Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dia yang Berselimut Embun Pagi

4 November 2019   05:37 Diperbarui: 4 November 2019   05:42 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Embun pagi yang basah. Hari siang masih belum tampak. Sebentar lagi akan terang benderang, seiring matahari menampakkan diri. Cuaca berkabut tipis, meski tak ada mendung lagi. Tadi malam hujan cukup deras, tampak ketika tanah masih basah dan lembab.

Aku berlari kecil seperti hari lalu untuk berolahraga. Saat tiba pada sebuah taman, aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Tetes embun masih menyisakan di dedaunan sekitar taman. Segar sekali udara pagi ini. Sesekali kuhirup udara segar dengan sepenuh hati, memenuhi seluruh rongga dadaku. Lalu pulang, berlari kecil menuju rumah. Kembali melanjutkan aktivitas.

Tak terlewatkan, selalu ku tengok sudut taman sebelah kiri. Hem. Ia, masih ada di tempat. Dengan perut yang makin hari semakin besar, tertidur di bangku yang terbuat dari semen.

Kupandangi dengan seksama, apakah ia masih bernafas atau tidak. Bukan apa-apa, jika kecemasanku tentang dia terlalu ekstrim. Aku cemas padanya dan janin yang ada di dalam perutnya.

Dua potong roti dan sebotol air mineral aku tinggalkan di sebelah tempat ia berbaring. Sengaja. Kubawa khusus untuknya.

Nafasnya teratur. Dengan baju yang dipakai, entah sejak kapan. Tetapi yang kulihat, selalu baju itu yang melekat di badan. Tidurnya masih pulas, meski embun membalutnya dingin. Semalam, bukankah hujan deras? Aku tidak mengerti. Aku melihat badannya tak basah. Mungkin ia berteduh, entah di mana. Setiap pagi, ia tertidur di taman.

Aku tak bisa berbuat lain. Hanya memberinya roti dan sebotol air mineral. Atau sebungkus nasi yang kubeli dari warung di hari yang lain.

***

Menjelang siang, saat aku melewatinya kembali, ia sudah tak berada di taman. Juga roti dan air mineral. Aku harap, ia memakannya.

Aku tak tahu tentangnya. Begitu pula orang sekitarnya. Ketika siang mulai merambat, saat matahari panas menyengat ia berkelana. Mungkin mencari makanan untuk memenuhi hasrat perutnya. Kasihan. Tapi apa daya, aku tak mampu menolongnya.

Ia sering berbicara sendiri dan berlagak seolah-olah berbicara dengan seseorang dengan menggerak-gerakkan tangan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Tak kupungkiri, aku takut mendekat saat ia tersadar dan tak tidur. Takut bila tiba-tiba ia marah. Tanpa kendali akan menyerangku.

Pernah, aku melihat ia menyerang seseorang. Menjambak rambut dengan tiba-tiba saat di dekatnya. Ketika itu ia dalam kondisi tak stabil dan marah. Tentu saja membuat terkejut. Orang itu lari menjauh darinya. Tapi hanya itu, selebihnya tak pernah ada serangan yang lebih keras.

Sejak kejadian itu, tak banyak yang berani mendekat padanya. Sebenarnya iba. Tapi tak banyak yang memiliki keberanian untuk lebih dekat. Aku pun hanya berani memandangnya dari kejauhan.

Saat kebetulan berpapasan di jalan raya ketika aku berangkat kerja, teriris rasanya hati melihatnya. Aku tahu, beberapa bulan lalu perutnya masih kempis, dengan baju yang kumal dan rambut yang tak pernah tersisir. Sekarang perut itu membesar, entah memasuki bulan keberapa. Nasib buruk menimpanya. Seseorang telah mencederainya.

Sungguh jahat orang yang membuat perutnya membesar.Tega sekali. Padahal ia tak mampu lagi berpikir untuk kebaikan dirinya. Bahkan untuk badannya sendiri. Ia hanya bisa merasakan perutnya lapar dan minta diisi.

Pernah sengaja aku mengamati wajahnya. Hem, seandainya ia bersih, paras wajahnya cukup manis. Mungkinkah itu yang membuat orang jahat tersebut tertarik padanya? Jelas aku mengutuk perbuatan itu.

Tak ada yang mengetahui persis, siapa pelakunya. Sulit untuk berdialog dengannya. Ia tak memiliki rasa untuk melindungi dirinya sendiri. Ketika orang-orang bertanya, ia hanya tersenyum dan tertawa. Atau kadang ekspresi kesedihan.

***

Seperti biasa, di pagi hari yang masih dingin saat embun masih menyelimuti dedaunan, aku menuju taman. Berolah raga sebelum melakukan aktivitas. Kebetulan hari ini aku membawa roti isi coklat dan sebotol air mineral. Untuknya.

Tetapi... hei, ia tak ada! Ia kemana?

Kemudian aku bertemu dengan seseorang. Mungkin ia mengetahui keberadaannya.

"Kemana orang yang biasanya tidur di bangku semen ini, pak?"

"Ia telah pergi. Tadi malam, serombongan orang-orang membawanya."

"Siapa mereka?"

"Entahlah. Berbaju putih dan membawa mobil, mungkin akan merawatnya."

"Apakah mereka tampak orang baik-baik pak? Aku mencemaskannya!"

"Ya, mungkin mereka petugas dari dinas sosial, tampak dari bajunya."

"Syukurlah, akhirnya ada yang peduli." desisku.

"Mbak apanya dia? Apakah saudaranya?"

"Bukan, pak. Terima kasih informasinya. Maaf mengganggu." jawabku sambil berlalu.

Baiklah. Ini fakta penting. Untuk sementara kecemasanku berakhir. Aku hanya bisa berdoa, semoga ia menemukan kesembuhan dan tempat yang aman. Jauh dari kejahatan tak bertanggungjawab. Harapanku, ketika aku bertemu kembali, ia baik-baik saja.

Bangku taman yang terbuat dari semen di sudut sebelah kiri kosong. Setiap pagi ketika embun masih menyelimuti dedaunan, tak ada lagi yang menerima roti dan sebotol mineral pemberianku. Aku bersyukur. Sekaligus berharap, ia akan aman selamanya.

***

Semarang, 4 November 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun