Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melintas Kenangan

21 Agustus 2019   12:10 Diperbarui: 21 Agustus 2019   12:25 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak kupungkiri waktu memberikan banyak kenangan. Indah, buruk, senang, atau sedih. Kenangan membuatku merasa pernah mengalami masa lalu. Masa di mana aku pernah seumuran dengan sang waktu, dan memberikan kenangan yang selalu berumur lebih muda dariku. Kenangan itu, tak pernah terhapus oleh waktu. Tak jua olehmu? Oh...

***

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Arjuna. Aku hanya menggeleng. Serius, ia bertanya dengan wajah cemas saat aku merasa gundah. Aku menengok ke arahnya, untuk meyakinkan bahwa aku tak apa-apa.

"Tak ada apa-apa Juna. Aku hanya terpikirkan ibuku. Ia sedang menungguku. Dan aku dengan santai tak segera ke sana menemuinya."

"Mengapa kau tak bilang dari tadi. Kalau aku tahu, kan kita segera ke sana. Ibu sehat, kan?" katanya.

Dan mengapa Juna yang lebih cemas dari aku? Ia memang sosok yang amat menyayangi ibu. Bukan saja pada ibunya sendiri ataupun ibuku. Ia bahkan sering mencemaskan sesuatu, saat melihat seorang ibu tua renta yang ditemuinya berjuang sendirian. Seperti pedagang kacang rebus yang ditemuinya tempo hari.

Bahkan ia memberi cuma-cuma uang dua ratus ribu kepada ibu penjual itu. Hei, uang sebesar itu, bagiku banyak. Cukup lah untuk membeli buku novel empat buah, untukku yang memiliki hobi mengumpulkan buku, batinku.

Tetapi menurut Juna, ia memberikannya karena kasihan pada ibu itu. Meski telah renta masih berjualan. Dan barang yang dijualnya tak seberapa.

"Lalu kemana anak-anaknya? Mengapa membiarkan ibunya berjualan? Bukankah anaknya bisa memberinya nafkah?" tanyaku.

"Aku memberikannya ikhlas, Dys. Nggak perlu ada pertanyaan untuk memberikan sesuatu." jawabnya sambil menyentuh hidungku gemas.

Akhirnya aku hanya terdiam. Juna memang selalu begitu. Anganku mengembara mengingatnya.

"Hei, mengapa sih kamu melamun. Baiklah, kita segera ke rumah ibu, ya?"

"Jauh Juna, butuh waktu satu jam untuk ke sana."

"Tak apa. Toh, kita punya waktu. Ini hari Minggu. Kita tidak sedang bekerja. Nanti menyesal loh kamu. Ibu itu yang sudah merawatmu sejak kecil. Sabda ibu itu manjur sekali. Sekalian nanti kamu minta restu pada ibu, agar kita cepat menikah." katanya sambil tertawa lebar.

Duh, ia selalu begitu. Mendesakku agar cepat segera menerima pinangannya. Ia tak sabar agar kami cepat menikah.

Tetapi aku membutuhkan waktu. Tak bisa secepat membalikkan tangan. Kenangan itu... Ah, entahlah. Aku masih dihantui oleh kenangan, yang tak bisa terhapus secepat angin. Sulit bagiku.

Lalu aku dan Juna mengunjungi ibu saat itu juga. Juna memang selalu baik padaku. Mengantarku menemui ibu, meski jauh dari tempat kosku.

***

Ibu baik-baik saja. Ibu hanya kebingungan. Kak Reva mengadu pada ibu. Bahwa ia sedang bertengkar dengan suaminya. Sambil menangis dan membawa baby Irfan. Tangisannya membuatku ngilu. Mengapa dulu ia tak memikirkan lebih dahulu saat menerima pinangan kak Hamdi? 

Padahal sejauh yang kutahu, ia mengalami masa pacaran dua tahun. Waktu yang cukup untuk mengenal pasangan. Apakah dulu ia terbuai dengan kebaikan kak Hamdi yang tampan itu? Begitukah cinta? Membutakan segalanya? Inilah salah satu yang menyebabkanku berpikir panjang untuk segera menikah.

Lalu aku mencoba membandingkannya dengan Juna. Sosok kekasihku yang baru setengah tahun berjalan denganku. Juna tidak memiliki wajah yang tampan. Standar. Tetapi hatinya baik selembut sutra. Kadang aku berpikir, jangan-jangan ia itu jelmaan malaikat. 

Tetapi lalu aku mentertawakan diri sendiri dan mengatakan dalam hati bahwa aku terlalu naif. "Kau belum tahu sifat asli Juna, kan?" tanyaku pada diriku sendiri.

Ya, ya. Juna mengenalku ketika bertemu di sebuah acara pesta rakyat. Pameran tentang barang-barang furniture tempatku bekerja. Saat itu ia hanya iseng datang ke tempat pameran, kemudian mengenalku. Katanya, ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia yakin, bahwa aku adalah calon mempelainya.

Aku tak mempercayainya. Bagaimana bisa? Cinta pada pandangan pertama? Hanya ada di sebuah cerita mungkin. Tetapi ia mampu meyakinkanku. Hingga  aku mau menjadi kekasihnya. Butuh dua bulan lamanya, pendekatan Juna padaku. 

Hingga akhirnya aku tunduk pada cintanya. Tak salah, ia begitu baik. Sifat baiknya itu yang kadang membuatku mati kutu. Tetapi sih, sebenarnya ia baik pada semua orang.

Diusiaku yang mendekati tiga puluh tahun, amat mencemaskan ibu. Ada desakan ibu agar aku segera menerima pinangan Juna.

"Apa yang kau tunggu, Dys? Aku rasa Juna serius padamu dan tak main-main."

"Ibu mengerti aku, bukan? Kenangan itu, bu. Membuatku masih menimbang rasa."

"Lupakan kenangan itu. Raih bahagiamu, nak." kata ibu lembut.

Kata-kata ibu mengiang di telingaku. "Lupakan kenangan itu. Raih bahagiamu." Oh, ibu. Tak tahukah bagaimana rasanya kenangan itu membuat hatiku tersayat sembilu? Nyeri itu terasa hingga sekarang. Kenangan itu masih tampak di pelupuk mata. Meski tersamar-samar oleh kebaikan Juna.

Tetapi, kenangan buruk yang menimpaku empat tahun lalu sangat membekas. Bagaimana tidak, Ray pergi selamanya tepat di hari menjelang kami akan menikah. Kecelakaan yang merenggut kebahagiaan kami, juga membawa serta hatiku. Ray yang aku cintai dan hampir menikah, meninggalkanku tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan.

Mungkin sudah takdirku. Tetapi aku belum mampu menerimanya. Setiap ada yang ingin mendekatiku, selalu teringat Ray. Bayangan wajahnya, kebaikannya nyaris tak pernah hilang dari pelupuk mata. Hingga Juna mampu menyamarkannya. Tapi tidak sepenuhnya.

***

Hari ini bayangan Ray datang lagi dalam mimpiku. Ia tersenyum lembut. Tetapi, mengapa ia seperti membenciku? Apakah karena Juna? Apakah ia tak rela jika aku menjadi kekasihnya? Bukankah kehidupan harus berjalan? Dan kenangan yang tak bisa kuraih, apakah aku harus mempertahankannya? Aku bingung. Gamang.

Sore hari ketika pulang kerja aku menemui Juna. Aku katakan padanya bahwa aku tak mampu meneruskan cinta ini dengannya. Dia terlalu baik dan aku tak mampu menyakiti hatinya terlalu dalam, jika cinta ini diteruskan.

Tentu saja Juna marah padaku dan bertanya mengapa. Aku tak mampu menjawabnya dan pergi begitu saja meninggalkannya dalam kebingungan.

Sudah satu minggu, aku tak mau menemui Juna. Ia berkunjung ke tempat kos, juga menelponku. Aku benar-benar menutup akses darinya.

***

Suara debur ombak yang memecah karang terdengar keras di telingaku. Tetapi ini bagai nyanyian yang mampu menghilangkan rasa gundahku. Kesunyian hati tanpa cinta, sungguh telah merubah hatiku menjadi sedikit keras. Aku berharap angin sepoi lautan, bisa melembutkannya.

"O, jadi kamu ke sini ya, kalau lagi menghindar dariku?"

Sebuah suara mengagetkanku.

"Juna? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?"

"Sudah, tidak usah bertanya bagaimana aku tahu kamu ada di sini." katanya sambil mendekat ke arahku dan duduk di sampingku. Hamparan pasir putih sebagai tempat duduk dan pohon waru berbentuk melengkung bisa menjadi peneduh dari sengatan matahari.

"Gladys, aku memang tidak sempurna. Tetapi aku mencoba sempurna untukmu. Aku tahu semua tentangmu. Juga tentang Ray." lanjutnya.

Aku menengok ke arahnya. Kaget. Bagaimana ia tahu? Aku tak pernah cerita padanya.

"Heran ya? Kamu pernah mendengar sebuah teori bahwa jika ingin meraih hati seorang gadis, dekati saja ibunya."

"Jadi? Ibu yang bercerita? Juna, aku..."

"Ssst... sudah. Tak usah diungkit. Kamu tak perlu bercerita. Aku mengerti."

Lalu Juna mengambil sesuatu dari sakunya.

"Aku ingin memberikan sesuatu padamu."

"Apa?"

Ia mengambil tanganku dan memberikanku sesuatu di telapak tanganku.

"Sebuah kerang? Yah... aku kira cincin, Juna." kataku sambil tergelak. Ia juga ikut tergelak. Lalu aku mengatakan bahwa aku hanya bercanda.

"Kok kamu matre gitu, sih? Hahaha, tetapi tentu saja aku juga bercanda Gladys. Karena sesungguhnya yang ingin aku berikan padamu adalah ini."

Sebuah cincin ia sematkan di jari manisku sebelah kiri.

"Gladys, maukah kau menikah denganku?"

Aku hanya tersenyum tipis. Tetapi pipiku terasa hangat. Pasti memerah. Kali ini aku tak bisa menghindar darimu, Juna. Hanya kau yang bisa menghapus kenangan sedihku. Kataku dalam hati. Cincin itu kupandangi. 

"Thanks, Juna." jawabku. Tak terasa buliran air mata mengalir pelan. 

Debur ombak berkali-kali terdengar menerjang karang. Seolah mendengar kata hatiku. Juna bagiku adalah seorang yang mirip malaikat. Atau jangan-jangan ia adalah malaikat? (WS 1/2/19).

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun