Adapun dalam konsep ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman dalam cabang yudikatif. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan, salah satunya melalui kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dasar (judicial review). Judicial review ini dilakukan untuk memberikan kontrol normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan agar pembuat peraturan tersebut tidak sewenang-wenang. Oleh karena itu, tepat apabila kajian ini masuk dalam objek kajian fiqh siysah dusturiyah.
   Lembaga yudikatif atau kekuasaan kehakiman dalam konsep ketatanegaraan Islam dikenal dengan istilah al sulthah al qadh'iyah. Di dalam lembaga ini terdiri dari beberapa hakim, yaitu wilayah al hisbah, wilayah al mazalim, dan wilayah al qadh. Adapun wilayah al hisbah merupakan peradilan yang menangani perkara pidana di masyarakat, wilayah al mazalim merupakan peradilan yang menangani perkara sengketa yang terjadi antara rakyat dengan pejabat pemerintahan, dan wilayah al qadh menangani perkara perdata antar masyarakat.Â
Oleh karena itu, menjadi beralasan jika dalam pembagian yang lebih khusus, Mahkamah Konstitusi  sebagai lembaga kehakiman dikategorikan dalam wilayah al mazalim. Sebagaimana konsep wilayah al mazalim, bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review adalah mengadili sengketa antara pemerintah dengan rakyat dalam hal kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah tersebut dianggap merugikan hak-hak rakyat. Sehingga, segala bentuk kezhaliman pemerintah tersebut harus dikembalikan kepada wilayah al mazalim atau keputusan Allah dan Rasul-Nya.
   Adapun dalam pembahasan sebelumnya cukup menegaskan bahwa yang menjadi dasar permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi  sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022 mengenai ambang batas sebagai pencalonan presiden dan wakil presiden yaitu dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
   Sebagaiman analisi penulis di atas dapat dipahami, bahwa presidential threshold merupakan kebijakan open legal policy serta kedudukan dari para pemohon menurut pandangan MK tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak sebagai pelaku yang dirugikan secara langsung. Maka, secara mutatis mutadis objek tersebut tidak dapat dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Sehingga hal inilah yang menyebabkan legal reasoning atau yang lebih dikenal pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohoinan tersebut menjadi putusan tidak dapat diterima.
Dilihat dalam tinjauan Fiqh siysah dusturiyah, analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 20/PUU-XX/2022 dapat dilihat dari sudut pandang Putusan tersebut tidak menerima permohonan judicial review presidential threshold berdasarkan kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan dusturiyah.
Mahkmah Konstitusi sebgaimana qadhi al mazalim sebagai Lembaga negara, maka dalam melakukan suatu Tindakan atau mengambil keputusan apapun sudah seharusnya selalu mendasarkan pada nash al Qur'an dan as Sunnah atau peraturan perundang-undangan dalam hukum tata negara Indonesia. Selain itu, setiap lembaga negara juga harus selalu mempertimbangkan putusannya berdasarkan kemaslahatan rakyat atau kepentingan umum. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:
"Ketetapan atau kebijakan pemerintah (imam) kepada rakyatnya dibangun dengan pertimbangan kemaslahatan"
Demikian juga dikemukakan oleh Syekh Izzuddin Abdus Salam:
Â
Â