Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Kekasihku, dan Bintang di Nebula-nebula

16 Juni 2022   14:32 Diperbarui: 17 Juni 2022   15:44 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto: Wahyu Sapta.

Kenangan yang mengubah hidupku, tak mampu aku ingat. Tetapi, ada satu hal yang tak mampu kulupa. Tentangmu! Ya, segala kenangan yang bersentuhan denganmu, masih tetap ada dan bergumul dalam benakku.

***

"Apakah bintang benar-benar cantik?" tanyaku sendu, sambil menatap langit yang tertutup awan. Bintang-bintang tak tampak, maka aku menanyakan itu padamu.

"Iya, jika itu di Kota Cahaya." jawabmu.

Hari semakin dingin, tampaknya hujan segera datang. Angin tak lagi sepoi, menderu sesekali menampar pipi, hingga menguraikan rambut sebahumu menjadi porak poranda. Kemudian kamu dengan sengaja menatanya kembali dengan tanganmu yang lentik bagai sebuah sisir.

Terdengar suara sesegukan yang tertahan, seperti gelombang pantai yang tertahan kemudian kembali ke lautan, padahal kita sedang di sebuah taman bunga yang indah dengan lampu-lampu berwarna-warni.

"Mendekatlah, sebentar lagi angin datang. Udara akan semakin dingin membekukan." pintaku. Kamu tak mengelaknya, lalu mendekat kepadaku.

Sementara suasana malam di taman semakin syahdu oleh alunan deru angin. Taman dimana kita biasa bertemu, dekat kantor tempat kita bekerja. Ah, aku rasa taman ini merasa jengah, karena begitu seringnya menjadi curahan hati saat kita bertemu. 

"Kita berbeda, Sakti. Mana mungkin bisa bersama. Sungguh, aku merasa kesakitan, saat harus mengatakan ini."

"Maka kamu tak perlu mengatakannya. Maafkan aku jika sering menyiakan kebaikanmu, Mayang. Aku tahu, apa yang ada dalam benakmu. Tetapi, aku mohon, tetaplah di sini untukku."

Perpisahan ini memang amat menyakitkan. Aku tak mau mengalaminya.

"Tidak mungkin, aku bukan makhluk bumi." jawabmu. Lelehan bening mengalir pelan dari sudut mata indahmu. 

"Hei, yakinlah, mereka akan mengerti."

Bintang-bintang masih tak tampak. Tapi aku yakin, di salah satu nebula, bintang memiliki sinyal kuat untuk mendengarkan apa yang menjadi keinginanmu. Kota Cahaya yang kamu bilang indah bermandikan kelap-kelip tempatmu berasal, pasti akan memberikan kelonggaran khusus untukmu.

"Apalagi dengan penyakit amnesia yang kamu miliki, kamu akan mudah melupakanku." katamu.

Aku hanya bisa mengutuk penyakitku ini. Saat hujan deras datang, maka penyakit amnesia akan mendatangiku, melupakan semua yang pernah aku alami. Segalanya, juga ingatan tentangmu.

Tetapi seperti sudah ditakdirkan bersama, kamu akan datang kembali dan kembali. Bagai cinta pada pandangan pertama, kamu akan menemuiku, dan akan menjadi kekasihku kembali. Kamu berbeda. Itulah mengapa, meskipun aku mengalami amnesia, ingatan tentangmu kadang muncul kembali.

Aku merasa bahwa kita pernah bertemu sebelum ini. Aku merasa pernah dekat padamu, meskipun aku juga merasa bahwa kita baru pertama kali bertemu. Memang membingungkan. Tetapi kenyataannya, kamu akan datang saat dibutuhkan. Kamu seperti malaikat yang sengaja dikirimkan untukku.

"Sakti, aku akan pulang. Sinyal dari nebula-nebula semakin kencang. Aku tak bisa lagi bersamamu,"

Saat itu terakhir kalinya kamu mengatakannya sambil memelukku. Lalu hujan deras datang, yang meruntuhkan segala ingatanku.

Aku menangis sejadinya. Lelehan air mata tak tampak karena tersapu oleh air hujan. Kita menjelma menjadi orang lain kembali. Aku tak mengenalmu, asing bagiku. 

Kulihat sosok gadis cantik berlalu dariku. Air matanya jatuh, tersapu hujan, seperti sedih melihatku. Aku merasa pernah mengenalnya, tetapi di mana?

***

Suatu waktu, di tempat yang berbeda.

Suara debur ombak yang memecah karang terdengar keras di telinga. Tetapi ini bagai nyanyian yang mampu menghilangkan rasa gundah. Kesunyian hati tanpa cinta, sungguh telah merubah hati menjadi sedikit keras. Berharap angin sepoi lautan bisa melembutkannya.

"O, jadi kamu ke sini ya, kalau lagi menghindar dariku?"

"Sakti? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" 

"Sudah, tidak usah bertanya bagaimana aku tahu kamu ada di sini." kataku sambil mendekat dan duduk di samping sisi kananmu. Hamparan pasir putih sebagai tempat duduk dan pohon waru berbentuk melengkung bisa menjadi peneduh dari sengatan matahari.

"Mayang, aku memang tidak sempurna. Tetapi aku mencoba sempurna untukmu. Aku tahu semua tentangmu. Juga tentang Kota Cahaya." lanjutku.

Kamu sedikit terkejut dan menengok ke arahku. 

"Bagaimana kamu tahu? Aku tak pernah cerita padamu, kan?" 

"Heran ya? Kamu pernah mendengar sebuah teori bahwa jika ingin meraih hati seorang gadis, dekati saja ibunya."

"Jadi? Ibu yang bercerita? Sakti, aku..."

"Ssst... sudah. Tak usah diungkit. Kamu tak perlu bercerita. Aku mengerti."

Lalu aku mengambil sesuatu dari saku.

"Aku ingin memberikan sesuatu padamu." kataku lembut.

"Apa?"

Aku mengambil tanganmu dan memberikan sesuatu di telapak tanganmu.

"Sebuah kerang? Aku kira cincin, Sakti." katamu sambil tergelak. Aku juga ikut tergelak. Lalu aku meminta maaf, mengatakan bahwa aku hanya bercanda.

"Kok kamu matre, sih? Tetapi tentu saja aku bercanda, Mayang. Karena sesungguhnya yang ingin aku berikan padamu adalah ini." kataku berbinar.

Sebuah cincin bermata safir biru, aku sematkan di jari manismu sebelah kiri.

"Mayang, maukah kau menikah denganku?" pintaku.

Kamu hanya tersenyum tipis. Tetapi aku yakin, pipimu terasa hangat. Terlihat memerah. Kali ini kamu tak bisa menghindar dariku. 

"Hanya kamu yang bisa menghapus kenangan sedih, Mayang," kataku.

"Terimakasih, Sakti," jawabmu, sambil memandangi cincin. Terlihat rona bahagia.

Debur ombak berkali-kali terdengar menerjang karang. Seolah mendengar kata hatiku. Kamu bagiku adalah seorang yang mirip malaikat. Atau jangan-jangan memang malaikat? Oh iya, kamu adalah Alien, penghuni Kota Cahaya yang tersesat di bumi.

Beruntunglah hujan tidak datang hari ini. Walau angin sepoi kembali menderu. Kulihat awan hitam datang dari kejauhan. Seperti berarak menuju ke sini. Oh, tidak. Jangan! Aku tak mau melupakan kamu kembali. 

Melihatmu bahagia, tak tega rasanya jika harus mengulang dari awal. Jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu menyatakan cinta kembali berkali-kali. Meskipun dengan orang yang sama, tapi aku rasa cukup. Tak tega jika aku menyakitimu kembali.

Pelukan hangat di tengah teriknya matahari, mampu meluruhkan kepungan gundah gulana hati.

Tiba-tiba angin kencang datang dari arah laut. Membawa awan hitam yang segera memayungi kita berdua. Mendung pekat!  

***

"Jadi, kamu yang bernama Mayang? Boleh aku meminta nomer telponmu? Aku rasa kamu adalah jodohku." kataku. 

Kamu memandangiku sambil menitikkan air mata. Mengapa menangis? Ada yang salah? Sungguh, aku pernah mengenalmu. Tapi dimana?

Ada salah satu bintang berkelip terang di langit menempati nebula-nebula, meski malam belum menjelang gelap. Bintang itu tampak dari kejauhan mengintai dari jendela kantor.

"Kita satu kantor, kan? Kamu dari bagian apa? Tidak asing bagiku. Jangan lupa, nanti malam aku telpon, ya!" kataku senang, ketika hapeku terketik nomermu.

***

Semarang, 16 Juni 2022.

Terinspirasi drakor: My Girlfriend is an Alien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun