Mendidik dengan Hati
Sebenarnya, pendidikan itu bukan semata-mata hanya simbol proses pendidik dalam mendidik. Pendidikan itu bisa mencakup pembelajaran, baik pengetahuan, keterampilan, maupun kebiasaan melalui pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Proses pendidikan tersebut dilakukan secara terus-menerus dan turun-temurun diturunkan dari seseorang ke orang lainnya, atau dari generasi ke generasi berikutnya. Sebab itu pula siapapun yang mengajarkan suatu ilmu, atau hal-hal tentang kebaikan akan mendapat amalan yang tidak putus-putusnya. Sebaliknya, bagi yang menuntut ilmu disebut sebagai pejuang kebajikan, dan ketika meninggalpun dikatakan syahid dalam agama Islam.
Begitulah pentingnya pendidikan, dan itu berlaku bagi siapapun, karena manusia tidak ada batasan untuk belajar dan terus belajar. Konsep Ki Hajar Dewantara, mendidik anak berarti mendidik masa depan anak untuk kehidupan yang lebih baik, begitu pun mendidik masyarakat berarti mendidik masa depan bangsa. Jadi sudah jelas, jika mendidik anak saja masih belum siap atau masih di bawah standar, berarti masa depan anak tidak akan pernah siap. Apabila pemimpin saja belum siap untuk mendidik masyarakatnya, berarti masa depan bangsa siap-siap tengkurap. Meskipun begitu, kesiapan mendidik bukan saja dari segi pendidiknya tetapi juga pentingnya melihat kesiapan peserta didiknya. Biar pun pendidiknya bagus, tetapi peserta didiknya belum siap menerima, bagaimana? Begitu pula sebaliknya. Artinya, pendidik dan peserta didik harus bersinergi dengan satu tujuan bersama untuk membenah diri menjadi lebih baik.
Namun dalam konteks pendidikan formal, Ki Hajar Dewantara pernah menyebutkan sekolah dengan istilah “taman”, yang maksudnya sekolah tempat belajar yang menyenangkan. Peserta didik pergi ke taman (sekolah) dengan senang hati, dan berada di taman (belajar) dengan senang hati pula. Nah, jika ada peserta didik yang tidak senang atau tidak enjoyberada di taman tersebut, tugas utama pendidik ialah menyenangkan agar peserta didik betah, mudah, dan kemudian mau menerima pendidikan yang diajarkan.
Bagaimana jika peserta didik sudah keluar dari taman? Apakah bisa dijamin dia akan menyayangi dan menyiram bunga-bunga seperti halnya di taman? Tentu saja tidak semua, bahkan banyak juga peserta didik yang merusak taman-taman itu sendiri. Artinya, setelah peserta didik lulus dari tingkat dasar dan menengah, ia juga masih perlu diawasi. Inilah tanggungjawab keluarga setelah peserta didik, anak, atau siswa keluar dari lingkungan pendidikan (sekolah). Semesta harus selalu saling mendukung, agar dunia pendidikan di negeri ini tidak selalu mendung. Mendidiklah dengan hati agar peserta didik juga menerima dengan senang hati.
Perlu Sokongan se-Semesta
Pentingnya pendidikan sudah tercantum dalam semboyan tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina,yang mengisyaratkan bahwa setiap manusia dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan. Hal itu tercantum dalam UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada bagian Ketentuan Umum Pasal 1, Ayat (18) tercantum tentang wajib belajar, “Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah.” Istilah kata harusdalam UU tersebut berkonotasi dengan kewajiban.Sementara dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pendidikan merupakan hak warga negara.
Berdasarkan pernyataan di atas, istilah wajib belajarbisa dikatakan kewajiban bagi seluruh warga negara, yang apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan akan mendapat sanksi. Sebaliknya, penggunaan kata hak belajarbisa didefenisikan sesuatu yang harus diberikan kepada yang sudah pantas mendapatkan. Maksudnya, dengan kata lain negara harus memberikan hak belajaratau pendidikan kepada seluruh warga negaranya. Namun kenyataannya, penggunaan diksi dalam UU saja pengertiannya sudah begitu rancu. Mirisnya lagi, dalam realisasinya bahkan bisa dikatakan lebih rancu.
Kerancuan dalam realisasinya bisa dijumpai dalam realitasnya di dunia pendidikan, terutama dalam istilah “taman” yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara. Tidak dipungkiri, meskipun dalam UUD 1945 ada istilah hak belajar yang harus diterima oleh seluruh warga negara, kenyataannya masih banyak sekolah (taman) negeri yang memungut biaya pendidikan. Apa lagi sekolah swasta, sudah jelas sangat memikul pundak keluarga untuk biaya sekolah anaknya. Mungkin saja, istilah wajib belajardalam UU No. 20 Th. 2003 itu diplesetkan sebagai wajib bayar.Entahlah, kita sebagai orang bawahhanya bisa menggerutu dan manggut-manggut, bahkan tidak tahu apa dan siapa yang patut.
Ada baiknya, wajib belajar atau hak belajar belum begitu tepat digunakan dalam UU. Sebab, kenyataannya masih banyak anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Kita lihat saja di kota-kota besar, betapa banyak anak-anak menjadi gelandangan, pengamen, dan ikut menjadi carut-marut tentang negeri ini. Begitu pula di pedesaan, anak-anak lebih memilih kerja di ladang, kebun, atau sawah untuk membantu keluarganya. Sebab selain tidak ada biaya, sekolah mereka masih banyak yang tidak layak huni, kurang sarana-prasarana, dan juga kurangnya tenaga pengajar.
Oleh sebab itu, demi mencapai pendidikan yang berkarakter gerakan semesta, ubah haluan pendidikan. Pemerintah hendaknya bukan hanya meng-upgrade pendidikan di perkotaan saja, tapi utamakan juga pendidikan di daerah pelosok. Baik sarana-prasarana atau pun tenaga pengajar. Hal ini dilakukan agar pendidikan di negeri ini merata. Selain itu, tunaikan hak-hak pendidikan bagi setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan, minimal tidak ada lagi yang buta huruf.