“Ing ngarsa sung taladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Semesta berbicara, bahwa semboyan dalam bahasa Jawa itu masih melekat dibenak kita. Umumnya bagi yang bisa membaca tentu sudah pernah membacanya, minimal bagi yang memiliki telinga yang berfungsi dengan baik, tentu sudah tidak asing lagi mendengarnya. Semboyan itu digandrungi oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara ketika ia masih aktif menekuni dunia pendidikan, dan mendirikan pendidikan Taman Siswa 3 Juli 1922 silam. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia; “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.”
Kenyataannya, di negeri ini semboyan itu hanya untuk didengar dan dibaca, tetapi tidak direalisasikan. Kita saksikan saja, begitu banyak para pemimpin yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu membawa pendidikan di negeri ini lebih baik, faktanya bukan lagi memberi contoh terdidik, tapi dalam bahasa Minangkabaunya bisa dikatakan“tukek mambaok rabah” alias tongkat membawa roboh. Sebaliknya, masyarakat menengah bukan lagi memberi semangat tapi sudah hilang kata sepakat, dan masyarakat bawah pun bukan memberi sokongan tapi sogokan.
Terbukti, ketika semesta berbicara baru-baru ini. Kita sering dihebohkan ulah kaum pendidikan dan perilaku anak didik, yang seakan-akan tidak lagi terdidik. Berbagai kasus negatif tentang pendidikan menjadi bahan perbincangan hangat di berbagai media massa. Bukan lagi masalah sarana dan prasarana yang minim, tetapi juga melibatkan orang-orang di dalam “sangkar” pendidikan. Ada pendidik tertangkap basah ketika selingkuh, orang terdidik melakukan pencabulan, dan ada anak didik yang korban bahkan pelaku pencabulan. Selain itu, berbagai pemberitaan tentang kekerasan yang dilakukan pendidik, orang terdidik, dan anak didik. Parahnya lagi, anak-anak belia yang masih di bangku Sekolah Dasar (SD) dan masih bau kencur itu, sudah paham betul dengan dunia seks, bahkan banyak yang jadi pelakunya.
Menyaksikan berbagai fenomena itu, kita merasa sedih, risih, dan miris menyayat hati. Benarkah segitu bobroknya pendidikan di negeri ini? Mulai dari orang yang sudah beruban sampai anak ingusan perangainya sama hancurnya. Baik dari kalangan atas, yang dipandang terdidik dan berpendidikan tinggi, sampai orang yang tidak pernah mengenal sekolah, moralnya sama bejatnya. Siapa yang salah dan yang patut dipersalahkan? Sudah sepantasnya pertanyaan dan jawaban itu berdetak di batin kita masing-masing. Lihat dan introspeksi moral di negeri selama ini, siapa yang harus disorot?
Faktor Penyebab
Melihat berbagai fenomena negatif yang menyinggung dunia pendidikan di negeri ini, tentu sangat memukul hati bagi yang masih berhati. Fenomena negatif yang kita saksikan di media, dan bahkan kita jumpai di lingkungan sehari-hari, itu terjadi bukan tanpa sebab. Zaman globalisasi dan kecanggihan teknologi informasi saat ini, salah satu penyebab terbesarnya. Semua informasi dari seluruh dunia, bisa diakses juga oleh seluruh makhluk di dunia. Terutama sekali dengan mudahnya akses internet sebagai media sosial, seperti facebook, twitter, website, instagram, dan media sosial lainnya. Selain itu, sajian media di televisi punya andil besar dalam memperngaruhi otak generasi muda, termasuk kaum pelajar yang sedang menggeluti pendidikan.
Tidak tertutup kemungkinan, kecepatan akses media sosial itu tanpa pengendalian yang efektif akan menyebabkan terjadinya kelakuan negatif di dunia pendidikan. Kecanggihan teknologi informasi zaman sekarang, diibarat pisau bermata dua. Baik internet maupun media televisi pisaunya sungguh tajam. Apabila bisa menggunakan, menyaring, dan mengendalikannya, teknologi informasi tersebut bisa menghasilkan sesuatu yang positif, bermanfaat, dan bisa menunjang ilmu pengetahuan ke arah yang lebih baik, terutama di dunia pendidikan. Sebaliknya, apabila tidak hati-hati, dan dikendalikan oleh canggihnya teknologi informasi (internet dan televisi) justru bisa menjerumuskan ke hal-hal negatif.
Hal ini karena media sosial yang disajikan diinternet bukan hanya bersifat positif, tetapi semakin maraknya hal-hal negatif, yang bisa langsung ditiru oleh generasi muda, termasuk peserta didik. Kecepatan dan kecanggihan teknologi informasi yang semakin global, telah memacu para penikmat untuk mengaksesnya. Misalnya saja, setiap hari merk smartphoneterus berganti dengan fitur-fitur yang baru serba canggih, sekaligus dengan harga yang terjangkau. Akibatnya, media sosial hampir semua orang sudah memiliki akun media sosial, mulai dari usia tua hingga anak-anak. Kecanduan-kecanduan menggunakan media sosial inilah pemacu dan bahkan menjadi candu di otak masyarakat, terutama generasi muda.
Ujung-ujung kecanduan tersebut menyebabkan rendahnya gairah belajar bagi peserta didik. Selain itu, semakin banyak terjadi kasus-kasus negatif, mulai dari pencabulan, kekerasan, obat terlarang dan sebagainya. Namun ditinjau lebih jauh, penyebab sebanrnya bukan hanya pengaruh media sosial di internet dan siaran televisi yang kurang mendidik atau senonoh.
Pengaruh lingkungan tempat tinggal juga sangat mempengaruhi masa depan generasi penerus, terutama peserta didik yang masih labil. Oleh sebab itu, keluarga harus selalu mengawasi anaknya, baik dalam pergaulan maupun perkembangan pendidikan anaknya.
Mendidik dengan Hati
Sebenarnya, pendidikan itu bukan semata-mata hanya simbol proses pendidik dalam mendidik. Pendidikan itu bisa mencakup pembelajaran, baik pengetahuan, keterampilan, maupun kebiasaan melalui pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Proses pendidikan tersebut dilakukan secara terus-menerus dan turun-temurun diturunkan dari seseorang ke orang lainnya, atau dari generasi ke generasi berikutnya. Sebab itu pula siapapun yang mengajarkan suatu ilmu, atau hal-hal tentang kebaikan akan mendapat amalan yang tidak putus-putusnya. Sebaliknya, bagi yang menuntut ilmu disebut sebagai pejuang kebajikan, dan ketika meninggalpun dikatakan syahid dalam agama Islam.
Begitulah pentingnya pendidikan, dan itu berlaku bagi siapapun, karena manusia tidak ada batasan untuk belajar dan terus belajar. Konsep Ki Hajar Dewantara, mendidik anak berarti mendidik masa depan anak untuk kehidupan yang lebih baik, begitu pun mendidik masyarakat berarti mendidik masa depan bangsa. Jadi sudah jelas, jika mendidik anak saja masih belum siap atau masih di bawah standar, berarti masa depan anak tidak akan pernah siap. Apabila pemimpin saja belum siap untuk mendidik masyarakatnya, berarti masa depan bangsa siap-siap tengkurap. Meskipun begitu, kesiapan mendidik bukan saja dari segi pendidiknya tetapi juga pentingnya melihat kesiapan peserta didiknya. Biar pun pendidiknya bagus, tetapi peserta didiknya belum siap menerima, bagaimana? Begitu pula sebaliknya. Artinya, pendidik dan peserta didik harus bersinergi dengan satu tujuan bersama untuk membenah diri menjadi lebih baik.
Namun dalam konteks pendidikan formal, Ki Hajar Dewantara pernah menyebutkan sekolah dengan istilah “taman”, yang maksudnya sekolah tempat belajar yang menyenangkan. Peserta didik pergi ke taman (sekolah) dengan senang hati, dan berada di taman (belajar) dengan senang hati pula. Nah, jika ada peserta didik yang tidak senang atau tidak enjoyberada di taman tersebut, tugas utama pendidik ialah menyenangkan agar peserta didik betah, mudah, dan kemudian mau menerima pendidikan yang diajarkan.
Bagaimana jika peserta didik sudah keluar dari taman? Apakah bisa dijamin dia akan menyayangi dan menyiram bunga-bunga seperti halnya di taman? Tentu saja tidak semua, bahkan banyak juga peserta didik yang merusak taman-taman itu sendiri. Artinya, setelah peserta didik lulus dari tingkat dasar dan menengah, ia juga masih perlu diawasi. Inilah tanggungjawab keluarga setelah peserta didik, anak, atau siswa keluar dari lingkungan pendidikan (sekolah). Semesta harus selalu saling mendukung, agar dunia pendidikan di negeri ini tidak selalu mendung. Mendidiklah dengan hati agar peserta didik juga menerima dengan senang hati.
Perlu Sokongan se-Semesta
Pentingnya pendidikan sudah tercantum dalam semboyan tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina,yang mengisyaratkan bahwa setiap manusia dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan. Hal itu tercantum dalam UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada bagian Ketentuan Umum Pasal 1, Ayat (18) tercantum tentang wajib belajar, “Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah.” Istilah kata harusdalam UU tersebut berkonotasi dengan kewajiban.Sementara dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pendidikan merupakan hak warga negara.
Berdasarkan pernyataan di atas, istilah wajib belajarbisa dikatakan kewajiban bagi seluruh warga negara, yang apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan akan mendapat sanksi. Sebaliknya, penggunaan kata hak belajarbisa didefenisikan sesuatu yang harus diberikan kepada yang sudah pantas mendapatkan. Maksudnya, dengan kata lain negara harus memberikan hak belajaratau pendidikan kepada seluruh warga negaranya. Namun kenyataannya, penggunaan diksi dalam UU saja pengertiannya sudah begitu rancu. Mirisnya lagi, dalam realisasinya bahkan bisa dikatakan lebih rancu.
Kerancuan dalam realisasinya bisa dijumpai dalam realitasnya di dunia pendidikan, terutama dalam istilah “taman” yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara. Tidak dipungkiri, meskipun dalam UUD 1945 ada istilah hak belajar yang harus diterima oleh seluruh warga negara, kenyataannya masih banyak sekolah (taman) negeri yang memungut biaya pendidikan. Apa lagi sekolah swasta, sudah jelas sangat memikul pundak keluarga untuk biaya sekolah anaknya. Mungkin saja, istilah wajib belajardalam UU No. 20 Th. 2003 itu diplesetkan sebagai wajib bayar.Entahlah, kita sebagai orang bawahhanya bisa menggerutu dan manggut-manggut, bahkan tidak tahu apa dan siapa yang patut.
Ada baiknya, wajib belajar atau hak belajar belum begitu tepat digunakan dalam UU. Sebab, kenyataannya masih banyak anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Kita lihat saja di kota-kota besar, betapa banyak anak-anak menjadi gelandangan, pengamen, dan ikut menjadi carut-marut tentang negeri ini. Begitu pula di pedesaan, anak-anak lebih memilih kerja di ladang, kebun, atau sawah untuk membantu keluarganya. Sebab selain tidak ada biaya, sekolah mereka masih banyak yang tidak layak huni, kurang sarana-prasarana, dan juga kurangnya tenaga pengajar.
Oleh sebab itu, demi mencapai pendidikan yang berkarakter gerakan semesta, ubah haluan pendidikan. Pemerintah hendaknya bukan hanya meng-upgrade pendidikan di perkotaan saja, tapi utamakan juga pendidikan di daerah pelosok. Baik sarana-prasarana atau pun tenaga pengajar. Hal ini dilakukan agar pendidikan di negeri ini merata. Selain itu, tunaikan hak-hak pendidikan bagi setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan, minimal tidak ada lagi yang buta huruf.
Selanjutnya, dunia pendidikan sangat butuh dukungan dari berbagai pihak (se-semesta), bukan saja pemerintah dan pendidik, tetapi juga kesadaran masyarakat atau orangtua. Sinergi pemerintah, pendidik, masyarakat, dan orangtua sangat perlu demi terciptanya masa depan peserta didik. Masyarakat dan orangtua harus punya komitmen dan gerakan peduli pentingnya pendidikan. Hal ini dilakukan agar masyarakat dan orangtua bisa selalu memotivasi anaknya tentang pentingnya belajar. Supaya ketakutan dan pradigma "lebih baik cari uang, daripada sekolah menghabiskan uang" di lingkungan masyarakat selama ini hilang. Kemudian, orangtua juga harus tegas, dan jangan manjakan anak dengan perkembangan teknologi.
Namun yang lebih utama dan lebih penting lagi ialah kesadaran peserta didik (siswa) tentang pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan. Harapannya, ketika peserta didik sadar dengan hal itu, bisa jadi motivasi belajarnya lebih tinggi daripada hura-hura, nonton televisi, atau sibuk internetan. Maka ada baiknya, pemerintah selain mensejahterakan pendidik (guru), juga harus menyediakan wahana belajar yang layak, pendidik mengajar dengan semangat dan patut ditiru, serta orangtua selalu mendukung bahw buku gudang ilmu. Sehingga, terciptalah ladang pendidikan gerakan semesta yang lebih baik, arif, bijak, dan bertanggungjawab. Bukankah setiap ada kemauan selalu ada jalan? Semoga semesta mendukung.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H