"Tapi bu, sebentar lagi turun hujan, Melia takut."
"Jangan begitu Melia, ibu tentu saja tidak kuat mengangkatnya sendiri. Pot itu terlalu berat untuk ibu. Kamu tega?"
"Baik, bu."
Sebenarnya bisa saja Bu Simon menyuruh Pak Deden tukang kebun untuk memindahkan pot itu. Tetapi sengaja tidak dilakukan, agar Luna mau keluar rumah ketika cuaca segera akan turun hujan.Â
Agaknya hujan akan tetap dibencinya hingga saat ini. Ya, peristiwa tiga hari lalu membuatnya limbung. Mendadak semua ingatan akan masa lalu menguak. Pertemuan dengan seseorang, menjadikan ia ingat segalanya. Juga ingatan mengapa ia membenci hujan.
Ia mulai teringat identitas dirinya. Sebenarnya ia adalah Luna bukan Melia. Tetapi ia tak mampu bercerita pada Bu Simon. Tak akan tega, karena selama ini Bu Simon merawat dirinya demikian baik.
Luna tak akan membiarkan begitu saja dan pergi berlalu. Meninggalkan masa sekarangnya untuk kembali ke masa lalunya. Tidak mungkin. Ia tidak akan setega itu. Bu Simon tidak memiliki anak dan menganggapnya ia anak semata wayang yang disayanginya. Ia tidak akan mampu membiarkan Bu Simon kecewa.
Luna adalah ibu muda dari Putri dan istri Bagas. Usianya belum genap 30 tahun, baru menjelang 29 tahun. Menghilang tiga tahun lalu. Beberapa orang memaksanya untuk masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi. Saat itu hujan deras.
Entah bagaimana cerita selanjutnya, yang ia ingat pada saat itu, seseorang memaksanya untuk berbicara dan mengancamnya. Lalu, ia diperdaya hingga terluka parah. Selanjutnya, ia tinggal di rumah Bu Simon yang memanggilnya Melia.Â
Menurut cerita Bu Simon, ia ditemukan bersimbah darah kemudian dibawa pulang. Tanpa identitas, yang akhirnya Bu Simon memberikan identitas baru.Â
Ada bagian cerita yang terputus, saat ia terluka dan ketika akhirnya tinggal di rumah Bu Simon. Ini yang tidak dimengertinya. Luna tidak ambil pusing dan tidak mempertanyakannya pada Bu Simon.Â