Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Piknik Tipis-tipis Mengenal Alam bersama Pak Suradin Sang Penyadap Legen

31 Oktober 2020   14:01 Diperbarui: 31 Oktober 2020   21:43 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piknik tipis-tipis mencari legen. | Foto: Wahyu Sapta

Libur panjang. Long weekend di akhir bulan Oktober 2020. Adalah kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Jika keseharian, ayah, ibu, kakak, adik, disibukkan oleh kegiatan masing-masing, maka ketika liburan, bisa menjadi ajang bepergian bersama. 

Ya, meskipun tiap harinya bertemu, karena selama ini masih berkaitan dengan pandemi. Kakak, adik sibuk dengan belajar/kuliah, ayah, ibu sibuk bekerja. Komunikasi hanya tipis-tipis. Konsentrasi mereka lebih ke kegiatan masing-masing, meski untuk belajar/kuliah/bekerja dilakukan secara online.

Nah, kegiatan saat liburan bisa apa saja, yang penting membawa positif. Menyalurkan hobi, misalnya bertanam, membaca, menulis, melukis, atau apa saja. Yang lebih utama adalah membuat jiwa lebih rileks, karena melakukan kegiatan yang menyenangkan diluar kegiatan sehari-hari. Salah satu kegiatan lainnya adalah: piknik tipis-tipis.

Suasana suram abu-abu hujan gerimis tak menyurutkan semangat untuk piknik tipis-tipis. | Foto: Wahyu Sapta.
Suasana suram abu-abu hujan gerimis tak menyurutkan semangat untuk piknik tipis-tipis. | Foto: Wahyu Sapta.
Piknik tipis-tipis dilakukan, karena belum sepenuhnya ke tempat wisata. Efek pandemi yang berkepanjangan dan belum menampakkan aman sepenuhnya, menjadikan beberapa tempat wisata masih tutup dan belum beroperasi. 

Untuk mencari tempat nyaman dan rileks agar tidak selalu memikirkan pandemi berserta efeknya, maka piknik tipis-tipis ini dilakukan. Piknik ke alam lebih dicari. Mengurangi tempat berkerumun, karena lebih aman. Memandang situasi alam, memanjakan mata dengan keindahannya.

Mengenal Pak Suradin Sang Penyadap Legen

Berkenalan dengan Pak Suradin yang berada di daerah Sulang Rembang karena tidak sengaja. Tetapi kami memang sengaja ke Sulang bertujuan untuk mencari legen sekaligus piknik tipis-tipis. Beberapa kali, kami pernah berkunjung. Seperti sudah menjadi jujugan (tempat yang dituju), ketika bepergian mencari suasana baru maka salah satunya kami akan ke sana. 

Hari itu, kami sekeluarga, ayah, kakak, adik, dan saya berangkat pagi sekitar pukul 7. Cuaca mendung sejak pagi hari, tidak menyurutkan semangat untuk pergi. Memang sejak hari Kamis kami berada di rumah Eyang yang ada di Pati, kurang lebih satu jam jika ke Rembang.

Berempat menikmati alam dengan piknik tipis-tipis. | Foto: dokpri.
Berempat menikmati alam dengan piknik tipis-tipis. | Foto: dokpri.
Sepanjang perjalanan disambut dengan gerimis yang syahdu. Dinginnya suasana dengan warna alam yang abu-abu, membuat kami suka. Kami lebih senang memilih jalan kampung, bukan jalan utama pantura. Jalan kecil alternatif dengan mengikuti arah google maps.

Memilih jalan kampung atau jalur alternatif lebih menyenangkan, karena lebih bisa menikmati alam dan tidak ramai. | Foto: Wahyu Sapta.
Memilih jalan kampung atau jalur alternatif lebih menyenangkan, karena lebih bisa menikmati alam dan tidak ramai. | Foto: Wahyu Sapta.
Melewati jalan kampung  yang sempit tetapi sudah beraspal, akan berbeda dengan jalan utama yang lebar. Jika melewati jalan utama akan lebih banyak bertemu dengan kendaraan lain, truk, mobil pribadi, angkutan umum, kadangkala bisa menambah stres. 

Sedangkan jika melewati jalan kampung lebih santai. Hanya sesekali bertemu kendaraan, dengan pemandangan alami pedesaan, perkampungan, sawah, kebun, itulah yang dicari. Jangan takut tersesat karena di era gadget ada google maps yang memandu, juga bisa bertanya ke penduduk sekitar yang ditemui.

Lokasi di Sulang Rembang, banyak terdapat pohon siwalan yang menghasilkan legen. Bisa dicari dengan google maps. | Foto: dok. Wahyu Sapta
Lokasi di Sulang Rembang, banyak terdapat pohon siwalan yang menghasilkan legen. Bisa dicari dengan google maps. | Foto: dok. Wahyu Sapta
Sampailah ke Sulang. Tetapi hari yang serasa masih pagi, dengan suasana suram basah terkena hujan, penjual legen yang biasanya buka berjejer sepanjang jalan banyak yang tutup. Begitu pula penjual legen langganan saya. Tidak buka. Aduh, bagaimana ini jika jauh-jauh hanya membawa tangan kosong nantinya. 

Kami sabar menunggu legen datang dari kebun sambil mengobrol dengan ibu penjualnya. | Foto: Wahyu Sapta.
Kami sabar menunggu legen datang dari kebun sambil mengobrol dengan ibu penjualnya. | Foto: Wahyu Sapta.
Beruntung salah satu warung legen ada yang buka. Kamipun berhenti. Tetapi kami melihat beberapa brumbung atau bambu yang biasa berisi legen masih kosong. Oh, rupanya masih belum diisi penjualnya. Seorang ibu berteriak dari arah kejauhan, mengatakan bahwa legen baru akan sampai dari kebun. Jika mau, boleh menunggu.

Tentu saja kami mau menunggu, karena tujuan kami ke sini adalah mencari legen. 

Kemudian ibu penjual itu menemui kami. Ia mengatakan jika suasana hujan, jarang yang mencari legen. Berbeda jika hari sedang panas, maka legen laris manis dan banyak yang mencari.

"Nah, Bu, kami memang lagi mencari legen. Sekalian piknik tipis-tipis meskipun hujan gerimis," kata saya. Ibunya tersenyum. Ia mengatakan bahwa banyak juga pembeli yang datang dari luar kota, juga sengaja mencari legen seperti saya. Maksudnya, ia sudah populer di kawasan itu, karena beberapa pembeli merekomendasikan namanya ke teman-temannya agar jika membeli legen ke tempat ibu itu. Kamipun tersenyum.

Beberapa kali saya memotret suasana yang ada di lokasi. Jalanan yang sepi, hanya sesekali yang melewati. Duh, ini berbeda sekali dengan Kota Semarang tempat tinggal saya. Jalanan tak pernah sepi oleh lalu lalang kendaraan. 

Jalanan sepi beraspal, khas pedesaan. Ada seorang bapak membawa pikulan yang berisi brumbung legen. | Foto: Wahyu Sapta.
Jalanan sepi beraspal, khas pedesaan. Ada seorang bapak membawa pikulan yang berisi brumbung legen. | Foto: Wahyu Sapta.
Bahkan saya bertemu dengan bapak-bapak pencari legen sedang berjalan dengan pikulan yang berisi beberapa brumbung bambu. Pasti berisi legen yang baru disandap.

"Itu suami saya, bu. Baru saja dari kebun sebelah sana, mengambil hasil sadapannya."  

Syukurlah, akhirnya ada legen yang masih segar untuk saya bawa pulang.

Kami minta 3 botol besar. Ternyata persediaan legen masih kurang. Lalu suami dari ibu penjual mengambil hasil sadapan dari pohon yang ada di dekat warung. Dengan cekatan ia menaiki pohon siwalan penghasil legen. Saya tak mau kehilangan momen itu, segera memotretnya. 

Dengan cekatan, Pak Suradin memanjat pohon siwalan untuk mengambil hasil sadapannya. | Foto: Wahyu Sapta.
Dengan cekatan, Pak Suradin memanjat pohon siwalan untuk mengambil hasil sadapannya. | Foto: Wahyu Sapta.
Ibu penjual tertawa dengan gayanya yang khas, bahwa suaminya juga sering ketiban potret saat naik ke pohon. Bahkan salah satu televisi swasta pernah mewawancarainya yang meliput tentang legen, katanya. Keren dong, Bu. Bapaknya populer, pernah masuk tivi. Kamipun tertawa bersama.

Setelah turun, kamipun berkenalan. Namanya Pak Suradin, sedangkan istrinya bernama Ngatmi. Ngobrol sana-sini, lalu saya bertanya, sehari dapat berapa, pak? Lumayan katanya. Cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhannya. Dengan dialek Rembang yang khas, kami mendengarkan mereka bercerita.

Kami kemudian mengobrol dengan Pak Suradin Sang Penyadap Legen berserta istrinya. Dengan dialek khas Rembang, mereka bercerita. | Foto: dok. Wahyu Sapta.
Kami kemudian mengobrol dengan Pak Suradin Sang Penyadap Legen berserta istrinya. Dengan dialek khas Rembang, mereka bercerita. | Foto: dok. Wahyu Sapta.
Dengan penghasilannya, mereka bisa membesarkan anak semata wayangnya, yang sekarang sudah menikah dan memiliki momongan. 

Dalam kondisi pandemi pun, mereka tidak pernah kering penghasilan, karena bisa mendapat penghasilan dari menyadap legen. "Pasti ada yang cari, Bu." katanya. Ya, rezeki memang tidak akan kemana. Jika sudah rezeki, maka akan sampai pada pemiliknya. Dengan syarat rajin dan mau bekerja. Karena alam menyediakannya dan tinggal mengambilnya. Dengan pekerjaan mencari legen, mereka tidak kekurangan. 

Duh, kami banyak belajar dari mereka berdua. Piknik tipis-tipis ini selain menikmati alam, juga membuat kami bertambah ilmu. Belajar dari kehidupan yang mereka jalani, dengan kesahajaan dan bersahabat dengan alam sekitarnya. Bahagia yang mereka dapatkan dengan kepolosan yang mereka punya. "Ya memang pekerjaan kami seperti ini, maka asal mau dan rajin, maka akan kecukupan." kata mereka.

Kamipun pamit, setelah mendapat 3 botol besar legen dan 3 botol besar gula cair dari bahan legen. Semuanya seharga seratus tiga puluh lima ribu rupiah. 

Mereka juga berkata, hendak beranjak pulang ke rumah. Loh, kenapa? Saya bertanya. Mereka menjawab, karena situasi mendung, nanti sedikit yang akan membeli legen. Apalagi tadi legen mereka sudah habis diborong oleh kami. Alhamdulillah.

Sesampai rumah, legen tersebut kami bagi untuk saudara yang berkumpul di rumah Eyang. Harus segera habis karena akan berbeda rasa jika terlalu lama di luar.  Sedangkan gula merah cair lebih awet. Untuk oleh-oleh saudara yang pulang ke Jakarta.

Piknik tipis-tipis mencari legen ke penyadapnya langsung. Hihi... cuma bundanya yang narsis minta difoto. Lainnya ogah. Kan mumpung sampai sana, kan? | Foto: Dokumen Pribadi.
Piknik tipis-tipis mencari legen ke penyadapnya langsung. Hihi... cuma bundanya yang narsis minta difoto. Lainnya ogah. Kan mumpung sampai sana, kan? | Foto: Dokumen Pribadi.
Piknik tipis-tipis tak perlu jauh, bisa saja ke alam dan penduduk sekitar. Menimba ilmu darinya dan memperoleh pemandangan yang masih alami. Membuat lebih rileks juga bermanfaat.

Menikmati alam, juga belajar darinya. | Foto: dokumen pribadi.
Menikmati alam, juga belajar darinya. | Foto: dokumen pribadi.
Pati, 31 Oktober 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun