Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jika Tak Mampu Melihat Dunia Maka Dunialah yang Akan Melihatmu

27 Januari 2010   01:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SMP itu kondisinya sudah sangat memprihatinkan ketika Reina dan beberapa orang temannya datang sebagai tenaga pengajar sukarela. Atas jasa sebuah NGO internasional, SMP itu direnovasi seadanya. Karena hanya dua guru yang tertinggal-sebagian besar gurunya pergi karena lokasinya yang terpencil-maka keberadaan guru tambahan sangat dibutuhkan. Reina dan sejumlah temannya ketika ditawari program itu dengan senang hati menerimanya. Tidak setiap hari ia harus berada di sekolah itu, seperti halnya guru sungguhan. Ia punya jadwal ajar dua kali dalam seminggu dan itu pun ia sesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Begitu pun dengan teman-temannya yang lain.

Pemda sendiri sudah berjni turun tangan untuk mengelola kembali sekolah itu, namun itu harus menunggu tahun ajaran baru. Persoalannya kemudian adalah kini menjelang pelaksanaan UN sehingga sangat sayang jika para murid dibiarkan terbengkalai tanpa bimbingan dari seorang guru.

Maka jadilah Reina sebagai guru dadakan untuk waktu enam bulan. Di bulan pertama ia mengajar tanpa hambatan yang berarti selain kondisi jalan yang rusak. Karena perjalanan menuju sekolah itu memakan waktu 2 jam maka pagi-pagi sekali ia sudah berangkat dengan transportasi khusus yang disediakan oleh si empunya program.

Pendampingan SMP terpencil itu sebenarnya hanya sebagian dari aktivitas Reina. Ia juga punya rumah singgah di sekitaran kota yang banyak ditinggali anak-anak putus sekolah. Ia tidak mengelola rumah singgah itu. Tugasnya hanya memberi pelajaran membaca dan menghitung pada bocah-bocah yang rata-rata berumur 6 - 14 tahun yang kehilangan kesempatan sekolah karena harus membiayai keluarganya. Waktu ajarnya pun tak menentu, disesuaikan dengan aktivitas bocah-bocah itu. Begitu pun dengan tempat ajar, yang disesuaikan dengan tempat para the lost generation itu berkumpul. Kadang di taman kota, di pinggiran pantai atau malah di emperan-emperan toko.

Ketika Gery menculiknya pada saat ingin mempertemukannya dengan Kris-semoga Tuhan membalas jasa baiknya-Reina sebenarnya sedang bazar pengumpulan dana untuk sekolah darurat yang mereka buat itu. Jika di SMP terpencil itu punya donator tetap, maka berbeda dengan anak jalanan ini mereka harus patungan atau mengumpulkan dana melalui bazar-bazar, pembuatan baju dan stiker atau melalui penjualan koran-koran bekas. Terkadang pula ada bantuan dari teman-teman borju yang berhasil mereka ‘peras', namun itu hanya segelintir saja dan itu pun biasanya seadanya.

Seperti yang Gery ceritakan pada Kris, ia memang lebih banyak menghabiskan waktunya di jalanan di banding di rumah sendiri. Ia baru benar-benar baru akan pulang setelah mamanya marah-marah di telpon, tapi bukan karena ancaman boikot uang jajan, tapi lebih karena ia mengkhawatirkan kesehatan mamanya. Mamanya kini harus menggunakan kursi roda karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Sudah setahun ini ia rutin cuci darah dan itu sangat membutuhkan banyak energi dan biaya bagi mereka semua. Untung saja mereka masih memiliki perusahaan peninggalan almarhum papanya yang kini dikelola Gery kakaknya. Perusahaan itu berkembang dengan baik, meski Gery selalu merasa ia tak cukup sukses dengan pencapaiannya selama ini. Reina terkadang bingung dengan sikap dan pola pikir kakaknya yang selalu melihat ke atas. Segala sesuatunya ia ingin capai dengan sekejap dan setiap menghadapi sebuah kegagalan kecil ia akan terpuruk dan sangat sulit untuk bangkit jika tidak segera diingatkan pada tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.

Di SMP tempat dimana ia menjadi guru dadakan selain Bu Marni sebagai kepala sekolah juga terdapat seorang guru lelaki yang berumur 40 tahunan bernama Pak Saleh. Pak Saleh adalah orang yang sangat ulet dan saleh sebagaimana namanya. Hanya saja ia punya keterbatasan. Sejak lima tahun lalu ia kehilangan penglihatan alias buta total akibat malpraktek dokter yang memberinya dosis obat mata yang berlebih. Suatu hari ia memeriksakan matanya yang mulai kurang fokus dan sering terasa sakit. Oleh dokter ia diberi obat mata, yang ternyata bekerja melampaui kapasitas yang diharapkan. Dalam sekejap Pak Saleh kehilangan penglihatannya dan dokter yang memberinya obat enggan mengakui kesalahannya. Ia malah menyalahkan Pak Saleh yang menggunakan obat itu melebihi yang disarankan dokter. Tak ada upaya lanjutan untuk kasus malpraktek itu. Pak Saleh pun belakangan mengikhlaskannya, menerimanya sebagai takdir yang memang harus diterimanya. Dan mulai saat itu pula dunia telah sangat jauh berpaling darinya.

Dengan susah payah Pak Saleh berupaya beradaptasi dengan kondisi barunya. Ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai guru SMP dan malah semakin rajin mengajar. Ia mencoba mengatasi semua penghalang itu dengan besar hati. Setiap hari, ada saja muridnya yang bersedia membacakan buku yang ingin dibacanya dan yang akan diajarkannya pada muridnya. Semua muridnya menyayanginya dan seakan berlomba untuk menjadi pembaca bagi sang guru tercinta. Hikmah yang ia peroleh dari semua itu, dan yang ia selalu sampaikan pada siapa pun, jika tak mampu melihat dunia, maka dunia lah yang akan melihat padamu. Dunialah yang mendekat padamu. Dalam kegelapannya ia menemukan titik terang yang baru. Melihat dunia dengan cara pandang yang baru.

Reina senang bercerita dengan Pak Saleh. Ia adalah sosok seorang guru tulen yang tidak hanya mengajari muridnya tentang apa yang tertulis pada buku-buku teks, tapi juga mengajarkan dunia secara lebih luas. Kata-katanya tersusun rapi dan sangat jelas bahkan hingga ke titik koma. Reina terkadang heran bagaimana bisa orang itu mampu meramu kalimat secara utuh dalam bentuk lisan, hal yang akan sulit dilakukan oleh kebanyakan orang. Tak ada kata-kata atau kalima yang berulang dua kali. Dan yang terpenting semuanya terucap dengan mantap dan penuh keyakinan.

Reina baru saja selesai menyelesaian satu sesi mengajarnya pagi itu ketika Roni, salah seorang temannya nongol di depan pintu.

"Rein ada yang cari tuh!"

"Siapa?"

"Nggak tahu. Om-om. Mungkin om kamu. Pakai Mercy lagi."

"Om-om??" Reina berpikir keras siapa gerangan orang yang dimaksud. Setelah merapikan buku-buku ajarnya ia pun menuju halaman sekolah dimana sebuah mobil Mercy terparkir bersebelahan dan sangat kontras dengan mobil avansa rental yang ditumpanginya ke sekolah itu.

Reina semakin bingung siapa kira-kira orang yang mencarinya. Ia celingak-celinguk mencari orang tersebut, namun tak seorang pun yang terlihat asing di tempat itu. Hanya teman-teman dan sejumlah murid yang sedang bermain. Imelda dari kejauhan menunjuk ke arah kantor kepala sekolah yang berjarak dua puluh meter dari tempatnya berada. Ia pun menuju tempat itu dengan tergesa-gesa. Rasa penasaran benar-benar menderanya.

Baru saja ia akan memasuki pintu ketika ia berpapasan dengan sosok yang sangat dikenalnya dan membuat jantungnya hampir copot. "Kak Kris?"

Kris yang juga sedikit kaget menatapnya sambil tersenyum, yang mungkin karena merasa lucu dengan ekspresi yang ditunjukkannya. Di belakangnya berdiri Bu Marni juga sambil tersenyum ramah.

"How...bagaimana bisa kemari..eh Bu Marni...kenalkan ini Kak Kris...tadi sudah kenalan ya..."

Bu Marni semakin melebarkan senyum melihat kekikukannya. "Iya, kami sudah kenalan. Malah Pak Kris ini sudah berbaik hati membawakan kita begitu banyak buku dan peralatan sekolah.."

"What...! Maksud saya buku dan peralatan sekolah?"

Reina melihat sekeliling dan menemukan beberapa kotak besar di depan meja kepala sekolah dan masih terlihat baru dan belum tersentuh.

"Pak Kris mau jalan-jalan melihat kondisi sekolah kita. Ayo kita temani bersama," ujar Bu Marni masih dengan senyum Pepsodent-nya.

Masih dalam kebingungan Reina berjalan beriringan dengan Kris dan dengan dipandu ibu kepala sekolah mereka meninjau semua kelas. Hampir semua kelas kondisinya agak rusak, meski di beberapa bagian tampak baru saja direnovasi seadanya. Beberapa bangku bahkan kini sudah tidak layak lagi digunakan. Di beberapa sudut ruangan terdapat bagian platfon yang terbuka dan basah karena hujan. "Kalau musim hujan, kami terpaksa mengungsi di bawah rumah warga. Tinggal memindahkan bangku-bangku dan papan tulisnya," Bu Marni menjelaskan ketika pandangan Kris mengarah ke platfon itu.

Setelah selesai melakukan kunjungan singkat Kris permisi untuk bertemu dengan para guru dadakan di sekolah itu, meski sebenarnya yang dimaksud Kris adalah Reina seorang.

"Bagaimana bisa sampai...tadi bilang apa sama bu kepala sekolah...isi dos itu....?" begitu banyak pertanyaan yang ingin ditanyakannya sampai-sampai tak tahu mana yang harus didahulukan.

"Satu-satu Rein..rileks aja lah," ayo kita ke gazebo itu. Mereka berdua berjalan menuju gazebo yang terletak di depan sekolah yang tampaknya adalah tempat nongkrong warga dan mungkin juga temapt ronda.

Teman-temannya dari kejauhan tersenyum menggoda. Imelda bahkan sempat menyelutuk menggoda.

Mereka pun duduk bersebelahan di gazebo itu sambil memandang ke dalam sekolah. Di sekeliling sekolah adalah persawahan yang luas membentang. Bberepa rumah warga juga terdapat di tempat itu. Masih sangat asri. Tiupan angin yang sepoi mampu menidurkan dalam sekejap.

"Enak ya di sini. Pantasan kamu betah," ujar Kris membuka pembicaraan.

"Kakak belum menjawab satupun pertanyaanku tadi?" rajuk Reina, meski ia sebenarnya senang dengan kehadiran Kris di tempat itu.

"Pertanyaan yang mana? Tadi nanyanya belepotan jadi nggak satu pun yang jelas arah pertanyaannya," goda Kris sambil tersenyum melirik ke sampingnya.

"Pokoknya se...muaaanya...oke aku susun dulu ya. Satu, bagaimana bisa kakak bisa sampai ke tempat ini?"

"Pertanyaan yang seharusnya sudah kamu tahu jawabannya, Rein."

"Maksud kakak, kak Gery yang bilang. Hah, nggak salah tuh. Mana tahu dia tempat ini?"

Kris tertawa, "Memang kamu nggak pernah cerita sama Gery tentang tempat ini?"

"All the day..tetapi dia kan nggak mungkin tahu sampai sedetil ini. Meski aku sering cerita tapi ia biasanya nggak begitu tertarik. Paling hanya mencemooh atau ngacir setiap aku cerita. Katanya lebih baik nonton sinetron daripada mendengar cerita-ceritaku...."

Kris kembali tertawa, "Kakakmu memang seperti itu. Mencemooh atau terlihat nggak perduli tetapi sebaliknya ia sangat care. Ia itu ngiri sama kamu sebagaimana dulu ia iri sama aku karena apa yang kamu atau kita lakukan. Dalam hati ia ingin melakukan hal yang sama tetapi egonya yang besar membuatnya nggak mampu beranjak untuk melakukan apa pun yang dikatakan kata hatinya. Ia bilang pernah ke sini sekali."

"Hah, kapan? Koq nggak bilang sih. Awas ntar. Ia pasti memata-matai. Pasti disuruh mama."

Kris hanya tersenyum tipis lalu kemudian menggeleng. "Ia bilang semua itu ia lakukan karena dalam hati kecilnya ia pun ingin melakukan hal yang dengan apa yang kamu lakukan. Tapi semakin dekat dengan tempat ini semakin kecut hatinya. Ia malu berterus terang padamu karena katanya kamu bakalan menertawainya sampai kiamat jika tahu kalau dia pun ingin seperti kamu, karena hobinya mengolok-olokmu dan juga egonya yang sangat besar itu."

Reina hampir tertawa lebar mendengarnya jika saja tidak ingat dengan siapa ia sedang bersama. Ia tidak ingin terlihat terlalu liar dan serampangan di depan Kris. Di depan Kris ia ingin terlihat sebagai gadis manis yang paling manis atau gadis pingitan yang paling dipingit.

"Tadi ngasih sumbangan ke sekolah ngakunya sebagai siapa?" selidik Reina curiga.

"Aku cuma bilang kalau aku salah seorang teman kamu yang perduli dengan sekolah ini, karena aku pun dulunya seorang bocah miskin dan hidup namun punya semangat besar untuk maju."

Reina hampir saja tertawa, tetapi melihat keseriusan di wajah Kris ia mengurungkannya. Ia mencoba mencari kebenaran dari kata-kata itu dan yang didapatinya hanya senyum khas seorang Kris yang sesaat membuat jantungnya berdegup keras.

Mereka lalu becerita tentang banyak hal tentang sekolah itu, termasuk tentang Pak Saleh, guru tunanetra namun bersemangat baja. Kris tampaknya tertarik dengan sosok Pak Saleh ini dan bahkan ingin dikenalkan padanya. Setengah jam kemudian Reina pamit untuk melanjutkan aktivitasnya.

"Sampai jam berapa di sini kak?" tanya Reina sebelum beranjak.

"Nungguin kamu pulang?"

"Hah...," Reina kembali tak sadar melongo, "Tapi....."

"Nggak usah khawatirkan aku. Aku cukup dewasa koq untuk ditinggal sendiri."

"Hehe...Waduh..sori..tadi aku lupa ngenalin dengan teman-teman..."

"Udah kenal koq beberapa. Tenang aja. Dan lagian mereka pasti senang koq aku datang kemari."

"Senang?"

"Iya, aku udah nyogok mereka dengan nasi bungkus dan buah-buahan. Tuh lihat mereka terlihat kekenyangan."

Di kejauhan Imelda, Roni dan sejumlah temannya melambaikan tangan. Mereka memang terlihat senang dengan memegang perut mereka tanda habis makan sesuatu.

"Makasih," teriak Roni dan Imelda sambil meambaikan tangan di kejauhan.

Kris mengangguk membalas melambaikan tangan sambil tersenyum.

"Ih, curang..aku koq nggak diberitahu...tapi bener nih mau menunggu sampai kami pulang."

Kris mengangguk mengiayakan.

Reina berlalu dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia mencoba mengingat-ingat mimpinya semalam. Ia teringat mimpi diserang ular piton dan ia menginjaknya meski secara tidak sengaja. Terlalu seram. Ia mencoba mengingat mimpinya yang lain dan tampaknya itu yang paling cocok: ia terbang di antara awan-awan.

Ia kembali tersenyum mensyukuri nasib baiknya, dalam kebutaannya selama ini akan masa depan yang selalu diimpikannya. Betapa selama ini ia berjalan di kegelapan mencari titik terang yang tak pasti, dan tiba-tiba dunia itulah yang kini datang membentangkan diri padanya. Ia memejamkan mata, menjauhkan dunia dari pandangannya sesaat. Jika tak mampu melihat dunia, maka dunia lah yang akan melihatmu. [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun