Jantungku serasa berhenti berdetak, mendengar namaku terpilih dan ditunjuk oleh Sang Ketua. Aku bukannya tak mau. Bukankah masih banyak senior lebih layak untuk menduduki jabatan itu?
Kata mereka, ada aturan kesetaraan gender. Harus ada anggota legistatif perempuan. Bagaimana aku bisa menolak? Aku hanya menjalankan apa yang ada di depan mata. Ini adalah sebuah tugas yang harus diemban.
Sebenarnya aku tak ingin menjelekkan kandidat lain. Tetapi mereka hanya menginginkan jabatan saja. Demi itu mereka rela berbagai cara. Tidak tulus.Â
Bahkan sebelum penentuan, mereka mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi. Di luar nalar. Banyak dana keluar. Padahal, belum tentu bisa lolos. Aku tak suka dengan cara yang seperti itu. Ketulusan dan kepedulianku pada orang kecil, menjadikan Sang Ketua memilihku.
Berita-berita itu menyudutkan posisiku sebagai salah satu calon anggota legislatif. Aku mampu melampauinya. Baliho yang terlanjur terpampang di berbagai sudut jalan protokol, membuktikan bahwa aku serius.Â
Padahal sebelum pencalonan terjadi, banyak sekali kejadian-kejadian aneh menghampiri. Hampir tak percaya, tapi itu nyata di hadapanku. Aku tak mampu menghadapinya, jika tak ada dukungan mengalir.
***
Aku percaya pada suatu pertanda, tapi bukan mutlak. Pertanda akan menghampiriku, lalu aku tak langsung mengiyakan. Aku harus menganalisanya terlebih dahulu.
Pertanda itu membawaku pada suatu tempat yang tak kuketahui. Bagaimana bisa? Sebut saja aku orang skeptis. Tipe peragu yang kadang tak langsung mempercayai sesuatu. Menerjang kata hati. Padahal firasat sudah mengatakan: jangan! Apakah itu yang membuatku mudah terperdaya?
Hari itu aku terhipnotis! Aku mengira, pasti ada seseorang yang tidak suka, hingga aku berada di tempat ini. Aku bukan diajak paksa. Aku dengan senang hati mengikutinya. Gegabah. Tetapi aku seperti orang linglung. Huh! Setelah tersadar, aku menjadi marah. Mengapa aku sebodoh itu?