Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Cinta Naura dan Drakor

15 Agustus 2022   00:30 Diperbarui: 21 Agustus 2022   21:45 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com/susan-lu4esm

Memandang Naura, sama seperti mengunyah permen karet rasa blueberry. Manis banget. Itupun masih mengunyah batangan coklat yang berpita warna pink. Sungguh! Tak ada kata yang bisa menggambarkan secara tepat betapa manisnya dia.

Mata ini rasanya tak mau berkedip barang sebentar karena tak ingin lepas pandang darinya. Tak ada bosan.

Naura sering tersipu malu dan bilang, "Ih, apaan sih?" 

Suara cempreng akan menggema di seluruh ruangan kelas yang pagi itu hanya ada aku dan dia. Pipinya kemerahan. Aih, batinku.

Aku menyukai saat-saat seperti itu. Rasanya aku bersenyawa, hanya dengannya. Orang lain tidak ada dan hanya berdua, yaitu aku dan Naura.

Eh, tapi sebenarnya bukan seperti itu sih. Lebih tepatnya, orang lain memilih kabur, daripada menjadi obat nyamuk dan dikacangin. 

Dewi cinta menancapkan panahnya yang paling dahsyat ke arahku. Jleb! Aku terpanah! Oh, oleh cinta yang semerbak mewangi karena pesona Naura.

Apalagi saat Naura membalas pandanganku dengan senyuman. Aha! Peer matematika yang rumit dan susah, terlewat begitu saja, enteng bisa kukerjakan satu menit. Meskipun aku tidak tahu, apakah benar atau salah jawaban itu. 

Dari kejauhan Naura menepok jidat sambil geleng-geleng kepala. Aduh, manis betul. Mana ada yang menandingi? Tak ada! Bahkan, Maudy Ayunda pun lewat.

***

Bruuuuk...!

"Wibiii...itu kenapa pot mama kamu tubruk? Barusan mama ganti kemarin. Kenapa kamu tubruk lagi?" lengking Mama dari kejauhan.

"Maaf mama sayaang..." jawabku sambil berlalu meninggalkan pot yang berantakan. Bagaimana aku bisa benerin, kalau Mama selalu menggerutu. 

"Wibiii..., pasang potnya salah. Sudah, biarkan saja. Nanti Mama yang betulin." 

"Baik, Mama."

Aku senyum senewen. Pot kesayangan Mama tertubruk kedua kali gegara mikirin Naura. Gadis yang manisnya ampun kebangetan. 

**

"Naura, aku pengin ngomong sesuatu," kataku memberanikan diri.

"Apa? Pengin ngomong apa? Cepat Wibi, aku keburu, nih"

Saat itu temaram lampu taman di rumah Naura agak redup. Aku duduk di kursi putih yang terbuat dari besi. Etapi, aku tidak tahu apakah kursi ini dari besi atau kayu. 

Bagiku, duduk di samping Nauraku, aku sudah merasa nyaman. Mana aku tahu kursi itu dari besi atau kayu. Kan yang bikin Pak Tukang. Besok deh aku tanyakan pada Pak Tukang. 

"Apaan sih Wibi? Memang kamu pengin ngomong apa? Cepetan, gih. Gatel nih tanganku di gigit nyamuk."

Lalu Naura bilang, ada baiknya kalau aku dan dia masuk teras, karena di taman banyak nyamuk. Tuh kan, benar. Tangan Naura bentol-bentol merah digigit nyamuk. 

"Kamu mau gantiin tanganku yang bentol? Ayuk masuk!" serunya galak.

"Aduh, galak bener nih Naura. E tapi, dia tetep cantik, meskipun galak." Batinku penuh optimis.

Lalu aku dan Naura pindah ke teras, duduk di kursi berbentuk bulat. Ada meja di depannya. Aku memilih duduk pada kursi di sebelah kiri yang menghadap taman. Sedangkan Naura duduk di sebelah kanan, menghadap ruang tengah. Suara tivi terdengar dari kejauhan di sana.

Mumpung malam minggu, konon malam yang ditunggu oleh pasangan muda-mudi untuk berjanji. Aku sudah mempersiapkannya, panjang kali lebar untuk berbicara pada Naura.

Butuh latihan tadi ketika di rumah. Lalu aku menghafalkannya, agar nanti ketika di depan Naura, lancar ngomongnya. Kan malu kalau belum selesai ngomong, aku sudah lupa pengin bilang apa padanya.

Aku kembali melirik ke arah Naura. Loh, kok Naura ngilang, sih? Kemana? Bagaimana aku ngomong kalau dia tidak ada di sampingku? Berbicara pada angin?

Dari dalam rumah di ruang tengah, suara cempreng Naura membahana tertiup angin hingga sampai ke teras.

"Wibiii..... maaf ya, kamu kelamaan ngomongnya. Tanggung nih, ada drakor kesayanganku lagi tayang di tivi. Kamu mau ikut nonton atau pulang?" 

Apa? Pulang? Enggak lah. Aku memilih bertahan di sini. Naura, oh, Naura. Baiklah, aku ikut nonton. Demimu, apa sih yang tidak. 

Meski aku hanya bisa memandang wajahnya yang manis. Naura tak melirikku sama sekali. Arah matanya hanya pada acara drakor kesayangannya. 

Baiklah. Kali ini aku kalah. Tembakanku meleset. 

"Tunggu nanti, ya Naura. Aku bakalan ungkapkan semua isi hatiku padamu!" seruku dalam hati. "Kamu bakalan klepek-klepek deh oleh rayuanku."

***

Hari berlalu, malam minggu datang kembali. 

"Wibi, kamu mau nggak lihat drakor di tivi?" ajak Naura. 

Apaan nih, Naura. Masak cowok nonton drakor?

"Ayolah,"

Baiklah, demi Naura, apa sih yang tidak.

Satu menit, dua menit. Satu jam berlalu.

***

"Wibi, pinjam peer matematikamu, ya. Tadi malam aku tak sempat mengerjakannya."

"Ini," 

Aku menyorongkan buku peerku padanya.

"Terimakasih, Wibi. Kamu baik banget,"

Segera saja Naura menulis jiplakan pada bukunya. Demimu Nauraku sayang, tak ada salahnya.

"Wibi, sebenarnya kemarin kamu pengin ngomong apa, sih?"

Aku hanya membisu. Aku kadung patah arang dicuekin. Tapi tiba-tiba saja mata Naura berubah nanar. Pojokan matanya itu berbulir seperti kilauan embun.

"Kamu nangis, Naura?"

Naura lari keluar kelas menuju kantin.

"Kamu kok gitu sih, Wibi?" suara cemprengnya membahana di koridor antar kelas. 

"Kalian bertengkar?" tanya Angel sahabat Naura. Aku hanya mengangkat bahu. 

"Entahlah,"

***

"Wibiii... ini malam minggu, loh. Biasanya kamu main ke rumah Naura?" tanya Mama.

"Tanggung, Mama. Belum selesai nih, ceritanya," jawabku di depan tivi sambil mengunyah permen karet rasa blueberry. Di ujung sana, Naura pasti juga sedang menonton. Biarkan saja. Naura pasti nggak bakalan menungguku.

Mataku tak berkedip, "Oh, sweet sekali." 

Satu menit dua menit. Satu jam berlalu. Tivi masih menyala. 

Semarang, 15 Agustus 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun