Mohon tunggu...
Wahyu Agil Permana
Wahyu Agil Permana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka Berkelana dan Bercelana

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kontroversi RUU TNI-Polri: Rekonstruksi Otoriterianisme dan Pretorianisme ala Orde Baru?

20 Juni 2024   16:48 Diperbarui: 20 Juni 2024   16:58 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: sumselviral.com

Baru-baru ini, masyarakat nasional dihebohkan dengan berita tentang Revisi Undang-undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tersebut menuai kontroversi dan kritik tajam dari masyarakat. Pasalnya, poin-poin dalam RUU TNI tersebut berupaya memperluas peran TNI yang tak hanya mencakup bidang pertahanan, namun juga keamanan dan sosial politik.

 Salah satunya adalah Pasal 47 Ayat 2 RUU TNI yang membuka peluang bagi prajurit aktif untuk bisa menduduki jabatan di kementerian atau lembaga negara, setidaknya ada 10 bidang kementerian atau lembaga negara yang bisa diduduki oleh prajurit TNI aktif. RUU TNI juga memasukkan fungsi TNI sebagai alat keamanan negara yang memungkinkan TNI dapat turut andil dalam menjaga keamanan dalam negeri. Hal ini tentu akan menimbulkan potensi terjadinya pelanggaran HAM seperti yang banyak terjadi di era Orde Baru.

Selaras dengan hal itu, Revisi terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri juga mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil. RUU ini mendapat sorotan dikarenakan pasal-pasalnya yang digadang akan menjadi polemik substansial terkait perluasan kewenangan kepolisian. 

Salah satunya adalah dalam Pasal 16 Ayat 1 RUU Polri, dijelaskan bahwa Polri memiliki kewenangan untuk melakukan pengamanan dan pengawasan di ruang siber. Hal ini tentu menjadi PR bagi masyarakat sipil, sebab dengan adanya RUU Polri tersebut dapat berdampak terhadap kebebasan masyarakat sipil dalam berekspresi di ruang maya. 

Selain itu, RUU Polri juga memungkinkan Polri untuk menjalankan fungsi intelijen, yang membuat Polri seolah-olah mencampuri urusan yang bukan ranahnya. Sebab, fungsi intelijen semestinya bukan merupakan tugas Polri, melainkan tugas lembaga yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Melihat polemik RUU TNI-Polri ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah Orde Baru yang identik dengan Dwi Fungsi ABRI-nya. Pada era itu, TNI-Polri memiliki dualisme fungsional yaitu pertahanan-keamanan dan sosial-politik. 

Meluasnya peran atau kewenangan TNI-Polri dalam RUU ini bisa dikatakan sebagai strategi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI tetapi dalam balutan yang lebih lembut. Dengan kata lain, lewat RUU TNI-Polri ini, pemerintah tengah berupaya mengembalikan format pemerintahan ala rezim Orde Baru yang berbasis otoriterian dan pretorian.

Memaknai Ulang Otorianisme dan Pretorianisme

Otoriteriansime atau otoriter merupakan sebuah bentuk pemerintahan dimana presiden memegang peranan sentral dan memiliki kendali penuh terhadap negara. Sistem pemerintahan ini hanya mengedepankan kepentingan personal, tanpa melihat derajat kebebasan rakyat. Bisa dibilang, otoriterianisme atau sistem otokrasi merupakan kebalikan dari demokrasi. 

Sedangkan pretorianisme merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana militer ikut serta berpartisipasi dalam panggung politik. Dengan kata lain, pretoriansime merupakan bentuk intervensi militer ke dalam pemerintahan dan mengalahkan dominasi sipil. Sistem pemerintahan ini juga dikenal dengan istilah "Rezim Militer."

Dalam kaitannya dengan Orde Baru, RUU TNI-Polri ini memungkinkan sistem otoriterian dan pretorian muncul kembali di tengah kehidupan bernegara saat ini-meskipun tidak sepenuhnya plek-ketiplek seperti Orde Baru. 

Peran TNI dan Polri yang kian meluas dapat menjadi cikal bakal terbentuknya kembali sistem pemerintahan ala-ala Orde baru. Kendati tidak sekronis Orde Baru, tetapi tetap saja kedua sistem ini bersifat konfrontatif terhadap kebebasan masyarakat sipil di negara yang menerapkan sistem demokrasi.

Kekhawatiran Timbulnya Abuse of Power oleh TNI dan Polri

Kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul akibat adanya Revisi UU TNI-Polri ini kian menjadi kegelisahan bagi masyarakat sipil. Kemungkinan TNI dan Polri menyalahgunakan kekuasaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sangat mungkin terjadi. Kekuasaan TNI dan Polri yang meluas dan tidak terkendali akan membuahkan tindakan yang sewenang-wenang dan berujung pada penyimpangan. 

Makin besar kekuasaannya, maka makin besar pula kemungkinan untuk melakukan penyimpangan wewenang. Pada akhirnya yang terjadi adalah wewenang yang pada patronnya diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, justru dipandang sebagai kekuasaan pribadi (Personal Power). 

Akibatnya, akan semakin banyak aparat dari TNI maupun Polri yang menghalalkan segala cara untuk bisa meraih kekuasaan tertinggi. Sebab, dengan memiliki kekuasaan yang semakin tinggi, maka akan semakin besar pula kebebasan untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki.

Berbagai catatan dan peristiwa telah memotret bagaimana aparat kepolisian menjadi "aktor" dalam melakukan tindakan kekerasan dan represif. Sebagai contoh, dalam rentang 2020-2024 banyak sekali praktik-praktik kekerasan yang melibatkan institusi kepolisian di Indonesia. 

Sepanjang Januari-April 2024, setidaknya terdapat 198 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian, meliputi penembakan, penyiksaan, penganiayaan, pembubaran paksa, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, hingga penculikan dan pembunuhan.

Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi bukti nyata penyalahgunaan kekuasaan oleh kepolisian (Abuse of Power). Belum lagi, jika RUU TNI ini disahkan menjadi Undang-undang yang berimplikasi terhadap pelibatan TNI sebagai alat keamanan negara, mungkin secara drastis akan menambah persentase terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI dan Polri terhadap masyarakat sipil. 

Maka, jika memang nantinya RUU TNI-Polri ini disahkan menjadi Undang-undang, tidak menutup kemungkinan akan terjadi banyak pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada era Orde Baru.

Kebangkitan Dwi Fungsi ABRI dalam Tubuh TNI-Polri

Ada hal yang mesti dipertanyakan dan dikaji ulang terkait RUU TNI-Polri ini. Mengapa DPR secara tiba-tiba menginisiasi Revisi Undang-undang tentang TNI dan Polri di tengah transisi estafet kepemimpinan Presiden Jokowi ke Capres terpilih Prabowo Subianto? Mungkinkah hal tersebut merupakan hasil dari kong-kalikong Prabowo dengan Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan Prabowo kelak? Ah entahlah, semoga itu hanyalah prasangka pesimistis saya saja.

Namun, poin yang perlu digaris bawahi adalah bahwa melalui RUU TNI-Polri ini, TNI dan kepolisian akan berpotensi menjadi aktor yang dengan mudah dapat dikendalikan dan dijadikan alat politik untuk memfasilitasi serta melanggengkan kekuasaan presiden. Bahkan, tidak kalah berbahayanya RUU TNI-Polri ini dapat menjadi pupuk untuk menghidupkan kembali benih Dwi Fungsi ABRI dalam tubuh TNI dan Polri sebagai aktor politik yang menyimpang dari skema negara demokrasi yang didambakan pasca reformasi.

Selain itu, pelbagai rancangan pasal dalam RUU TNI-Polri yang semestinya mendorong TNI-Polri menjadi institusi yang profesional justru malah membuat kedua institusi tersebut menjadi lembaga yang memundurkan reformasi. Dan ironisnya, perluasan fungsi dan kewenangan TNI-Polri yang dirancang dalam RUU ini tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan ketat terhadap pelaksanaan fungsi dan kewenangan dari kedua aparatur negara tersebut. 

Berbagai kewenangan dan fungsi tambahan yang dirancang dalam RUU TNI-Polri bahkan berada di luar tugas TNI dan Polri yang termaktub dalam konstitusi sebagai alat negara dengan fungsi pertahanan dan keamanan-ketertiban.

Implikasi bagi Reformasi Demokrasi Indonesia

Kecurigaan di balik munculnya usulan RUU TNI-Polri ini berkiblat pada motivasi politik transisi kepemimpinan Presiden Jokowi ke Capres terpilih Prabowo Subianto. Mengingat RUU TNI-Polri ini dikhawatirkan akan menghidupkan kembali praktik otoriterian dan pretorian, mengganggu reformasi demokrasi serta merusak profesionalisme TNI dan Polri. 

Spekulasi lainnya adalah bahwa RUU TNI-Polri ini bertujuan untuk meningkatkan pengaruh militer dalam politik Indonesia, mengingat latar belakang Prabowo Subianto sebagai mantan perwira tinggi militer Indonesia. Dengan memberikan ruang yang lebih luas kepada TNI-Polri, pemerintah dapat menggunakan kedua lembaga tersebut sebagai alat politik untuk mengendalikan oposisi dan menjaga stabilitas pemerintahan.

RUU TNI-Polri juga dapat mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi yang dicita-citakan sejak reformasi 1998. Ada risiko bahwa kontrol sipil atas TNI dan Polri akan melemah. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip bahwa dalam sistem demokrasi kemampuan sipil untuk melaksanakan kebijakan negara harus bebas dari intervensi pihak militer. 

Selain itu, reformasi institusional dalam tubuh TNI-Polri yang dicanangkan oleh reformasi 1998 dengan tujuan untuk menciptakan TNI-Polri yang profesional menjadi terhambat jika RUU TNI-Polri ini disahkan menjadi Undang-undang.

Secara keseluruhan, implikasi RUU TNI-Polri terhadap reformasi demokrasi di Indonesia menjadi masalah yang serius bahkan dapat memundurkan reformasi yang dicita-citakan sejak jatuhnya Orde Baru. Oleh sebab itu, pentingnya melakukan pengkajian ulang lebih dalam dan kritis terhadap RUU ini guna memastikan demokrasi di Indonesia tetap terjaga dan tidak kembali kepada praktik-praktik otoriterian dan pretorian seperti pada masa Orde Baru.

(Wahyu Agil Permana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun