Mohon tunggu...
WAHYU BUDI SETIO PURNOMO
WAHYU BUDI SETIO PURNOMO Mohon Tunggu... Guru - GURU

Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Syariah dan Hukum, Prodi Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Fiqh Siyasah Legal Standing Putusan Tidak Dapat Diterima dalam Permohonan JR Presidential Treshold

10 Agustus 2023   21:00 Diperbarui: 10 Agustus 2023   21:26 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    

 Salah satu pondasi awal dalam setiap sistem demokrasi adalah adanya mekanisme penyaluran pendapat rakyat secara berkala melalui pemilihan umum yang diamana diadakan secara berkala . Pemilihan umum (pemilu) juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipal. Indonesia merupakan salah satu negara yang menaganut sistem demokrasi dimana melaksanakan pemilu dalam waktu- waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.

Adapun tujuan dari Pemilu itu sendiri yaitu: Pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib. Kedua, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara.

     Jimly Asshiddiqie (dalam Kartiko Galuh, 2009) mengatakan tujuan penyelenggaraan pemilu, yaitu :

Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan  

  • pemerintahan secara tertib dan damai;
  • Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
  • Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
  • Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara

     Pemilu yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah, dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten dan kota. 

Sedangkan di cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan adanya pemilihan umum yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksud juga dapat terselenggara secara teratur dan berkala.

    Sejak merdeka pada tahun 1945, Indonesia sendiri sudah melaksanakan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) sebanyak dua belas kali yaitu terhitung mulai dari Pemilu pertama pada tahun 1955 sampai dengan Pemilu tahun 2019. Dengan demikian, Pemilu pada tahun 2024 yang akan datang merupakan Pemilu yang ketiga belas yang akan dilaksanakan di Indonesia. Namun sebagaimana kita ketahui bersama semenjak di MK mengabulkan putusannya No. 14/PUU-IX/2013 yang mana menyatakan bahwa pemilu legislative dan pemilu presiden-wakil presiden apabila pelaksanaaannya dilakukan secara terpisah merupakan inskonstitusional sehingga pemilu harus dilaksanakan secara serentak.

     Pelaksanaan pemilu serentak pertama kali seharusnya terjadi pada 2014, namun Mahkamah Konstitusi berpendapat apabila pelaksaan pemilu serentak ddipaksakan pada tahun 2014 akan menggangu serta menghambat proses pemilu yang sudah disiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga pemilu serentak pertama kali dilakukan di Indonesia pada tahun 2019. Akan tetapi semenjak dilakukan proses pemilu serentak justru menimbulkan persoalan baru mengenai ambang batas pencalonan presiden atau yang disebut Presidential Threshold. Pemilu di Indonesia yang mana sebenarnya telah diwarnai oleh ketentuan ambang batas minimal atau yang disebut dengan threshold baik dalam bentuk electoral threshold, parliamentary threshold, maupun presidential threshold.

Sebagaimana yang telah diejawantakan didalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dala pasal 222 yang mana berbunyi :

"Bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh kursi palin sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya"

     Aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tidak hanya menyisakan persoalan baru namun juga protes dari berbagai pihak bahkan terdapat belasan gugatan yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi akan tetapi di gugur ditangan MK baik ditolak atau tidak dapat diterima. Sebagaimana Putusan salah satunya  dalam Putusan MK Nomor : 20/PUU-XX/2022, dimana dalam putusan tersebut diputuskan dengan Putusan Tidak Dapat Diterima karena terjadi cacat formil dalam pengajuannya, dimana dalam hal ini Hakim Mahkamah memberi kesimpulan bahwa Para Pemohon tidak meliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

    Pengertian kedudukan hukum (legal standing) sendiri yakni sebagaimana dikemukakan oleh Harjono, dimana legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang tidak memiliki kedudukan hukum akan menerima putusan MK yang menyatakan permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

      Dalam ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 Undang- undang, MK menegaskan bahwa dalam permohonan untuk melakukan pengujian undang-undang yang bisa melakukan sebagai subjek pemohon meruakan pihak dimana mengangap hak maupun kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.Kerugian konstitusional tersebut menjadi syarat untuk dijadikan sebagai pemohon dalam legal standing (kedudukan hukum).[2] Adapun tentang siapa yang dimaksud dengan pihak yang merasa dirugikan, berdasarkan pada Undang-undang MK tersebut merinci antara lain :

 

a. Perorangan warga negara Indonesia.

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI (Negara Kesatuan Indonesia) yang diatur dalam undang-undang.

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara

 Terkhusus terkait tentang perorangan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) tersebut, MK dalam PMK tersebut menambahkan yang dimaksud "Perorangan" dalam pasal 51 (1) huruf a tersebut adalah termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Dengan adanya ketentuan maupun syarat yang mengatur terkait kedudukan hukum atau yang sering disebut legal stending tersebut, di dalam permohonannya pemohon mesti menguraikan secara rinci dan jelas tentang kategori atau kualifikasinya sebagai pihak, misalnya sebagai perorangangan atau kelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau sebagai Lembaga negara. 

Setelah itu baru diuraikan terkait hak maupun kewenangan konstitusional yang dirugikan, juga harus diuraikan secara jelas sebagai akibat diberlakukannya Undang-undang yang dimohonkan pengujian. Diketahui dalam hukum tata negara Islam, pada setiap pemerintahan yang mana harus mempunyai ketentuan dan prosedur hukum untuk menjadi tumpuan dalam setiap tindakan. Jika nyatanya bertentangan ataupun tidak sesuai dengan hukum, maka dalam tindakan, kebijakan atau juga keputusan yang dikerjakan tidak boleh ditaati. Dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

 

Artinya:

 

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal melakukan maksiat kepada Allah".

    Pegangan yang dijadikan sumber hukum dalam hukum tata negara Islam yakni terdapat Al-Quran dan al-Sunnah. Selanjutnya, yang menjadi sumber hukum islam dalam fiqh siysah terdapat jenis bentuknya antara lain : qiyas, lalu ijma' dan juga dari beberapa sumber hukum lain yang mana bersifat ijtihad dalam melakukan sebuah penemuan hukum tersebut, para ulama dengan tetap berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip pokok akan Al-Qur'an dan juga Hadist. 

Fathiyah al-Nabrawi dalam Fiqh Siysah Konstekstualisasi Doktrin Politik Islam menuturkan bahwasannya sumber dari fiqh siysah terbagi menjadi tiga, yaitu Al-Qur'an dan al-Sunnah, sumber-sumber yang tertulis selain dalam Al-Qur'an dan al-Sunnah, dan juga sumber-sumber yang berupa akan peninggalan kaum muslimin yang terdahulu. Apabila dikaitkan Undang-Undang Dasar 1945 seperti  Al-Qur'an dan juga Hadist yang mana menjadi sumber utama untuk pembentukan akan Peraturan Perundang- undangan di bawahnya.

Abdul Wahab al-Khallaf (Dalam A.Dzajuli,2003) terkait Fiqh Siyasah merupakan pengurusan dalam hal yang bersifat umum terhadap negara Islam yakni dengan menjaminkan akan perwujudan dalam kemaslahatan dan juga menghindarkan dari kemudharatan dengan cara tidak melampaui batas yang telah di tentukan oleh syari'ah dan juga dalam pokok-pokok syari'ah yang mana bersifat umum, meskipun tidak sepadan dengan pendapat dari para ulama mujtahid. 

Dalam  hukum islam salah satu aspek keilmuan, fiqh siysah yang membahas terkait dengan kekuasaan yang mencakup dari mana sumber kekuasaan, lalu siapa dalam pelaksana kekuasaan, kemudian apa dasar dari kekuasaan dan selanjutnya bagaimanakah cara dalam penyelenggaraan kekuasaan dan juga pada siapa pelaksana kekuasaan itu mempertanggung jawabkan akan kekuasaannya. Menurut Abdul Wahab Khallaf (dalam A.Dzajuli,2003) objek kajian fiqh siysah terdiri dari:

 1. Siysah dusturiyah merupakan politik perundang-undangan yang dalam ruang lingkup kajiannya membahas terkait akan proses pembuatan peraturan perundang-undangan dari lembaga legislatif,  juga urusan administrasi pemerintahan yang mana dikerjakan  oleh lembaga eksekutif, dan juga penegakan hukum dalam sistem peradilan oleh lembaga yudikatif.

2. Siysah dauliyah atau juga politik luar negeri yang mana membahas terkait dengan hukum perdata internasional dan juga hubungan internasional.

3. Siysah mliyah atau juga politik keuangan dan moneter yang mana membahas terkait dengan keuangan negara, lalu perdagangan internasional, kemudain kepentingan/hak publik, dan pos-pos pengeluaran dan belanja negara, serta perbankan dan pajak.

     Dalam fiqh siysah, suatu objek kajian yang mana akan diperlukan dalam sebuah penelitian ini yakni siysah dusturiyah, karena bersangkutan dengan pembahasan akan perundang- undangan oleh lembaga peradilan atau yudikatif. Dalam siysah dusturiyah, bahwasannya lembaga yudikatif atau juga kekuasaan kehakiman disebut dengan istilah al- sulthah al-Qadla'iyah. Pada jabatan al-sulthah al-Qadla'iyah dalam Islam dikuasai oleh hakim yang mana disebut dengan qadli.

Menurut Abu al-A'la al Maududi bahwasannya Al Sulthah al-Qadla'iyah yakni sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang mana sepenuhnya terlepas dari lembaga eksekutif, mandiri dan juga tidak terpengaruh oleh lembaga yang lain dikarenakan pada saat hakim dalam memutus perkara juga harus taat pada suatu hukum yang berada dalam Al Qur'an bukan kepada Negara.

     Fiqh siysah dusturiyah merupakan pengembangan keilmuan dari fiqh siysah yang terfokus pada pengkajian perundang-undangan (konstitusi, legislasi, ummah, demokrasi) dan juga di dalamnya membahas konsep negara hukum dan hubungan antara negara dan rakyatnya. Mengkaji fiqh siysah dusturiyah menjadi penting karena peraturan perundang-undangan mengatur segala aspek kehidupan rakyat, kepentingan, hak dan kewajiban rakyat oleh pemerintah.

Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus mengacu pada nash al-Qur'an dan as Sunnah dan juga prinsip kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalil:

 

"Mengambil kemaslahatan dan menolak kemudharatan"

     Oleh karena itu, pemerintah dalam membuat suatu kebijakan politik harus mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan juga kemaslahatan rakyat. Menurut Abd al Wahab Khallaf, perumusan undang-undang dalam prinsip Islam adalah jaminan hak asasi manusia dan persamaan kedudukan di hadapan hukum.Jika dalam konsep barat dikenal adanya teori trias politica, maka dalam Islam juga terdapat konsep pembagian kekuasaan yang terdiri dari al sulthah at tanfidziyah atau lembaga eksekutif, al sulthah at tasyri'iyah atau lembaga legislatif, dan al sulthah al qadh'iyah atau lembaga yudikatif.

     Tujuan dilakukannnya pembagian kekuasaan ini adalah untuk mengoptimalkan setiap tugas dan kewenangan yang diberikan kepada lembaga tersebut agar tidak terjadi penumpukan kewenangan dalam satu tangan lembaga saja. Demikian juga dalam lingkungan peradilan, pembagian kewenangan ini dikenal dalam istilah kompetensi atau wilayah yurisdiksi.Peradilan yang berarti bahwa setiap peradilan memiliki batas kewenangan dalam mengadili suatu perkara yang masuk kepadanya, baik hal tersebut dalam hal domisilinya ataupun dalam hal jenis atau objek perkaranya. Sehingga apabila batas yurisdiksi tersebut dilanggar atau tidak sesuai, maka peradilan yang menerima perkara tersebut memutuskan bahwa permohonan atau gugatannya tidak dapat diterima. 

Adapun dalam konsep ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman dalam cabang yudikatif. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan, salah satunya melalui kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dasar (judicial review). Judicial review ini dilakukan untuk memberikan kontrol normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan agar pembuat peraturan tersebut tidak sewenang-wenang. Oleh karena itu, tepat apabila kajian ini masuk dalam objek kajian fiqh siysah dusturiyah.

     Lembaga yudikatif atau kekuasaan kehakiman dalam konsep ketatanegaraan Islam dikenal dengan istilah al sulthah al qadh'iyah. Di dalam lembaga ini terdiri dari beberapa hakim, yaitu wilayah al hisbah, wilayah al mazalim, dan wilayah al qadh. Adapun wilayah al hisbah merupakan peradilan yang menangani perkara pidana di masyarakat, wilayah al mazalim merupakan peradilan yang menangani perkara sengketa yang terjadi antara rakyat dengan pejabat pemerintahan, dan wilayah al qadh menangani perkara perdata antar masyarakat. 

Oleh karena itu, menjadi beralasan jika dalam pembagian yang lebih khusus, Mahkamah Konstitusi  sebagai lembaga kehakiman dikategorikan dalam wilayah al mazalim. Sebagaimana konsep wilayah al mazalim, bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review adalah mengadili sengketa antara pemerintah dengan rakyat dalam hal kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah tersebut dianggap merugikan hak-hak rakyat. Sehingga, segala bentuk kezhaliman pemerintah tersebut harus dikembalikan kepada wilayah al mazalim atau keputusan Allah dan Rasul-Nya.

     Adapun dalam pembahasan sebelumnya cukup menegaskan bahwa yang menjadi dasar permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi  sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022 mengenai ambang batas sebagai pencalonan presiden dan wakil presiden yaitu dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

     Sebagaiman analisi penulis di atas dapat dipahami, bahwa presidential threshold merupakan kebijakan open legal policy serta kedudukan dari para pemohon menurut pandangan MK tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak sebagai pelaku yang dirugikan secara langsung. Maka, secara mutatis mutadis objek tersebut tidak dapat dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Sehingga hal inilah yang menyebabkan legal reasoning atau yang lebih dikenal pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohoinan tersebut menjadi putusan tidak dapat diterima.

Dilihat dalam tinjauan Fiqh siysah dusturiyah, analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022 dapat dilihat dari sudut pandang Putusan tersebut tidak menerima permohonan judicial review presidential threshold berdasarkan kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan dusturiyah.

Mahkmah Konstitusi sebgaimana qadhi al mazalim sebagai Lembaga negara, maka dalam melakukan suatu Tindakan atau mengambil keputusan apapun sudah seharusnya selalu mendasarkan pada nash al Qur'an dan as Sunnah atau peraturan perundang-undangan dalam hukum tata negara Indonesia. Selain itu, setiap lembaga negara juga harus selalu mempertimbangkan putusannya berdasarkan kemaslahatan rakyat atau kepentingan umum. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:


"Ketetapan atau kebijakan pemerintah (imam) kepada rakyatnya dibangun dengan pertimbangan kemaslahatan"

Demikian juga dikemukakan oleh Syekh Izzuddin Abdus Salam:

 


 

"Segala pembebanan hukum adalah untuk kemaslahatan di dunia dan di akhirat".

 

       kaidah tersebut menunjukkan bahwa seorang pemerintah dalam membuat kebijakan apapun harus mempertimbangkan terhadap kebaikan atau kemaslahatan umum. Maka tidak benar pemerintah mengambil kebijakan yang merugikan rakyat. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022 yang tidak menerima permohonan judicial review presidential threshold dapat dikatakan telah mengambil sisi-sisi kemaslahatan di dalamnya. Bahwa pada negara telah mengatur yuridiksi atau kompetensi dari setiap Lembaga negara, termasuk juga kompetensi MK dalam melaksanakan wewenang mengenai judial riview. 

Ketika Mahkamah Konstitusi menerima permohonan judicial review presidential threshold tersebut, maka Makamah Konstitusi telah menerobos ketentuan hukum yang ada, dalam hal ini yakni presidential threshold yang dimana merupakan open legal policy sebagaimana penjelasan diatas open legal policy bisa diujikan di MK apabila produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.

      Apabila terdapat pihak atau warga masyarakat yang tidak setuju terhadap pilihan kebijakan tersebut dapat mengusulkannya melalui mekanisme legislative review, yaitu dengan mengajukan usul perubahan kepada pembentuk undang-undang. Serta dalam putusan MK Nomor : 20/PUU-XX/2022, yang dimana pemohon nya merupakan perorangan. Sebagmaimana telah dijelaskan penulis diatas bahwa syarat pengajuan judicial review ke MK yang dimana diatur didalam UU MK Pasal 51, yakni salah satunya perorangnya namun ada mekanisme perlu diperhatikan sesuai ketentuan UU MK tersebut. Dalam hal ini judicial review yang dilakukan perorangan tersebut harus bisa menunjukan secara rinci hak yang dicederai atau dilanggar oleh UU atas UUD. Dalam hal ini Putusan Hakim MK sudah tepat atas amar putusan tidak dapat menerima pada putusan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga sesuai dengan kaidah :

 


 

"Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.

     Maka dari itu meskiput terdapat maslahah dalam hal ini agar demokrasi di Indonesia tidak mati bukan berarti Mahkamah Konstitusi begitu saja menerima judicial review presidential threshold yang dimana dianggap bertentangan terhadap UUD yang diujikan ke MK. Namun, dalam sisi lainnya yaitu bahwa hal tersebut akan berdampak buruk pada system hukum di Indonesia, kredibilitas Mahkamah Konntitusi  dan kualitas Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Selain itu, dalam kaidah yang lain juga dijelaskan  sebagai berikut :

 


 

     " Penetapan suatu hukum diperlukan adanya dalil."

      Kaidah tersebut menjelaskan bahwa dalam mengambil suatu keputusan atau menetapkan suatu hukum, maka harus melihat pada dalil atau dasar hukum yang jelas. Adapun mengenai Putusan Makamah Konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022, secara eksplisit dapat dipahami bahwa dalam melakukan suatu pertimbangan hukum dan mengambil suatu keputusan, Mahkamah Konstitusi melakukannya dengan dasar hukum yang jelas, Dalam praktik, judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Mengenai judicial review ke MK, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, sebagaimana pengejawanjahan dari UU MK Pasal 51.

Oleh karena itu, sudah tepat Mahkamah Konstitusi memutus permohonan tidak dapat diterima. Adapun, berkaitan dengan asas ius curia novit yang artinya hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya sebab hakim dianggap mengetahui seluruh hukum. Dalam hal tersebut bukan berarti hakim dapat menerobos aturan hukum yang telah ditetapkan dalan peraturan perundang-undangan dan menerima semua permohonan yang masuk dalam lingkup peradilannya.

  Berdasarkan pada uraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa Putusan Mahkmah Konstitusi yang salah satunya pada Putusan Nomor : 20/PUU-XX/2022 tentang putusan tidak dapat diterima permohonan judicial review presidential threshold sudah tepat dan sesuai dengan kaidah Fiqh siysah dusturiyah. Makamah Konstitusi memiliki hak untuk memutus tidak dapat menerima permohonan yang diajukan kepadanya ketika permohonan tersebut tidak memenuhi syarat formil. 

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi juga telah secara tegas menyatakan bahwa sebab tidak diterima judicial review presidential threshold tersebut, yakni para pemohon dalam permohonannya tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sehingga sudah sepatutnya Makamah Konstitusi tidak dapat diterima, dalam hal ini penulis menambahkan bahwa Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi lebih solid dalam memutuskan perkara agar pemohon mendapatkan haknya . 

Serta, Hakim Konstitusi agar lebih jelih lagi dalam menangani dan memutuskan produk open legal policy apakah mencederai hak" atau tidak dan melihat lebih jelih permohonan yang diajukan oleh pemohon agar pemohon yang merasa dirugikan oleh ketetapan / peraturan  untuk  mendapatkan hak nya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan adapun kesimpulan tersebut yaitu:

1. Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. Nomor : 20/PUU-XX/2022 tepat dengan hukum formil pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia bahwa Mahkamah Konstitusi  hanya dapat menerima permohonan judicial review yang diajukan oleh pemohon berdasarkam UU MK Pasal 51 sebagai prasyarat pemohon . Sedangkan dalam Putusan Mahkamah konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022. Mengenai syarat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum maka dalam hal ini Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi sudah tepat, namun dalam hal ini penulis juga menegaskan  terkait pemohonan judicial review presidential threshold yang diajukan oleh perorangan.

Mahkamah Konstitusi harus jelih lagi apakah subjek tersbut benar" tidak ada hak yang dirugikan atau malah justru dirugikan oleh ketentuan tersebut. Meskipun secara procedural yang mengajukan bukan pelaku utama dalam hal ini calon kadidat presiden maupun wakil presiden. Akan teteapi Hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh menutup mata mengenai syarat pemohon yang telah diatur dalam UU MK pasal 51 tersebut, yang dimana dalam hal ini salah satu nya yakni perorangan selama bisa membktikan hak dan, kerugain nya. Maka, Hakim Makamah Konstitusi harus memberikan ruang untuk pengujian formil tersebut. Agar pemohon mendapat hak nya sesuai kerugian yang didalilkan.

2. Dalam konsep fiqh siysah dusturiyah,Tugas dari  Mahkmah Peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kesamaan konsep dengan wilayah al mazalim yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan antara pejabat pemerintahan yang zhalim dengan rakyat yang dirugikan hak-haknya. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan antara rakyat dan pejabat pemerintahan dalam wujud kewenangan judicial review peraturan perundang-undangan yang merupakan kebijakan politik pejabat pemerintahan.

3. Adapun putusan tidak dapat diterima dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XX/2022 sebagaimana hasil analisis penulis menunjukkan bahwa putusan tersebut sudah tepat dan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah fiqh siysah dusturiyah, yakni bahwa Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut telah mempertimbangkan aspek sesuai aturan yang berlaku, dan juga membuat putusan dengan berdasarkan dalil yang jelas.

Dalam hal ini juga penulis memberikan saran :

 1. Dimana bahwasannya uraian serta analisis dari penulis diatas masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, perlu untuk melakukan akan penelitian lain yang mana lebih dapat dikaji untuk lebih dalam yang bersangkutan dengan persoalan ini. Mengingat permasalahan legl standing merupan permasalahan yang masih timbul kerancuan dalam praktiknya serta juga sangat penting pada suatu sistem ketatanegaraan di Indonesia.

2. Bahwa legal standing dalam proses pengajuan judicial review presidential threshold mempunyai peran sangat penting pada demokrasi nasional Indonesia. Maka, kondisi akan lembaga yudikatif juga mempunyai sebuah peran  yang penting dalam kondisi demokrasi nasional. Saat sebuah UU yang mana esensi dari demokrasi  bertentangan terhadap UUD akibat dibuat dengan secara tidak demokratis, maka dai itu perlu melakukan akan pengujian atas UU tersebut guna kemudian melakukan pembenahan atau perubahan. Akan tetapi, dalam hal ini mengenai presidentsial threshold merupakam produk open legal policy. 

Mengenai hal tersebut MK selain melihat dampak yang dirugikan oleh pemohon dan juga terlihat bahwasannya MK bersifat judicial activism, yang mana artinya respon dan adaptasi pengadilan terhadap perubahan sosial dengan cara mengembangkan prinsip-prinsip yang diambil dari teks konstitusi dan putusan yang telah ada guna mengimplementasikan nilai-nilai dasar dari konstitusi secara progresif. Oleh sebab itu dengan belasan kali pengujian judicial review mengenai presidential threshold yang mana salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XX/2022. 

Dengan hal, tersebut Pemerintah serta DPR sebijak mungkin dalam menanggapi problem yang ada di UU ini karena mengingat banyaknya para Pemohon Judicial Review yang ada di Pasal ini mengenai presidential threshold. Serta dengan adanya penerapan presidential threshold dianggap merugikan hak dipilih dan memilih sebaiknya Pemerintah dan DPR sesegara mungkin melakukan legislative review. Demi tegakknya keadilan dan demokrasi sehingga tidak ada yang dilanggar terkait aturan di dalam UU UU No 7 Tahun 2017 Pasal 222 mengenai Presidential Threshold.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun