Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bawakan Aku Salam Penawar Rindu

6 Oktober 2021   11:01 Diperbarui: 8 Oktober 2021   21:00 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sumber dari Pixabay.

Aku memandang diriku sendiri di depan kaca yang berukuran 1x2 meter. Betapa aku menemukan sosok yang asing. Bermuka cekung, pucat, dan sedikit kurus. Tak seperti Fian setengah tahun lalu. 

Sosok ceria dengan wajah selalu cerah. Tetapi itu dulu, saat masih ada Ara disampingku. Ara yang bisa membuat ceria hari-hariku. Semangat menyala saat ia disampingku. Tetapi peristiwa yang tidak diinginkan memisahkannya. Mengubah segalanya. Mengubah hidupku.

Keterpurukan tentang kehilangan Ara, menjadikan aku kehilangan nalar. Bahkan Mama berkali-kali membawaku ke psikiater demi mengembalikan nalar dan keceriaanku. 

Mama tentu saja cemas dengan perkembanganku dari hari ke hari. Padahal hanya tinggal beberapa langkah aku akan menjadi sarjana dan berencana akan meneruskan S2 di universitas favorit. 

Teman-teman juga datang silih berganti menghiburku. Mereka hanya bisa sebentar, karena satu persatu lulus dan harus meninggalkanku.

Sedangkan aku? Stagnan di kamarku sendiri. Merenungi nasib atas kepergian Ara. Sungguh, aku sangat membenci keadaan ini. Tetapi juga tak bisa berbuat sesuatu karena kesakitanku.

"Aku tak mau bercinta lagi. Ara telah melukakan cinta ini dengan kepergiannya!" teriakku. 

Aku membencinya, karena telah membuatku terus berharap, bahwa suatu hari nanti Ara akan kembali ke pelukanku. Bahkan rancangan-rancangan masa depan telah tersusun rapi. Tentang rumah dan anak-anak kecil di dalamnya. 

Itu tidak mungkin, bukan? Ara telah berbohong padaku dengan kepergiannya yang tiba-tiba tanpa izin. Aku menangis sejadinya, di kamarku yang jarang menyala terang akhir-akhir ini.

Haruskah cinta bernoda benci, Ara? Kita bagai bumi dan bulan. Berpasangan tetapi hanya bisa berjauhan. Mungkin kita harus belajar untuk tetap bahagia, meski tak bisa bersama. Bukankah bahagiamu adalah bahagiaku juga? Begitu pula sebaliknya. 

Aku mencintai Ara. Tapi juga membenci perasaanku sendiri yang tak mampu mengalihkannya. Ara tak mungkin kumiliki. Ia telah menjadi milik Penciptanya, juga Pencipta cinta ini. Bagaimana mungkin bisa bersatu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun