Dengan mengamati sepak terjang Anwar Ibrahim selama ini, Mahthir mungkin berpikir pada saat itu bahwa pemikirannya dengan Anwar Ibrahim sebenarnya memiliki titik temu dan ia bisa menjadi mitra potensial yang bisa semakin memperkuat posisinya dalam membangun Malaysia sejalan dengan konsepsi pemikiran-pemikirannya. Maka salah satunya jalan untuk memperkuat kekuasannya adalah dengan merangkul Anwar Ibrahim. Tidak tanggung-tanggung, ia langsung diberi posisi strategis, tidak hanya di pemerintahan namun juga di UMNO partai berkuasa yang dipimpinnya.
Gayung bersambut, di luar dugaan para pendukungnya, Anwar Ibrahim yang sebenarnya sangat ‘anti-pemerintah’ menerima tawaran itu. Jelas banyak yang kecewa dengan keputusan tersebut. Tapi Anwar Ibrahim tak bergeming. Ia mungkin telah punya misi tertentu dalam keputusannya tersebut.
Dalam beberapa tahun pemerintahan dan kebersamaannya dengan Mahathir tampak tak ada masalah-masalah yang serius dengan hubungan mereka berdua. Tapi kondisi sosial politik dan ekonomi global pada saat yang sama tengah mengalami goncangan yang besar. Dunia tengah dilanda krisis seiring dengan memburuknya perekonomian sejumlah negara-negara yang selama ini dikenal sebagai ‘Macan Asia’.
Pada tahun 1997 Korea Selatan mengalami krisis multidimensi yang dampaknya secara bersambungan dirasakan di negara-negara lain di sekitarnya. Dengan kata lain efek domino tengah terjadi. Thailand pun ikut ambruk dan menyusul Indonesia. Malaysia pun sebenarnya merasakan efek yang sama dari adanya kejadian ini.
Krisis ekonomi ini diperparah dengan imbasnya pada kondisi politik negara-negara yang terkena krisis. Indonesia, negara terdekat dari Malaysia, mengalami tsunami politik berupa adanya gerakan sosial masyarakat menumbangkan rezim pemerintahan yang ada, yang telah berkuasa selama 32 tahun. Indonesia memang kemudian mengalami suksesi kepemimpinan secara ‘keras’. Ini jelas momok yang menakutkan bagi pemerintahan Mahathir. Kepanikan tengah terjadi dan biasanya dalam kondisi-kondisi seperti ini apa pun bisa terjadi.
Di tengah krisis dan ancaman atas kekuasaannya Mahathir jelas membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dan ini termasuk dari para pendukung-pendukungnya di pemerintahan. Ironisnya, di tengah kondisi ini, penentangan justru datang dari orang terdekatnya sendiri, Anwar Ibrahim. Orang yang telah ia persiapkan sebagai putra mahkota atau penggantinya kelak ketika ia lengser.
Anwar Ibrahim pada saat itu memiliki pemikiran yang berbeda dengan Mahathir terkait strategi penyelesaian krisis ekonomi yang terjadi. Sebagian mencatat bahwa ketika krisis ekonomi mengancam Malaysia pada tahun 1998, Anwar menolak rencana Mahathir untuk melakukan sistem kurs tetap dalam mata uangnya, ringgit agar tidak terimbas krisis, suatu langkah yang sama yang pernah ditawarkan Prof Steve Hanke kepada Presiden Indonesia, Soeharto untuk menerapkan kebijakan kurs tetap.
Selain itu, sebagaimana diulas Maruli Tobing (Kompas, 28 November 2008), sebagai menteri keuangan, Anwar menghendaki reformasi. Ia berbicara mengenai gawatnya korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan Mahathir yang tidak transparan. Untuk mengatasi krisis ekonomi, Anwar melakukan penghematan anggaran, termasuk menunda pelaksanaan proyek-proyek raksasa dan menolak pemerintah menalangi utang swasta. Untuk meningkatkan penerimaan negara, ia membentuk tim yang akan memeriksa pajak perusahaan konglomerat.
Mahathir gusar terhadap kampanye antikorupsi dan nepotisme Anwar Ibrahim. Tetapi, lebih marah lagi karena proyek-proyek raksasa yang ditunda dikerjakan oleh perusahaan anaknya. Ditambah lagi perusahaan milik anaknya akan diperiksa pajaknya.
Tak ada jalan lain bagi Mahathir selain daripada harus menamatkan karir politik Anwar Ibrahim. Ia jelas-jelas telah menjadi ‘musuh dalam selimut’ dalam pemerintahannya. Untuk melengserkan Anwar Ibrahim begitu saja jelas-jelas memiliki potensi konflik yang begitu besar. Ditakutkan ia malah akan semakin menjadi kekuatan yang mampu meronrong kekuasaannya ketika berada di luar pemerintahan. Ia akan semakin berkoar-koar yang dapat memperlemah kekuasaannya. Maka jalan terbaik yang harus dilakukan terhadap Anwar Ibrahim adalah menjadikannya sebagai pesakitan. Menjelang pemecatannya, ia dituduh telah melakukan tindakan asusila dan serangkaian tindakan korupsi. Maka semakin kuatlah alasan bagi Mahathir untuk mendepak Anwar Ibrahim dengan cara yang sangat dramatis.
Terhadap kasus asusila Anwar Ibrahim I ini dapat lolos, meskipun untuk kasus korupsi ia tetap dinyatakan bersalah dengan hukuman 6 tahun, yang kemudian dijalaninya selama 5 tahun atas perintah PM Abdullah Badawi.