Dr. Kim terlihat kecewa. Dahinya berkerut. Untuk pertama kalinya ia terlihat sedikit lebih tua. "Kau membuatku takut" desahnya pelan.
Aku mengingat malam itu. Kemenangan besar setelah lima tahun yang sulit. Kupikir aku memilih waktu yang tepat karena kami sedang dalam suasana bahagia. Tapi aku salah. Sepuluh tahun bersama (sebagai teman) tidak membuatku belajar bagaimana ia hidup. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku muak melihatnya terus bertingkah flamboyan. Dia baik padaku, itu pasti. Sayangnya dia baik pada semua perempuan yang ia temui.
"Kenapa begitu ceroboh?" protesnya keras. Bau alkohol tercium jelas dari nafasnya.
"Kau pikir aku senang? Huh!"
Kami terdiam diantara dentuman musik.
"Apa kau tidak mempertimbangkannya?" kali ini suaranya sedikit melunak.
"Apa?" tanyaku. Ia diam. Hanya melihatku tanpa berkedip.
"Maksudmu, aborsi?" tanyaku lagi. Ia hanya menghela nafas. Membuatku kesal. "kupikir kau tak serendah itu."
Aku meninggalkan hingar bingar pesta. Berjalan cepat menuju area parkir. Harusnya aku tak pernah mengatakan apapun padanya.
"Kenapa kau kekanak-kanakan sekali" sentaknya sambil menyambar tanganku yang hampir meraih pintu mobil, "kita bicarakan ini hingga tuntas."
Aku mendengus. "Jangan mencoba menenangkanku kalau akhirnya kau memintaku melakukan hal konyol itu."