Hei tuanku.Â
Kau dulu sepertiku, yang bisa duduk terperungkuk dihadapan tuan-tuan yang lain. Hanya bisa melihat estetika dalam fikiran penyembahan.Â
Hai tuanku.Â
Kau dulu sama seperti ku, yang hanya bisa lepas landas dari kecurangan hidup. Rasa-rasa takdir tidak pernah sama sekali bertamu.Â
Kau dan aku seperti nya sama, tuanku. Mencari kebebasan untuk kebahagiaan, dimulai dari nyenyak tidur sampai dengan menyantap makanan.Â
Tetapi, tuanku kenapa hari ini kau sudah tidak seperti dulu?.
Yang mengabdi bukan nama saudara,tetapi sama-sama manusia. Dulu kau begitu baik padaku, dan pada alam semesta. Bahkan dalam fikir sadarku, kau adalah sang penyelamat dari tidak nikmatnya kehidupan.
Tuanku..
Kenapa kau menjadi seperti itu, kau peduli sendiri saja pada egomu. Kau sekarang hanya tahu cara mendapatkan nikmatmu, tak peduli pelit dan sakit nya manusia yang pernah seperti mu dulu.Â
Tuanku..
Cobalah melihat kebelakang, kau harus cepat-cepat sadar. Mereka membutuhkan mu yang dulu, cukup saja egoismu hari ini. Kami maafkan, jangan diterus-teruskan, kami cukup terbeban.
Tuanku..
Ayoklah, sapa semua saudaramu, pedulikan mereka. Jangan hanya gila kuasa saja, tentu kau bukan manusia yang dijuluki pendosa bukan?, aku yakin kau adalah manusia penyelamat sejak kau saja yang peduli tentang nasib hidup orang banyak.Â
Wahai tuanku...
Sadarlah, sadarlah, bangun, bangunlah. Kami ingin kau jadi sosok terhormat seperti waktu itu, yang rela tidak makan demi membagi sama dengan kami yang lapar dijalanan. Badanmu rela berpanas-panasan untuk mencari tahu nasib saudaramu,kau dulu peduli, kau dulu sungkan, kau dulu sopan, namun tidak dengan dirimu sekarang.
Tuanku..
Kami merindukanmu dengan sikap ramahmu,kami rindukan tatapanmu yang ikhlas, dan merindukan kau menyapa kami meskipun hanya bertanya-tanya kabar saja.Â
Tetapi, kami rindu itu. Tuanku, kami rindu itu. Kembalilah ke dirimu, Tuanku