Ukik menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah tirusnya. Kemudian ditarik ke belakang membentuk cempolan semacam gelung sederhana. Rambut gondrong ini adalah aset baginya. Ia meyakini, bahwa rambut gondrongnya membawa keberkahan tersendiri. Maka ia tak akan memotongnya dalam waktu dekat ini. Entah suatu saat.
Bermodal wajah pas-pasan serta suara emas yang dimiliki, ia mengamen. Ia terbiasa membawa gitar sendiri dan memetiknya secara akustik. Ketika ketukan irama mulai menggema dan alunan suara yang menghentak, serta petikan gitar mendayu, maka apapun yang berada di dekatnya menjadi senyap. Hingga hanya ada suara dirinya yang dominan.
Tak berapa lama, sebuah wadah dari topi yang dibalik akan berisi koin-koin dan kertas bermacam warna. Ini adalah berkah baginya. Jika sedang ramai, bahkan ia bisa mentraktir makan nasi padang temannya yang tak seberuntung dirinya hari itu.
"Ukik?"
"Ya. Anda mengenal saya? Anda siapa? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
Tak berapa lama setelah kejadian itu, tempat mengamen Ukik berpindah pada suatu ruangan berlampu banyak, tetapi redup dan memancarkan sinar berbagai warna. Kesan romantis menguar di setiap sudut ruangan. Kursi dan meja yang tertata tak beraturan, tetapi nyaman untuk duduk bagi yang sedang dilanda asmara.
Apalagi suara merdu dan petikan gitar Ukik memecah kesyahduan. Mengkoyak-koyak jiwa kesepian, hingga terisi penuh oleh cinta. Semakin lama tempat mengamen Ukik semakin ramai. Hampir semua kursi penuh tiap malamnya.Â
"Ukik?"
"Ya. Anda mengenal saya? Anda siapa? Ada yang bisa saya bantu?"
Kemudian suara merdunya berbentuk kepingan compact disk. Hingga ratusan ribu keping laku keras bak kacang goreng.Â
***