Karakteristik manusia terkadang dilihat dari Bagaimana manusia mengakui dirinya sebagai sebuah identitas, manusia berdiri secara independensi untuk menentukan Bagaimana dirinya telah mencapai sebuah ketentuan yang disebut sebagai wacana.Â
Dari wacana inilah lahirlah sebuah pemahaman yang di mana diri mereka sebagai subjektivitas dan di luar diri mereka sebagai objektivitas, subjek yang menjelaskan sesuatu yang lain dan objek adalah bagian yang lain dalam satu buah paradigma dalam wacana penjelasan yang kompherensif dan holistik.
Kemudian,Lahirlah wacana tersebut yang di mana manusia harus bertengkar dengan apa yang mereka pikirkan. Ketika manusia mampu untuk merebut sebuah wacana tentang eksistensialisme, maka disitu manusia berperan sebagai bentuk yang nyata dan riil terhadap peran yang nyata pula.Â
Kehadiran sosok dirinya terhadap sebuah eksistensi merupakan sebuah fenomena yang terkadang lazim ditemui di dalam kehidupan tersendiri, baik itu melalui sebuah fenomena yang realistis maupun fenomena metafisis. Pembuktian secara empiris tentang manusia yang nyata adalah pembuktian yang sangat rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.Â
Sehingga fenomena terjadinya perebutan wacana melibatkan manusia sebagai aktor dan sekali manusia sebagai subjek dan objek yang berada dalam satu dimensi yang dianggapnya sebagai keberadaan.
Ketika manusia dengan ini menganggap diri mereka eksis karena kesadaran mereka mampu membatasi kognitif orang lain, di situ lahirlah sebuah terminologi yang dikatakan sebagai definisi untuk menjelaskan sesuatu dari sebuah objek yang terjelaskan. Hebatnya lagi Manusia merupakan makhluk yang misterius dan penuh dengan kebahasaan yang sukar terungkapkan, Sebab mereka mendefinisikan diri mereka secara tidak lengkap sebagai bentuk universal,Â
Sebab mereka menganggap orang lain sebagai bentuk objek nyata yang perlu dicek validasi nya, namun di dalam sisi lain hal tersebut juga melupakan diri mereka sebagai makhluk yang sama tanpa melihat dari prespektif diri mereka sendiri.
 artinya bahwa manusia berangkat dari bagaimana istilah-istilah ilmiah yang telah diciptakan tentang sebuah objek ataupun ilmu pengetahuan dikarenakan kepentingan untuk diri mereka melalui perantara perantara manusia lain, di tekankan disini adalah kepentingan dari sebuah kesadaran sukar di ungkapkan dalam satu dimensi ruang dan waktu.Â
akibatnya manusia sebagai dirinya akan menganggap sebuah kebenaran itu berada dalam dirinya sebagai sebuah kehadiran, Sebab mereka mampu menjustifikasi sekaligus mengklarifikasi keadaan orang lain melalui dirinya, namun aspek-aspek kekurangannya adalah diri mereka saja tidak mampu menunjukkan kehadiran tentang dirinya yang sebagai subjek dan dirinya sebagai objek.Â
Akibatnya manusia yang berkesadaran ini hanya mampu berada dalam ruang dimana keberadaan orang lain adalah sebuah sifat yang paling jelas dan keberadaan dirinya sebagai dirinya yang dijelaskan tidak mampu untuk didefinisikan secara komprehensif dan holistik. Dalam hal inilah menjadi penjelasan mengenai siapakah manusia itu dan siapakah aku itu sendiri?
AKU YANG BERTANYA TENTANG DIRIKU
Sejak lahir manusia sudah mengenal diri mereka sebagai makhluk yang berkesadaran, mereka sadar melalui perantara rasio ataupun akal yang di mana mereka menganggap diri mereka mampu menjelaskan definisi definisi dari makhluk lain seperti hewan maupun manusia. Yang jadi lebih menarik lagi ialah kondisi seperti ini merupakan hasil dari Bagaimana interaksi manusia terhadap makhluk yang lain yang memicu lahirnya nya objek.
Kelahirannya berasal dari Bagaimana manusia harus mengetahui sesuatu yang di luar dirinya untuk dianggap sebagai sebuah pembenaran karena manusia di saat itu memiliki kemampuan untuk menganalisis sesuatu yang berada di luar dirinya, apapun jenis dan apapun itu yang terpenting itu berasal dari di luar dirinya.Â
Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah mereka tidak secara totalitas mampu didefinisikan Sebab mereka tidak ingin menganggap dirinya sebagai aku itu dijelaskan secara spontanitas melalui sebuah kesadaran.Â
Keberadaan aku dalam hal ini adalah dirinya sendiri yang mampu menjelaskan orang lain namun tidak mampu untuk intervensi ke dalam dirinya sebagai aku Sebab aku adalah yang mampu mendefinisikan orang lain sebagai subjek dan aku yang mampu mendefinisikan orang lain sebagai objek tanpa harus mendefinisikan dirinya sebagai objek yang ditata (dijelaskan) oleh orang lain.Â
Sehingga hal inilah yang menjadi pertanyaan yang mengganjal pada dalam diri manusia sebab Manusia adalah makhluk yang dikatakan makhluk yang eksistensialisme sangat paling akurat (sensitif) dibandingkan makhluk yang lain.Â
Buktinya ialah manusia mampu menjelaskan keberadaan apel ataupun keberadaan singa jika mereka ingin mengetahui Di mana posisi apel dan bagaimana keberadaan nya di kala itu sebagai dirinya ke-apelan yang essensial.Â
Hebatnya manusia juga dengan potensi yang memungkinkan mampu menjelaskan dimana posisi ataupun karakteristik dari manusia lain dengan menjelaskan Bagaimana sosok orang tersebut berperilaku dan bagaimana sosok manusia tersebut memberikan interaksi satu sama lain terhadap kondisi dirinya dengan dirinya maupun kondisi dirinya dengan kondisi alam sekitar.Â
Namun yang sulit dilakukan oleh manusia adalah mengakui dirinya sebagai aku yang kemudian mereka jelaskan, keadaan seperti ini akan membawa manusia menuju ketidakteraturan dan kekacauan terhadap diri mereka sebagai aku yang terlihat tak berkesadaran.Â
Padahal posisi seperti ini sama saja di dalam keadaan manusia yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai objek yang di luar dirinya, namun posisi aku ketika dijelaskan sebagai aku sendiri tidak ingin terasa amati Sebab aku adalah sesuatu yang sifatnya struktur namun dijelaskan oleh orang lain mengalami alienasi dari keteraturan itu sendiri.
Akibat dari aku yang teramati menyebabkan aku bukanlah bagian dari ke-aku-an itu sendiri secara eseensial, sebab pengakuan terhadap aku sudah mengalami eliminasi dan esensial dari dalam di aku sudah mengalami kekurangan kekurangan sebab telah diinterpretasikan oleh orang lain di luar dari diri aku itu.Â
Seperti contoh Aku adalah seorang yang mampu menjelaskan Bagaimana kondisi sebuah negara, disaat aku Itu menjelaskan kondisi kondisi sebuah negara dengan sangat jelas dengan melihat keadaan keadaan negara sebagai objek.Â
Maka disitu peran Aku memiliki potensi untuk menjelaskan hal itu dengan seksama yang kemudian itulah penjelasan tersebut menjadi karakteristik dan sifatnya justifikasi yang tak memaksa, namun ketika aku menjelaskan tentang negara itu bisa saja memiliki kebenaran yang sifatnya bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya.Â
Ketika diriku sebagai Aku mengatakan bahwa negara tersebut adalah negara otoriter, maka disitu diriku sebagai aku akan menjelaskan Bagaimana karakter dari negara otoriter dengan melihat syarat-syarat dari negara otoriter tersebut dan merelevansikan nya dengan negara yang dikatakan sebagai objek itu sendiri.Â
Namun jika diriku sebagai Aku kemudian didefinisikan oleh negara sebagai mereka menganggap bahwa aku adalah orang yang tidak memiliki keahlian dan menjustifikasi bahwa aku tidak mampu memahami diriku sendiri, maka disitu diriku sebagai aku mengalami ketidak jelasan dan negara sebagai subjek yang telah menjelaskan diriku mengalami ketidakjelasan sebuah makna.Â
Sebab akulah yang mampu mengkonfirmasi sebuah objek dan ketika objek itu mendeskripsikan tentang aku yang Kemudian penjelasan sebelumnya mendapatkan reduksi sebuah makna secara evolutif. Potensi terhadap aku yang menjelaskan dan potensi negara terhadap menjelaskan sebagai diriku memiliki variabel-variabel yang berbeda.Â
Potensi ini dilihat dari bagaimana aku yang menjelaskan sebagai negara bisa diterima dikarenakan akulah yang mampu memberikan tanggung jawab terhadap diriku dan negara akan memberikan respon terhadap dirinya karena dirinya sebagai objek, namun sebaliknya ketika negara memberikan penjelasan tentang diriku makan di situlah aku tidak menerima,Â
Padahal di posisi itu aku yang dijelaskan sebagai diriku akan berada dalam potensi ambigu yang dikenakan di saat posisi mengalami keteraturan kemudian terjadinya kekacauan sebab teramati menyebabkan aku sudah bukan di dalam diriku sendiri melainkan Aku adalah objek yang mengalami eskalasi. Akibatnya aku bukanlah aku sendiri melainkan itu adalah objek.Â
Dalam hal inilah membuat manusia akan semakin berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai manusia yang berada dalam posisi aku, profesional datang aku akan lebih meningkat ketika manusia mampu secara berkesadaran dan berani bertanggung jawab terhadap segala asas-asas yang mereka katakan di dalam sebuah potensi kognitif.Â
Jikapun Manusia adalah makhluk yang berkisaran tinggi dan melihat segala hal dalam aspek-aspek yang lain. Maka disitu parameter yang digunakan Aku adalah yang lain itu sendiri.
Bisa saja posisi dalam diri aku diakui secara legitimasi sebagai bentuk keakuan yang lebih realistis. Namun yang menjadi sebuah paradoks adalah sukar sekali menentukan probabilitas probabilitas dari keakuan ketika ditemukan sebuah objek. Kemungkinan yang terjadi adalah fenomena ketika identitas aku mampu diperjelaskan,Â
maka kausalitas dari itu semua adalah keuntungan satu objek dengan objek yang lain dalam sebuah pembahasan tentang objektivitas secara universal maupaun objektif.
KONKLUSI
Aku adalah penjelasan dalam sebuah ide yang di mana dia adalah bagian dari yang terstruktur, kemudian berlanjut kepada aku yang dijelaskan sebagai subjek yang berkesadaran. Namun dalam hal ini terjadinya sebuah ambang batas yang menyebabkan terminologi dari aku mengalami kesesatan makna yang begitu panjang.Â
Jika secara eksplisit manusia menganggap aku adalah mereka sendiri yang selalu membahas tentang orang lain, maka Bagaimana posisi aku ketika mereka dijelaskan sebagai aku sendiri?, Apa yang mungkin akan terjadi ketika aku sendiri dijelaskan oleh aku itu sendiri dengan sifat netralitas.Â
Namun yang terpenting adalah aku mampu sebagai manusia menjelaskan potensi-potensi yang ada yang berada dalam di luar dirinya sebagai yang lain kemudian bergerak menuju manusia disebut sebagai manusia yang berkesadaran.
Ketika keraguan menjadi manusia di pertanyakan, maka kemanusiaan sudah bisa manusia capai dengan ketidaksengajaan.Â
Sebagai aku dalam diriku, aku menyakini aku dalam diri yang lain adalah bentuk yang nyata, jikapun itu adalah aku yang berada dalam imajinasi,ilusi,fakta,bayangan, ataupun aku yang di pasrahkan, tetap saja essensi dari aku tetap sama, yakni aku sendiri lah yang menyadari atas kehadiran yang berada dalam asas-asas berkesadaran di dalam ruang dan waktuÂ
Aku bergerak sebagai diriku untuk menganggap istilah aku berpikir maka aku ada sebagai eksistensialisme, jika fenomena seperti ini merupakan sesuatu pembenaran yang nyata dan bisa dipertanggungjawabkan. Maka manusia telah berada dalam fase dimana posisi dari mereka sendiri adalah bentuk yang ambiguÂ
Sebab mereka mampu menjelaskan yang lain namun ketika mereka menjelaskan sebagai dirinya sendiri yang secara netralitas mengalami ketidakteraturan makna. Namun yang pasti adalah ini menjadi sebuah pertanyaan yang besar terhadap diri manusia yang diistilahkan dengan sebuah paradoks.
"Jika manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan melalui yang lain, maka Bagaimana jika manusia itu sebagai aku dijelaskan sebagai dirinya sendiri sebagai aku, apakah yang akan terjadi?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H