Banyak spekulasi yang berkembang seiring kebijakan Badawi mempercepat masa hukuman Anwar Ibrahim ini. Namun yang senter terdengar adalah karena adanya keretakan hubungan antara Badawi dengan Mahathir. Oleh Mahathir, Badawi dituduh melanggar komitmen yang telah mereka sepakati untuk melanjutkan sejumlah proyek yang telah digagas sebelumnya. Mahathir sendiri memprotes keras keputusan percepatan masa hukuman Anwar Ibrahim tersebut, namun Badawi tak mengubrisnya.
Pada kasus kedua tindak asusila yang dituduhkan padanya, Malaysia pun tengah memgalami krisis ekonomi yang cukup parah. Pada saat yang sama Anwar Ibrahim semakin percaya diri dengan berbagai kemenangan parti koalisi yang dipimpinnya.
Dalam kaitannya dengan Abdullah Badawi, Anwar Ibrahim memang pada saat itu juga sedang berseteru dengan PM Abdullah Badawi. Anwar Ibrahim telah memposisikan dirinya sebagai tokoh oposisi yang paling ditakuti di Malaysia. Semenjak dilepaskan pada tahun 2004, Anwar melanjutkan karier politiknya melalui Partai Keadilan dan kelompok oposisi Malaysia dan menyatakan tidak akan bergabung kembali dengan UMNO. Ia pun kemudian mengaggas terbentuknya Pakatan Rakyat, koalisi tiga partai politik yang oposan pada pemerintah yang berkuasa. Dalam pemilu Maret 2008, Pakatan Rakyat membuat kejutan dengan mematahkan dominasi Barisan Nasional (BN) yang selama ini menguasai mayoritas dua pertiga kursi parlemen. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, oposisi meraih 82 dari 222 kursi parlemen serta menang dalam pemilu lokal di 5 dari 13 negara bagian. Pada bulan Juli selanjutnya, Anwar kembali membuat kejutan melalui pernyataannya, lebih dari 30 anggota parlemen dari Barisan Nasional (BN) siap membelot ke Pakatan Rakyat. Ia akan mengambil alih kekuasaan melalui mosi tidak percaya di parlemen pada 16 September 2008. Pernyataan tersebut menimbulkan panik dan histeria. Media massa maupun blog di internet tidak henti-hentinya menurunkan opini dan analisis. Sejak itu hari-hari yang dilalui menuju 16 September penuh ketegangan. Revolusi damai yang digagas Anwar Ibrahim kemudian tidak terbukti terjadi karena 30 orang pembelot dari BN yang diharapkan akan memperkuat posisinya ‘membatalkan’ kepindahannya. Anwar Ibrahim sendiri menyatakan menolak jalan kekerasan dalam upayanya menumbangkan rezim Badawi karena ditakutkan akan menjadi alasan bagi pemerintah untuk beritndak refresif.
Jika melihat pada kedua di atas terlihat adanya pola yang sama yang melatarbelakangi penuduhan terhadap Anwar Ibrahim, yaitu ia adalah ancaman yang sangat nyata bagi eksistensi pemerintah yang sedang berkuasa. Bedanya, pada kasus pertama ia berada di dalam sistem yang ingin dirombaknya, sedangkan pada kasus kedua ia berada di luar sistem dan hendak menggulingkan pemerintahan. Kekuatan Anwar Ibrahim jelas tak bisa diremehkan mengingat besarnya simpati masyarakat terhadapnya. Kekuatan ini bahkan semakin membesar seiring dengan tidak terbuktinya tuduhan tindak asusila terhadapnya. Ia semakin mendapat simpati dalam masyarakat.
Tidak hanya bagi pemerintahan, Anwar Ibrahim juga sebenarnya ancaman bagi para raja-raja lokal yang selama ini memiliki hak politik yang sangat besar dari pemerintah. Mereka tidak dipilih oleh rakyat namun memiliki kekuasaan besar untuk menetapkan dan membatalkan suatu hukuman atau konstitusi. Suatu hal yang juga menjadi sasaran kritikan Anwar Ibrahim selama ini. Dalam hal ini Anwar Ibrahim sebenarnya sedang bertarung dengan masyarakat dan kebudayaannya sendiri. Melawan Anwar Ibrahim secara pemikiran hanya akan semakin membuatnya semakin mendapat simpati dari masyarakat, karena ia memang selalu menjanjikan reformasi jika ia terpilih sebagai Perdana Menteri. Tuduhan asusila jelas merupakan cara tercepat dan termurah yang bisa dilakukan bagi Anwar Ibrahim.
Jika pada kedua kasus sebelumnya Anwar Ibrahim kemudian terbukti tidak melakukan apa yang dituduhkan padanya, mengapa pada tuduhan ketiga ini pun juga menggunakan tuduhan yang sama?
Jelas ini merupakan upaya pengulangan (repitasi) secara terus-menerus dengan harapan bahwa dengan kondisi yang terus berulang maka perlahan ia akan menjadi keyakinan bagi masyarakat bahwa Anwar Ibrahim memang seorang yang tak bermoral dan asusila. Dalam hukum Malaysia kasus asusila adalah sebuah persoalan besar dan bisa menjadi berarti ‘hukuan mati’ bagi pelakunya. Cara yang sama telah dilakukan Orde Baru di Indonesia dalam menghadirkan ingatan kolektif pada masyarakat terhadap PKI. Pada masa Orba, setiap tahun dilakukan pemutaran film Kebiadaban G30S/PKI dengan suatu tujuan menghadirkan setiap saat ingatan pada masyarakat pada berbahaya dan sadisnya PKI (komunisme).
Jika memperhatikan ketiga kasus tuduhan ini secara berurutan, terlihat bahwa pada setiap kasus mengalami peningkatan tingkat kecanggihan tuduhan. Pada kasus pertama tuduhan diberikan begitu saja, pada kasus kedua adalah adanya pelapor dari orang terdekat Anwar Ibrahim sebagai korban dan ketiga adalah melalui video rekaman dengan kualitas yang sangat jelek, yang kemungkinan disengaja untuk mengaburkan subjek yang ada dalam video tersebut namun cukup untuk menggambarkan kemungkinan siapa yang berada dalam video tersebut. Kecanggihan dalam tuduhan asusila III ini bukan hanya karena adanya bukti berupa rekaman video tetapi juga karena Datuk Shazryl Eskay Abdullah, salah seorang dari trio Datuk D, tiga orang yang pertama kali mempertontonkan rekaman ini di depan readktur media 21 Maret 2011 lalu, telah mengakui bahwa sosok ketiga dalam rekaman itu adalah dirinya.
Lalu apakah tuduhan ketiga ini juga memiliki tendensi politik sebagaimana kasus pertama dan kedua?
Jika memperhatikan konteks yang terjadi saat ini maka besar kemungkinan ini juga merupakan suatu bentuk rekayasa. Apalagi trio Datuk D dikenal luas sebagai pendukung UMNO. Dan Anwar sudah memberi pernyataan bahwa fitnahan ini (lagi-lagi) datangnya dari UMNO. Tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi opini publik. Anwar Ibrahim jelas masih merupakan ancaman nyata bagi pemerintahan yang berkuasa. Apalagi kemudian terdapat sejumlah peristiwa yang dimana Anwar Ibrahim terlibat di dalamnya.
Sebagaimana banyak diberitakan, pada bulan Desember 2010 lalu Anwar Ibrahim mendapat sanksi skorsing dari dewan rakyat selama 6 bulan karena tuduhannya bahwa pemerintah sedang mengadopsi metode Yahudi, melalui konsep ‘Malaysia Satu’. Anwar menyamakan slogan nasional yang diserukan Perdana Menteri Najib Razak, ”Malaysia Satu”, meniru slogan kampanye mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak pada tahun 1999. Pernyataan Anwar ini memicu kemarahan pemerintah dan para pendukungnya. Seperti dipahami, slogan nasional ”Malaysia Satu” merupakan kebijakan nasional negeri jiran itu untuk mendorong kesatuan multiras. Pernyataan itu peka karena Malaysia mendukung Palestina.