Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dia yang Berselimut Embun Pagi

4 November 2019   05:37 Diperbarui: 4 November 2019   05:42 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak kupungkiri, aku takut mendekat saat ia tersadar dan tak tidur. Takut bila tiba-tiba ia marah. Tanpa kendali akan menyerangku.

Pernah, aku melihat ia menyerang seseorang. Menjambak rambut dengan tiba-tiba saat di dekatnya. Ketika itu ia dalam kondisi tak stabil dan marah. Tentu saja membuat terkejut. Orang itu lari menjauh darinya. Tapi hanya itu, selebihnya tak pernah ada serangan yang lebih keras.

Sejak kejadian itu, tak banyak yang berani mendekat padanya. Sebenarnya iba. Tapi tak banyak yang memiliki keberanian untuk lebih dekat. Aku pun hanya berani memandangnya dari kejauhan.

Saat kebetulan berpapasan di jalan raya ketika aku berangkat kerja, teriris rasanya hati melihatnya. Aku tahu, beberapa bulan lalu perutnya masih kempis, dengan baju yang kumal dan rambut yang tak pernah tersisir. Sekarang perut itu membesar, entah memasuki bulan keberapa. Nasib buruk menimpanya. Seseorang telah mencederainya.

Sungguh jahat orang yang membuat perutnya membesar.Tega sekali. Padahal ia tak mampu lagi berpikir untuk kebaikan dirinya. Bahkan untuk badannya sendiri. Ia hanya bisa merasakan perutnya lapar dan minta diisi.

Pernah sengaja aku mengamati wajahnya. Hem, seandainya ia bersih, paras wajahnya cukup manis. Mungkinkah itu yang membuat orang jahat tersebut tertarik padanya? Jelas aku mengutuk perbuatan itu.

Tak ada yang mengetahui persis, siapa pelakunya. Sulit untuk berdialog dengannya. Ia tak memiliki rasa untuk melindungi dirinya sendiri. Ketika orang-orang bertanya, ia hanya tersenyum dan tertawa. Atau kadang ekspresi kesedihan.

***

Seperti biasa, di pagi hari yang masih dingin saat embun masih menyelimuti dedaunan, aku menuju taman. Berolah raga sebelum melakukan aktivitas. Kebetulan hari ini aku membawa roti isi coklat dan sebotol air mineral. Untuknya.

Tetapi... hei, ia tak ada! Ia kemana?

Kemudian aku bertemu dengan seseorang. Mungkin ia mengetahui keberadaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun