Luna jarang sekali sampai di ruangan tersebut. Ia mulai penasaran, sebenarnya apa yang terjadi. Hal inilah yang membuatnya secara sembunyi-sembunyi mencari tahu.
Luna memandang luar pagar dari ruangan yang jarang ia jamah. Mobil hitam keluar. Pasti Bu Simon juga berada di dalamnya. Bu Simon pergi.Â
Saatnya Luna mencari tahu. Ia menuju ruangan khusus milik Bu Simon. Ah, sia-sia. Terkunci! Luna tidak bisa masuk ke ruangan itu.
Lalu ia menuju kamar Bu Simon. Memang ia jarang sekali ke kamar itu, meskipun Bu Simon memperbolehkannya. Ia tak enak hati, karena enggan mengganggu.
Deg!
Ada kartu identitas tergeletak. Luna terkejut, kartu itu atas nama dirinya. Kelahiran tanggal 16 Juli 1993. Sama seperti hari lahirnya. Tidak mungkin salah dan milik orang lain.
Jadi? Selama ini Bu Simon tahu siapa dirinya? Lalu selama ini? Apakah Bu Simon sengaja menculiknya dan mengambil dirinya dari keluarga kecilnya? Mengapa? Luna tak habis pikir.
Tiba-tiba pikirannya kosong, gelap, dan ia terjatuh.Â
Sesaat kemudian Luna sadar dari pingsannya. Beberapa menit ia tak sadarkan diri. Ia bangkit dan berlari ke kamarnya sendiri. Tidak ada orang di dalam rumah tersebut kecuali dirinya.
Otaknya berputaran. Bingung, sedih, kecewa, campur aduk tidak karuan. Ingatannya berkelana ke masa di mana ia masih berkumpul dengan Bagas dan anak semata wayangnya. Bahagia selalu menghampiri keluarga kecilnya.
Ketika tiga hari lalu tak sengaja bertemu dengan mereka, ketika Bu Simon mengajaknya pergi. Ia mampir ke sebuah toko kecil, yang ternyata milik Bagas.Â