Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Temui Aku di Jalan Sudirman

24 Agustus 2019   19:50 Diperbarui: 24 Agustus 2019   19:56 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temui Aku di Jalan Sudirman. Ilustrasi: Wahyu Sapta.

Ukik menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah tirusnya. Kemudian ditarik ke belakang membentuk cempolan semacam gelung sederhana. Rambut gondrong ini adalah aset baginya. Ia meyakini, bahwa rambut gondrongnya membawa keberkahan tersendiri. Maka ia tak akan memotongnya dalam waktu dekat ini. Entah suatu saat.

Bermodal wajah pas-pasan serta suara emas yang dimiliki, ia mengamen. Ia terbiasa membawa gitar sendiri dan memetiknya secara akustik. Ketika ketukan irama mulai menggema dan alunan suara yang menghentak, serta petikan gitar mendayu, maka apapun yang berada di dekatnya menjadi senyap. Hingga hanya ada suara dirinya yang dominan.

Tak berapa lama, sebuah wadah dari topi yang dibalik akan berisi koin-koin dan kertas bermacam warna. Ini adalah berkah baginya. Jika sedang ramai, bahkan ia bisa mentraktir makan nasi padang temannya yang tak seberuntung dirinya hari itu.

"Ukik?"

"Ya. Anda mengenal saya? Anda siapa? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Tak berapa lama setelah kejadian itu, tempat mengamen Ukik berpindah pada suatu ruangan berlampu banyak, tetapi redup dan memancarkan sinar berbagai warna. Kesan romantis menguar di setiap sudut ruangan. Kursi dan meja yang tertata tak beraturan, tetapi nyaman untuk duduk bagi yang sedang dilanda asmara.

Apalagi suara merdu dan petikan gitar Ukik memecah kesyahduan. Mengkoyak-koyak jiwa kesepian, hingga terisi penuh oleh cinta. Semakin lama tempat mengamen Ukik semakin ramai. Hampir semua kursi penuh tiap malamnya. 

"Ukik?"

"Ya. Anda mengenal saya? Anda siapa? Ada yang bisa saya bantu?"

Kemudian suara merdunya berbentuk kepingan compact disk. Hingga ratusan ribu keping laku keras bak kacang goreng. 

***

Zoya mengemasi semua perlengkapan memasaknya. Selesai sudah pekerjaannya untuk hari ini. Dibantu oleh beberapa karyawannya, semua pesanan telah dieksekusi. Nasi kotak 300 porsi. Tak mudah memasak dalam jumlah yang banyak. Butuh konsentrasi tinggi, agar makanan tetap segar saat diantar ke pelanggan. Urutan memasak juga ia terapkan, agar mempermudah dalam prosesnya. Semua ia pikirkan dengan teliti. Ia tak mau ada keluhan dari pelanggan, karena pesanan tidak sesuai dengan keinginannya.

"Kak Zoya, aku pamit, ya." kata Selvy salah satu karyawannya.

"Terimakasih Selvy. Sampai ketemu besok."

"Siap, kak."

Apa yang bisa ia perbuat, kecuali dengan kebaikan. Ia baik kepada semua karyawan. Karena ini adalah pekerjaan tim. Ia tak bisa bekerja sendiri tanpa bantuan mereka. 

Suatu hari ia mendapat pesanan nasi tumpeng lengkap dari seseorang. Rupanya pelanggan baru. Memang selama ini ia mendapat banyak pelanggan baru. Ketika ia bertanya kepada pelanggan baru dari mana ia memperoleh informasi tentang katering miliknya, mereka menjawab dari temannya. Dan teman mereka itu tampaknya pelanggannya yang pernah memesan darinya. Tentu saja ia bahagia, karena usaha yang dirintisnya ini mengalami grafik naik. Tak sia-sia ia kursus memasak, meski awalnya ogah-ogahan. "Ini berkah." batinnya.

Tumpeng yang dipesan kali ini tak main-main. Menu yang diminta istimewa. Baru kali pertama ia mendapat pesanan tumpeng dengan harga yang lumayan, di atas rata-rata. Ia harus berpikir keras dengan bumbu yang dipakai, juga elemen pengisinya. Desain tumpeng juga harus istimewa. Sesuai dengan keinginan pelanggan barunya ini. 

Ia kemudian browshing di banyak sumber. Dari majalah ataupun di internet. Ia mengerjakan secara all out di setiap pekerjaannya. Dan kali ini, sungguh menguras energinya. Untung saja ada Selvy yang setia menemaninya. 

Hingga harinya. Ia mengantar sendiri pesanan tumpeng itu di lokasi. Tentu saja bukan ia sendiri yang mengangkatnya. Melainkan dibantu beberapa karyawannya. Ia ingin tahu, seperti apa pelanggan barunya. Sekaligus bisa berkenalan. 

Hem. Megah sekali rumah yang ditujunya.

"Pantas saja pesanan ini istimewa. Rupanya ia seorang yang kaya."

Lalu ia merapikan kembali tumpeng pesanan itu agar tak berubah bentuk, di sebuah meja besar. Kemudian pulang. 

Baru saja ia akan keluar dari gerbang pagar, seseorang memanggilnya.

"Zoya? Mengapa kemari?"

"Loh, ini rumah kamu?"

"Bukan, rumah tetanggaku," Ia menjawabnya sambil tergelak. Tetapi kemudian ia meralatnya. "Iya Zoya, ini rumahku." lanjutnya.

"Jadi yang memesan tumpeng kamu? Wah, kamu sudah sukses sekarang."

"Loh, kamu itu pemilik katering yang kondang enak itu? Wah, kamu juga sukses, ya, sekarang."

Pipi Zoya tiba-tiba memerah. Dan si pemilik pujian itu memiliki rambut gondrong bersuara merdu.

***

Ketika yang lalu...

Seragam putih abu-abu. Hari Senin. Pagi itu upacara bendera. Selepas upacara, bubar barisan. Di jeda waktu saat akan masuk kelas. Zoya bertemu Ukik. Di luar pelataran sekolah, depan pintu gerbang. Tetapi Zoya masih berada di dalam area sekolah. Sedang Ukik di luar pagar. Ada raut wajah yang seperti membawa beban beribu ton. Sendu sekali.

"Ukik, aku rasa kita tak bisa berkawan lagi. Ayahku, melarangnya."

"Mengapa? Karena aku seorang pengamen? Tidak menjamin masa depan?"

Zoya hanya terdiam.

"Temui aku di Jalan Sudirman, Zoya."

Tangispun pecah. Zoya tak mampu menahan kesedihannya berpisah dengan Ukik.

Sejak itu tak pernah sekalipun Zoya bertemu Ukik, hingga bertahun lamanya. Karena Ukik tak lagi menampakkan batang hidungnya. Sedang ia biasanya mangkal di Jalan Sudirman.


***

Rumah tertata rapi dan megah dengan taman yang indah. Baru saja syukuran menempati rumah baru. Dengan sebuah tumpeng besar dengan desain yang spektakuler. Ada di Jalan Sudirman nomer 16. Penghuninya telah beristri. 

Sedang pembuat tumpeng megah, telah memiliki pendamping bernama Hardy.

Semarang, 24 Agustus 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun