Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bawakan Aku Salam Penawar Rindu

6 Oktober 2021   11:01 Diperbarui: 8 Oktober 2021   21:00 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sumber dari Pixabay.

wahai malam, keterikatan ini melahirkan rindu, 
tolong, bawakan aku salam penawar rindu, 
sebelum waktu tak berpihak, pada perasaanku yang meragu.

Sungguh benar adanya, bahwa cinta jangan dilawan. Karena cinta tak akan pernah selesai hanya dengan menyingkirkannya. Cinta itu begitu kuat, sehingga membawaku ke dalam arusnya. 

"Yakin kamu sudah melupakannya? Baru saja kemarin kau bilang padaku, Ara tak bisa kau lupakan." Kata Al sahabatku.

"Serius, Al. Tak ada lagi Ara di hatiku. Nyatanya, tadi malam aku bisa tertidur nyenyak tanpa memikirkan Ara lagi." Kataku sambil meyakinkan Al. 

"Syukurlah. Memang harusnya begitu, Fian." Kata Al sambil menepuk bahuku.

Padahal sebenarnya aku berbohong. Ara tetap memenuhi ruang dalam seluruh hati dan pikiranku. Tetapi paling tidak ada perlawanan dalam diriku, bahwa Ara tak mampu mengoyakkan segala perasaan ini, meskipun selalu gagal berkali-kali.

hanya kau yang bisa membuatku sempurna,
tak akan kuizinkan cinta mudah berganti, semudah hari berganti,
walau sekejap engkau memberikan bahagia, tapi kau adalah anugerah yang terindah buatku.

***

Ya, Ara memang telah mengoyakkan segala yang ada padaku. Hatiku, perasaanku, skripsiku, kuliahku, pesan mamaku, segalanya. Aku harus bangkit. Tak harus perasaan ini berlarut-larut. Aku mengerti, betapa Mama meminta aku segera lulus dan fokus pada skripsi yang terbengkalai selama ini. 

Wajah Mama yang berharap banyak pada masa depanku, sungguh tak bisa kuabaikan. Padahal selama ini, hanya ada Ara di hatiku. Ia membuatku sempurna sebagai sosok Fian. 

Aku memang bukan lelaki cengeng. Jago beladiri. Bahkan pernah menolong seseorang yang pada saat itu tengah ditodong di tengah jalan. Saat itu kebetulan aku melintas dan menolongnya. Aku mampu menaklukkan penodong dan membuatnya pergi ketakutan. Betapa seseorang itu berterimakasih padaku. 

Segala penghargaan yang mengapresiasi prestasiku juga berjajar di kamar. Entah berapa, tak terhitung oleh jari. 

Aku memandang diriku sendiri di depan kaca yang berukuran 1x2 meter. Betapa aku menemukan sosok yang asing. Bermuka cekung, pucat, dan sedikit kurus. Tak seperti Fian setengah tahun lalu. 

Sosok ceria dengan wajah selalu cerah. Tetapi itu dulu, saat masih ada Ara disampingku. Ara yang bisa membuat ceria hari-hariku. Semangat menyala saat ia disampingku. Tetapi peristiwa yang tidak diinginkan memisahkannya. Mengubah segalanya. Mengubah hidupku.

Keterpurukan tentang kehilangan Ara, menjadikan aku kehilangan nalar. Bahkan Mama berkali-kali membawaku ke psikiater demi mengembalikan nalar dan keceriaanku. 

Mama tentu saja cemas dengan perkembanganku dari hari ke hari. Padahal hanya tinggal beberapa langkah aku akan menjadi sarjana dan berencana akan meneruskan S2 di universitas favorit. 

Teman-teman juga datang silih berganti menghiburku. Mereka hanya bisa sebentar, karena satu persatu lulus dan harus meninggalkanku.

Sedangkan aku? Stagnan di kamarku sendiri. Merenungi nasib atas kepergian Ara. Sungguh, aku sangat membenci keadaan ini. Tetapi juga tak bisa berbuat sesuatu karena kesakitanku.

"Aku tak mau bercinta lagi. Ara telah melukakan cinta ini dengan kepergiannya!" teriakku. 

Aku membencinya, karena telah membuatku terus berharap, bahwa suatu hari nanti Ara akan kembali ke pelukanku. Bahkan rancangan-rancangan masa depan telah tersusun rapi. Tentang rumah dan anak-anak kecil di dalamnya. 

Itu tidak mungkin, bukan? Ara telah berbohong padaku dengan kepergiannya yang tiba-tiba tanpa izin. Aku menangis sejadinya, di kamarku yang jarang menyala terang akhir-akhir ini.

Haruskah cinta bernoda benci, Ara? Kita bagai bumi dan bulan. Berpasangan tetapi hanya bisa berjauhan. Mungkin kita harus belajar untuk tetap bahagia, meski tak bisa bersama. Bukankah bahagiamu adalah bahagiaku juga? Begitu pula sebaliknya. 

Aku mencintai Ara. Tapi juga membenci perasaanku sendiri yang tak mampu mengalihkannya. Ara tak mungkin kumiliki. Ia telah menjadi milik Penciptanya, juga Pencipta cinta ini. Bagaimana mungkin bisa bersatu?

***

"Ara sudah pergi, Fian. Ia tak akan mungkin pernah kembali. Sadarlah. Bukankah ada aku di sampingmu? Yakinlah, aku akan setia," pinta Nadia.

Memandang Nadia, bagai menentukan sebuah pilihan sulit. Aku sangat takut untuk menghadapinya. Aku takut menyakiti Nadia yang telah baik padaku dengan ketulusaan hatinya, sekaligus takut kehilangannya. Sungguh, ini sulit bagiku dan ini jahat.

Tetapi bukankah kehidupan memang harus tetap berjalan? Dan pilihan itu tetap akan berlaku selama alam raya mengizinkannya. Tergantung padaku untuk menentukannya. 

Iya. Atau tidak. 

Nadia, anak sahabat Mama. Datang di saat tepat.

***

Belajar untuk melepaskan dirinya, walau setengah diriku tetap bersamanya. Hati yang tak terima, tentu akan terus belajar tentang kesakitan ini. 

Dari waktu-waktu, hati akan menutup segala kesakitan dan akan menjadi terbiasa. Setengah hati akan terbalur dan menjadi utuh kembali, oleh segala peristiwa yang tak disangka.

Cintaku pada Ara memang abadi. Tetapi cinta Nadia adalah masa depanku. 

Semarang, 6 Oktober 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun