Manusia sejak dahulu kala lahir sebagai spesies bertanya, sehingga sepantasnya mereka ini disebut sebagai mahkluk kepo. Banyak hal yang ingin diketahui, pada akhirnya jawaban tidak pernah terpuaskan.Â
Baik itu ditemukan dalam buah fikiran, hingga pada eksperimen empirisme. Tidak bisa dipungkiri, kepenasaranan manusia menjadi satu proyek yang merepotkan. Sebab dari pertanyaan-pertanyaan yang selalu di ajukan, menimbulkan implikasi ketidakpuasan.Â
Manusia sejak dulu membuka berbagai kotak pandora kepenasaranan. Kadang-kadang dengan percaya diri dengan keraguan mereka melemparkan pertanyaan hingga pada narasi metafisika. Inipun menjadi penyebab manusia selalu ada pada fase bertanya, dan bertanya.Â
Tidak ada jawaban yang memuaskan. Ini pun memberangkatkan satu postulat penting bahwa kerelativitasan menjadi hal pasti, akan tetapi yang pasti belum tentu dikatakan final.Â
Sehingga disinilah titik paradoks penekanannya. Bahwa manusia selalu ada pada pandangan yang mengharuskan mereka berfikir sejauh mungkin atas apa yang dipertanyakan, kemudian kapan hari mereka membuka pengetahuan yang begitu rahasia. Tidak diketahui itu apa, yang pasti semua berbentuk pada satu jawaban yang disebut sebagai "SESUATU".Â
Manusia bertanya, dan Mereka sendiri yang harus berusaha menjawabnya. Mereka mencari, pun akan menimbulkan pertanyaan kembali. Jika demikian, lebih baik menitik beratkan pada kebingungan atas pertanyaan daripada menjawab pertanyaan dengan narasi yang kompleks, namun itu adalah musibah bagi fikiran.Â
Tiap narasi akan selalu dihadirkan. Eksistensi manusia bukan lagi sekedar ucapan lisan dan tulisan. Manusia menciptakan kondisi yang mengharuskan mereka menjawab satu variabel atensi berfikir, yakni apakah itu sesuatu?
Dengan ini proyek yang sama akan coba dijawab dengan deskriptif, tentunya ini adalah bagian interpretasi subjektif yang kapan-kapan akan mengalami kegagalan ketika kecacatan ditemukan.Â
APAKAH SESUATU ITU?Â
jika menjawab pertanyaan mengenai apakah sesuatu?. Maka sama halnya menjawab apakah ada sesuatu?. Dua pertanyaan ini merupakan pertanyaan filosofis mengetes jejak kepala. Kapan manusia bisa mengetahui sesuatu itu sebagai pengetahuan yang mereka dapatian.Â
Sejak dahulu manusia sudah eksis sebagai mahluk yang menghargai dan menamakan sesuatu. Dalam penekanan ini, dijelaskan bahwa sesuatu adalah bagian pengetahuan yang abstark.Â
Ketika tidak ada hal, namun masih bisa di mungkin kan, maka bisa menjadi klasifikasi sesuatu. Dengan lain kata, sesuatu memasuki bagian-bagian atomik hingga kosmik paradigma berfikir.Â
Diksi sesuatu sudah menjadi diksi ontologis. Ketika manusia sudah mulai membahas mengenai sesuatu hal. Maka ini sama saja dengan mengatakan keeksistensian.Â
Ia selalu hadir sebagai pengetahuan manusia jika ia sudah dikatakan sebagai sesuatu. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sesuatu dikatakan sebagai sarana abstarksi. Ia tidak bisa dijelaskan dalam hal satu objektif, sehingga sesuatu merupakan kehadiran yang memungkinkan yang mungkin.Â
Apapun yang dijelaskan sebagai sesuatu. Kemungkinan akan hadir, entah itu bisa diamati, dipikirin atau hanya sebagai bentuk atomik yang dibatasi dalam ruang waktu.Â
Semua terjustifikasi sebagai hal ada dalam catatan kemungkinan sesuatu itu bagian yang hadir. Tidak mungkin manusia mengatakan sesuatu tanpa kehadiran, inilah postulat utama.Â
Kemudian proposisi lainnya yakni sesuatu yang bisa dikatakan sesuatu sudah ada dalam bagian dunia atau yang an sich. Akan tetapi ia tak lain dikenali sebagai yang objektif, melainkan di kenali sebagai interpretasi subjektif. Jikapun ia sudah dikategorikan sebagai objektif dalam ilmu pengetahuan, maka ia memiliki variable syarat dari ilmu pengetahuan.Â
Dengan demikian, manusia mengetahui dalam pengetahuan dalam input dan output apapun dicatat sebagai yang ada. Jika itu di hadirkan sebagai kesadaran, maka ia ada- nya dalam catatan yang memungkinkan ia ada.Â
Di sini sudah diberikannya garis merah tebal bahwa kemungkinan yang ada sebagai yang mungkin. Ketika ia dianggap ada dalam ruang waktu dipikirkan. Secara tak langsung kehadiran nya dijelaskan sebagai sesuatu.Â
Pengalaman pun sudah jelas masuk kedalam sesuatu, sesutu yang timbul. Pun kausalitas tidak lagi bagian dari pertimbangan. Yang ada hanya bagian materil dan empirikal inderawi.Â
Kemudian apapun pemikiran kritis lainnya adalah bagian metafisika. Ia jelas menjadi sesuatu, karena mengikuti alur yang sama seperti argumen awal. Bahwa segala bentuk yang dijelaskan dalam ruang dan terparameter sebagai sesuatu tentu jelas memungkinkan ia ada.Â
Ketika sesuatu dipandang sebagai yang ada, maka ia sama saja pada hukum dipegang. Bauwa pada segala yang dianggap dalam input kemungkinan. Lebih mungkin ada sebagai yang berada pada sesuatu daripada tidak sama sekali di narasikan sebagai hal tersebut.Â
Ini memberikan catatan penting bahwa sesuatu adalah variabel yang sama dengan bagaimana yang ada itu dikatakan.Â
Dengan demikian sesuatu sudah jelas memungkinkan yang ada. Yang ada disini di maksud bukan pada penguat variabel baru, melainkan yang abstraksi. Ia intervensi kedalam lautan ketidaktahuan, namun diucapkan sebagai yang disepakati.Â
"Sesuatu hal bisa menjadi bagian mungkin ketika ia bisa dimungkinkan"Â Inilah hukum utama sekaligus menambah gagasan idea baru mengenai yang ada sebagai wujud sesuatu.Â
KONKLUSI
Dunia yang di hadirkan tentu penuh akan pertanyaan. Ia dengan seluk beluk ketidaktahuan dijawab dengan pertanyaan.Â
Sesuatu hal menjadi varibel eksis dari pengetahuan yang abstraksi. Sehingga demikian pada sesuatu hal dan hal yang mungkin, maka ia bagian dari pengetahuan yang mungkin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H