku dianggap ethical atau unethical.
Etika bisnis sendiri adalah seperangkat prinsip dan nilai yang mengatur perilaku serta tindakan perusahaan dalam konteks bisnis. Etika bisnis mencakup aspek moral dan etika yang berlaku dalam lingkungan bisnis, seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab social. Benturan antara etika bisnis dengan kepentingan bisnis kerap terjadi ketika keputusan bisnis yang diambil bersinggungan dengan nilai-nilai etika yang berlaku atau bertentangan dengan nilai-nilai perusahaan. Sebagai contoh, pemegang saham sering menuntut agar bisnis fokus pada pengembalian investasi mereka. Terkadang, strategi yang diambil untuk memenuhi tuntutan ini dapat berselisih dengan tanggung jawab moral dan etika kepada masyarakat, lingkungan, dan pekerja.
Dari sisi korporasi perilaku tidak etis sendiri bukan hanya merupakan keputusan individu, tetapi juga merupakan cerminan dari budaya perusahaan, sehingga perilaku tersebut lebih terkait dengan atribut bisnis itu sendiri dibandingkan dengan atribut individu karyawan. Para manajer melaporkan bahwa mereka sering mendapat tekanan untuk mengorbankan etika pribadi demi mencapai tujuan perusahaan dan menerjemahkan pertimbangan moral ke dalam istilah-istilah yang bersifat utilitarian (Ackall, 1988). Oleh karena itu, manajemen bisnis sering dihadapkan pada tantangan untuk menemukan singkronisasi antara upaya mencapai tujuan bisnis dengan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika.
PENGEMBANGAN GAGASAN
Fakta-fakta skandal mengisyaratkan dewan direksi yang bertanggung jawab untuk memantau manajemen senior tampaknya telah gagal dalam menjalankan tanggung jawab mereka. Pemegang tinggi kekuasaan tingkat senior, termasuk beberapa CEO dan dewan direksi telah dipersepsikan sebagai pemegang kunci dalam penyimpangan perusahaan. Oleh karena itu, banyak peneliti mengemukakan gagasan bahwa penanaman, pengembangan, dan pelestarian nilai-nilai etika yang baik merupakan kunci untuk meningkatkan etika, moral, dan tanggung jawab sosial perusahaan, dan memainkan peran penting dalam perbaikan tata kelola perusahaan serta mekanisme kontrol.
Pentingnya perhatian pada aspek ini mendasari sekolah bisnis terkemuka di Amerika Serikat baru-baru ini mengembangkan pusat-pusat pendidikan etika dan tanggung jawab sosial Perusahaan.
ETIKA BISNIS DAN CORPORATE GOVERNANCE
Mempersepsikan tata kelola perusahaan (corporate governance) hanya sebagai fundamental hukum adalah sebuah kekeliruan, karena menjalankan perusahaan dengan tata kelola yang baik, dan bertanggung jawab adalah perkara etis yang perlu dilakukan siapa pun. Bisnis erat kaitannya dengan nilai social . Maka dari itu membangun bisnis berdasarkan nilai sosial yang berlaku adalah sebuah keharusan. Bagi perusahaan, melakukan hal yang benar dapat menghindarkan diri dari potensi masalah hukum yang berdampak kerugian material.
Corporate governance (CG) seharusnya memainkan peran vital tidak hanya sebagai pelengkap kepatuhan kepada hukum, namun juga untuk menegakkan etika bisnis. Praktik bisnis yang tidak etis diakibatkan oleh kegagalan regulator, yang memiliki tanggung jawab besar namun perannya sangat kecil (Asean Corporate Governance Association, 2021). Bagaimana cara mengatasi perilaku bisnis yang tidak etis, apalagi jika tidak jelas secara hukum? Jelas bahwa seseorang harus memulai dengan orang-orang di lapangan – manajer, karyawan, perwakilan dan perwakilan hukum lainnya.
PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN BUDAYA PERUSAHAAN YANG ETIS
Para Teoritist (misalnya: Brass et al., 1998)) berargumen bahwa keberadaan ethical corporate culture value merupakan suatu kondisi yang diperlukan-meskipun belum cukup, jika ingin meminimalkan terjadinya aktifitas tidak etis. Setidaknya teori ini didukung oleh bukti empiris. Misalnya, Survei Etika Bisnis Nasional tahun 2009 terhadap 2.852 karyawan AS yang dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Etika (2010) menemukan bahwa dalam budaya etis yang lebih kuat, jauh lebih sedikit karyawan yang merasakan tekanan untuk melakukan pelanggaran (4% berbanding 15%), tingkat pelanggaran yang diamati jauh lebih rendah (39% berbanding 76%), karyawan yang mengamati pelanggaran lebih mungkin terjadi. untuk melaporkannya (43% berbanding 28%), dan mereka yang melaporkan pelanggaran cenderung tidak mengalami tindakan pembalasan (4% berbanding 24%).
Hubungan antara kepemimpinan etis dan perilaku etis juga telah diamati. Berdasarkan Hitt ( Hitt, 1990 hal: 3)) ''Hasil studi penelitian menunjukkan bahwa perilaku etis individu dalam organisasi sangat dipengaruhi oleh para pemimpinnya.'' Persepsi di kalangan karyawan bahwa manajer mereka memiliki seperangkat nilai-nilai etika inti dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut telah terbukti berdampak signifikan terhadap budaya etis perusahaan.
REVOLUSI BISNIS: HARMONISASI ETIKA, TANGGUNG JAWAB SOSIAL, dan KEPENTINGAN BISNIS
Semakin etis budaya suatu organisasi, maka semakin etis pula perilaku pengambilan keputusan seorang individu (Ford & Richardson, 1994; Sinclair, 1993). Dengan demikian, upaya untuk memperkuat perilaku etis karyawan harus dilakukan di tingkat institusi.
Sebuah revolusi mengubah lingkungan bisnis di berbagai belahan dunia. Beberapa produsen kelas dunia mulai mengimplementasikan konsep bahwa manajemen puncak harus berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas serta perilaku etis di seluruh organisasi. Keputusan harus dibuat dalam lingkungan yang mendorong pertimbangan berbagai nilai, tidak hanya moneter. Berikut beberapa contoh:
- Pada pabrik perakitan Toyota di Jepang, setiap pekerja di sepanjang jalur produksi diberdayakan untuk menghentikan produksi jika muncul masalah kualitas (Womack & D. Roos, 1990).
- Mantan CEO Alcoa, Paul O'Neil, mempunyai reputasi peduli terhadap keselamatan karyawannya. Dia melakukan hal ini dengan mengunjungi pabrik dan menunjukkan kepada personel bahwa tidak ada batasan anggaran untuk masalah keselamatan; mereka harus mengeluarkan dana sebanyak yang diperlukan untuk memperbaiki semua bahaya keselamatan, berapa pun biayanya.
- Mantan CEO Perusahan Johnson & Johnson, James Burke, menempatkan keselamatan pelanggan di atas pertimbangan finansial dengan menarik kembali Tylenol (1982) secara nasional, meskipun biayanya sangat besar. Efek dari perilaku etis tersebut, memperoleh keunggulan kompetitif jangka panjang.
KESIMPULAN
Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa penanaman dan pengembangan nilai etika dan budaya telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap peningkatan tata Kelola dan mekanisme kontrol, yang pada akhirnya berdampak produktif pada kepentingan bisnis.
Dengan kata lain dapat disimpulkan etika bisnis dan tanggung jawab sosial dapat bersinergi dengan kepentingan bisnis dan menghasilkan dampak yang produktif.
Setidaknya terdapat tiga elemen kunci harus ada jika aktifitas ilegal atau tidak etis di dalam dan atas nama bisnis ingin diminimalkan melalui pembangunan budaya perusahaan yang etis yaitu (Schwartz, Kelly School of Business , 2013):
- Seperangkat nilai etika inti yang ditanamkan ke seluruh organisasi dalam kebijakan, proses, dan prakteknya
- Program etika formal, termasuk kode etik, pelatihan etika, hotline etika, dan petugas etika; Dan
- Kehadiran kepemimpinan etis yang berkesinambungan (yaitu, Tone of The Top sebagaimana tercermin oleh dewan direksi, eksekutif senior, dan manajer).
Meskipun tidak dipungkiri dalam banyak kasus kepentingan bisnis seringkali mengabaikan nilai-nilai etika dan sosial, namun beberapa perusahaan ternama tetap mengedepankan etika dan tanggung jawab sosial dalam keputusan bisnis mereka, yang berdampak pada peningkatan reputasi dan nilai perusahaan jangka panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI