Setelah turun, kamipun berkenalan. Namanya Pak Suradin, sedangkan istrinya bernama Ngatmi. Ngobrol sana-sini, lalu saya bertanya, sehari dapat berapa, pak? Lumayan katanya. Cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhannya. Dengan dialek Rembang yang khas, kami mendengarkan mereka bercerita.
Dalam kondisi pandemi pun, mereka tidak pernah kering penghasilan, karena bisa mendapat penghasilan dari menyadap legen. "Pasti ada yang cari, Bu." katanya. Ya, rezeki memang tidak akan kemana. Jika sudah rezeki, maka akan sampai pada pemiliknya. Dengan syarat rajin dan mau bekerja. Karena alam menyediakannya dan tinggal mengambilnya. Dengan pekerjaan mencari legen, mereka tidak kekurangan.Â
Duh, kami banyak belajar dari mereka berdua. Piknik tipis-tipis ini selain menikmati alam, juga membuat kami bertambah ilmu. Belajar dari kehidupan yang mereka jalani, dengan kesahajaan dan bersahabat dengan alam sekitarnya. Bahagia yang mereka dapatkan dengan kepolosan yang mereka punya. "Ya memang pekerjaan kami seperti ini, maka asal mau dan rajin, maka akan kecukupan." kata mereka.
Kamipun pamit, setelah mendapat 3 botol besar legen dan 3 botol besar gula cair dari bahan legen. Semuanya seharga seratus tiga puluh lima ribu rupiah.Â
Mereka juga berkata, hendak beranjak pulang ke rumah. Loh, kenapa? Saya bertanya. Mereka menjawab, karena situasi mendung, nanti sedikit yang akan membeli legen. Apalagi tadi legen mereka sudah habis diborong oleh kami. Alhamdulillah.
Sesampai rumah, legen tersebut kami bagi untuk saudara yang berkumpul di rumah Eyang. Harus segera habis karena akan berbeda rasa jika terlalu lama di luar. Â Sedangkan gula merah cair lebih awet. Untuk oleh-oleh saudara yang pulang ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H