Aku memandang diriku sendiri di depan kaca yang berukuran 1x2 meter. Betapa aku menemukan sosok yang asing. Bermuka cekung, pucat, dan sedikit kurus. Tak seperti Fian setengah tahun lalu.Â
Sosok ceria dengan wajah selalu cerah. Tetapi itu dulu, saat masih ada Ara disampingku. Ara yang bisa membuat ceria hari-hariku. Semangat menyala saat ia disampingku. Tetapi peristiwa yang tidak diinginkan memisahkannya. Mengubah segalanya. Mengubah hidupku.
Keterpurukan tentang kehilangan Ara, menjadikan aku kehilangan nalar. Bahkan Mama berkali-kali membawaku ke psikiater demi mengembalikan nalar dan keceriaanku.Â
Mama tentu saja cemas dengan perkembanganku dari hari ke hari. Padahal hanya tinggal beberapa langkah aku akan menjadi sarjana dan berencana akan meneruskan S2 di universitas favorit.Â
Teman-teman juga datang silih berganti menghiburku. Mereka hanya bisa sebentar, karena satu persatu lulus dan harus meninggalkanku.
Sedangkan aku? Stagnan di kamarku sendiri. Merenungi nasib atas kepergian Ara. Sungguh, aku sangat membenci keadaan ini. Tetapi juga tak bisa berbuat sesuatu karena kesakitanku.
"Aku tak mau bercinta lagi. Ara telah melukakan cinta ini dengan kepergiannya!" teriakku.Â
Aku membencinya, karena telah membuatku terus berharap, bahwa suatu hari nanti Ara akan kembali ke pelukanku. Bahkan rancangan-rancangan masa depan telah tersusun rapi. Tentang rumah dan anak-anak kecil di dalamnya.Â
Itu tidak mungkin, bukan? Ara telah berbohong padaku dengan kepergiannya yang tiba-tiba tanpa izin. Aku menangis sejadinya, di kamarku yang jarang menyala terang akhir-akhir ini.
Haruskah cinta bernoda benci, Ara? Kita bagai bumi dan bulan. Berpasangan tetapi hanya bisa berjauhan. Mungkin kita harus belajar untuk tetap bahagia, meski tak bisa bersama. Bukankah bahagiamu adalah bahagiaku juga? Begitu pula sebaliknya.Â
Aku mencintai Ara. Tapi juga membenci perasaanku sendiri yang tak mampu mengalihkannya. Ara tak mungkin kumiliki. Ia telah menjadi milik Penciptanya, juga Pencipta cinta ini. Bagaimana mungkin bisa bersatu?