Libur panjang. Long weekend di akhir bulan Oktober 2020. Adalah kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Jika keseharian, ayah, ibu, kakak, adik, disibukkan oleh kegiatan masing-masing, maka ketika liburan, bisa menjadi ajang bepergian bersama.Â
Ya, meskipun tiap harinya bertemu, karena selama ini masih berkaitan dengan pandemi. Kakak, adik sibuk dengan belajar/kuliah, ayah, ibu sibuk bekerja. Komunikasi hanya tipis-tipis. Konsentrasi mereka lebih ke kegiatan masing-masing, meski untuk belajar/kuliah/bekerja dilakukan secara online.
Nah, kegiatan saat liburan bisa apa saja, yang penting membawa positif. Menyalurkan hobi, misalnya bertanam, membaca, menulis, melukis, atau apa saja. Yang lebih utama adalah membuat jiwa lebih rileks, karena melakukan kegiatan yang menyenangkan diluar kegiatan sehari-hari. Salah satu kegiatan lainnya adalah: piknik tipis-tipis.
Untuk mencari tempat nyaman dan rileks agar tidak selalu memikirkan pandemi berserta efeknya, maka piknik tipis-tipis ini dilakukan. Piknik ke alam lebih dicari. Mengurangi tempat berkerumun, karena lebih aman. Memandang situasi alam, memanjakan mata dengan keindahannya.
Mengenal Pak Suradin Sang Penyadap Legen
Berkenalan dengan Pak Suradin yang berada di daerah Sulang Rembang karena tidak sengaja. Tetapi kami memang sengaja ke Sulang bertujuan untuk mencari legen sekaligus piknik tipis-tipis. Beberapa kali, kami pernah berkunjung. Seperti sudah menjadi jujugan (tempat yang dituju), ketika bepergian mencari suasana baru maka salah satunya kami akan ke sana.Â
Hari itu, kami sekeluarga, ayah, kakak, adik, dan saya berangkat pagi sekitar pukul 7. Cuaca mendung sejak pagi hari, tidak menyurutkan semangat untuk pergi. Memang sejak hari Kamis kami berada di rumah Eyang yang ada di Pati, kurang lebih satu jam jika ke Rembang.
Sedangkan jika melewati jalan kampung lebih santai. Hanya sesekali bertemu kendaraan, dengan pemandangan alami pedesaan, perkampungan, sawah, kebun, itulah yang dicari. Jangan takut tersesat karena di era gadget ada google maps yang memandu, juga bisa bertanya ke penduduk sekitar yang ditemui.
Tentu saja kami mau menunggu, karena tujuan kami ke sini adalah mencari legen.Â
Kemudian ibu penjual itu menemui kami. Ia mengatakan jika suasana hujan, jarang yang mencari legen. Berbeda jika hari sedang panas, maka legen laris manis dan banyak yang mencari.
"Nah, Bu, kami memang lagi mencari legen. Sekalian piknik tipis-tipis meskipun hujan gerimis," kata saya. Ibunya tersenyum. Ia mengatakan bahwa banyak juga pembeli yang datang dari luar kota, juga sengaja mencari legen seperti saya. Maksudnya, ia sudah populer di kawasan itu, karena beberapa pembeli merekomendasikan namanya ke teman-temannya agar jika membeli legen ke tempat ibu itu. Kamipun tersenyum.
Beberapa kali saya memotret suasana yang ada di lokasi. Jalanan yang sepi, hanya sesekali yang melewati. Duh, ini berbeda sekali dengan Kota Semarang tempat tinggal saya. Jalanan tak pernah sepi oleh lalu lalang kendaraan.Â
"Itu suami saya, bu. Baru saja dari kebun sebelah sana, mengambil hasil sadapannya."Â Â
Syukurlah, akhirnya ada legen yang masih segar untuk saya bawa pulang.
Kami minta 3 botol besar. Ternyata persediaan legen masih kurang. Lalu suami dari ibu penjual mengambil hasil sadapan dari pohon yang ada di dekat warung. Dengan cekatan ia menaiki pohon siwalan penghasil legen. Saya tak mau kehilangan momen itu, segera memotretnya.Â
Setelah turun, kamipun berkenalan. Namanya Pak Suradin, sedangkan istrinya bernama Ngatmi. Ngobrol sana-sini, lalu saya bertanya, sehari dapat berapa, pak? Lumayan katanya. Cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhannya. Dengan dialek Rembang yang khas, kami mendengarkan mereka bercerita.
Dalam kondisi pandemi pun, mereka tidak pernah kering penghasilan, karena bisa mendapat penghasilan dari menyadap legen. "Pasti ada yang cari, Bu." katanya. Ya, rezeki memang tidak akan kemana. Jika sudah rezeki, maka akan sampai pada pemiliknya. Dengan syarat rajin dan mau bekerja. Karena alam menyediakannya dan tinggal mengambilnya. Dengan pekerjaan mencari legen, mereka tidak kekurangan.Â
Duh, kami banyak belajar dari mereka berdua. Piknik tipis-tipis ini selain menikmati alam, juga membuat kami bertambah ilmu. Belajar dari kehidupan yang mereka jalani, dengan kesahajaan dan bersahabat dengan alam sekitarnya. Bahagia yang mereka dapatkan dengan kepolosan yang mereka punya. "Ya memang pekerjaan kami seperti ini, maka asal mau dan rajin, maka akan kecukupan." kata mereka.
Kamipun pamit, setelah mendapat 3 botol besar legen dan 3 botol besar gula cair dari bahan legen. Semuanya seharga seratus tiga puluh lima ribu rupiah.Â
Mereka juga berkata, hendak beranjak pulang ke rumah. Loh, kenapa? Saya bertanya. Mereka menjawab, karena situasi mendung, nanti sedikit yang akan membeli legen. Apalagi tadi legen mereka sudah habis diborong oleh kami. Alhamdulillah.
Sesampai rumah, legen tersebut kami bagi untuk saudara yang berkumpul di rumah Eyang. Harus segera habis karena akan berbeda rasa jika terlalu lama di luar. Â Sedangkan gula merah cair lebih awet. Untuk oleh-oleh saudara yang pulang ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H