"Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional," kata Devan pada dirinya sendiri. Ia membaca pesan dari seseorang di ponselnya. "Masih ada waktu." lanjutnya. Karena pada hari itu, ia harus menyajikan musik untuk konser sederhananya.Â
Yang ia tahu, pada tanggal 9 Maret itu adalah hari lahir WR Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya. Atas jasanya terhadap negara dengan menciptakan lagu tersebut yang dijadikan lagu kebangsaan dan menjadi lambang persatuan bangsa, para insan musik Indonesia bareng masyarakat, telah memperingati tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional.Â
Ya, ya. Devan bersama grup bermusiknya, didapuk untuk bisa menjadi penyumbang ide dalam menciptakan sebuah lagu. Harus orisinal. Tidak boleh menjiplak. Dari mereka berlima, Devan adalah satu-satunya yang bisa diandalkan.Â
Ada hal yang mengganjal di dalam hatinya. Jika dipikir, sebenarnya ia sudah mulai jenuh dengan segala kegiatan bermusiknya. Ia merasa kehabisan ide. Segala ide yang ia punya selama ini telah ia tuangkan.Â
"Mengapa kau tak mencarinya?"Â
"Mencari apa?"Â
"Ide, yang kau inginkan itu. Atau barangkali kau memang butuh berlibur. Aku tahu kau jenuh."Â
Devan mengangguk. Memang selama ini ia terlalu bersemangat, hingga lupa, bahwa manusia memiliki keterbatasan. Ide yang ia miliki butuh asupan. Bahwa ide juga membutuhkan tuangan hal baru.Â
***Â
Devan pergi. Kepergian ini, tanpa memberitahukan siapapun kemana ia berada. Juga pada seseorang yang selama ini mendukungnya. Ia ingin menyendiri. Menemui hal-hal baru yang berbeda, dari kehidupan kesehariannya sebelum ini.Â
Devan mematikan semua sambungan telepon dan medsos yang ia punya. Tentu saja setelah sebelumnya mengirimkan pesan bahwa ia baik-baik saja. Hal ini ia lakukan agar seseorang itu tak cemas.Â
"Hanya beberapa hari. Tak akan lama," ujarnya.Â
***Â
Hari-hari Devan penuh dengan hal baru. Seperti ketika menemui orang yang baru dikenalnya. Di tempat ia menyepi, jauh dari orang-orang yang dikenalnya terdahulu.
Juga mengunjungi toko buku. Membaca, atau duduk merenung di sudut toko. Devan melihat penjaga toko dengan berbagai karakter. Juga melihat pengunjung yang rata-rata memiliki wajah serius karena hobi membaca dan koleksi buku.Â
Lalu pergi ke taman, adalah suatu hal favoritnya. Bisa betah beberapa jam jika berada di sana. Mengamati orang yang berlalu lalang. Mempelajari gerak-gerik mereka. Menurutnya, itu memberi ritme dan menimbulkan irama yang bisa menjadi ide.Â
Ah. Tapi mengapa masih saja belum bisa memberikan sedikit pun tentang sesuatu untuknya?Â
Mengamati sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, menjadikan Devan merasa geli sendiri. Dunia seakan milik mereka berdua, sedang yang lainnya hanya sebagai figuran yang tak tampak di mata. Sehingga mereka merasa asyik bersenda dan duduk berdekatan. Tanpa melihat sekitar. Membuat iri hati Devan.Â
"Semerah hatiku," gumamnya. Ia lalu teringat pada seseorang yang ditinggali pesan kemarin. "Aku rindu padamu." Begitu kata hatinya.Â
Ia cepat-cepat meninggalkan taman, sebelum hatinya yang merah menjadi biru karena rindu. Kali ini, apa yang diinginkan tak bisa ia dapatkan. Sungguh, bahkan telah membuat hatinya seperti membentur tembok. Sakit.Â
***Â
Waktu berjalan cepat. Begitu berharganya, hingga Devan merasa terkejar oleh sesuatu yang membuatnya terbelenggu. Tetapi sebenarnya, ia belum menemukan apa-apa.Â
"Mengapa begini? Ada apa denganku?" tanya Devan pada dirinya sendiri.Â
Malam semakin larut. Sepi mulai menggelayut. Devan berbaring di sofa. Kelelahan. Pikirannya kosong.Â
Ia mendengar suara rintik rinai mengetuk pelan di atas plafon. Suaranya stabil dan menenangkan. Bagai irama jazzy. Menyusup ke kamar melalui kerai-kerai mini di jendela. Tapi entah mengapa, baginya ini adalah kemuraman yang pas.Â
Kelopak matanya turun perlahan, lalu terpejam. Hatinya gundah. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu.Â
Matanya membuka seketika. Ia mengerjap, menyesuaikan mata dengan cahaya lampu.Â
Ia kembali bergumam. "Sungguh, ini adalah hal yang indah. Aku harus meresapinya."Â
Lima menit hening. Rasanya seperti stagnan. Lima menit kemudian, ia menengadah. Lalu tersenyum. Senyumnya singkat dan ceria. Ia bangkit dan berdiri.Â
"Hei, aku menemukan ide. Dan aku yakin, ini bakalan menjadi kejutan."Â
Ia mengambil gitar yang terletak di pojok dekat meja di kamar. Juga mengambil buku catatan dan pena. Suara rinai di luar malam itu, membuatnya menggila.Â
Petikan gitar dari tangannya, memberikan suara membahana, hingga memenuhi kamar yang dihuni. Tempat ia menyembunyikan diri. Jauh dari orang yang dikenalnya.Â
***Â
Lega sudah. Apa yang selama ini menjadi keharusannya selesai. Sukses dan tepuk tangan membahana di setiap sudut gedung pertunjukan kemarin.Â
Hari ini, ia ingin sedikit melenturkan perasaan, setelah bekerja keras memakai hati. Sebuah seni memang telah menguras hati. Perasaannya tertumpah ruah, hingga sekarang sedikit lemas.Â
Cahaya rembulan tergantung di atas langit malam. Terangnya menyusup hingga ke bawah kaki yang sedang menginjak pasir. Buih-buih putih ombak menyapu pantai seperti bisikan.Â
Ombak tak pernah usai bergerak, bagai tarikan mentari dan rembulan. Bergantian. Menjaga siang dan malam.Â
Devan ditemani seseorang. Ia akan tenang jika berada di sampingnya. Orang itu demikian baik, meski kadang Devan mengabaikannya. Wajah teduh seseorang itu, mampu menyejukkan hati.Â
Ombak masih saja setia bergerak. Memberikan buih-buih putih bagai kain berenda tipis.Â
"Aku ingin menggenggam erat tanganmu," kata seseorang.Â
Devan menengok ke arahnya. "Maaf, kau mengatakan apa?"Â
"Tak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, sungguh indah malam ini." jawabnya.Â
Seseorang itu lalu menunjuk ke arah sinar rembulan sedang purnama, yang tersembunyi di balik pohon dekat bangunan tepi pantai.Â
Devan tersenyum. Ia tahu, seseorang itu sekarang sedang terkagum padanya.Â
Semarang, 8 Maret 2020.Â
Tim Srikandi 4.0 ==> Ire Rosana Ullail, Listhia H. Rahman, Wahyu Sapta.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H