Cahaya bulan yang beberapa hari lagi membulat sempurna, menerpa wajahnya yang tirus. Sebatang rokok terselip di antara kedua bibirnya. Ia memang sedikit membandel. Seharusnya ia sudah tak diperbolehkan untuk merokok. Alasan kesehatan. Batuk yang tak kunjung berhenti selama berbulan-bulan, menjadikan ia sedikit kurus dan bermuka tirus.
Ia seperti dalam kekosongan. Membuatnya seakan-akan menghuni alam kesendirian. Di teras yang memiliki desain sedikit eksentrik, ia tenang. Dalam ruangan ini, jiwanya menyatu. Ia yang menata seluruhnya. Jiwa seni yang mengalir dalam tubuhnya, ia lampiaskan di sana. Selain kegemarannya mencandai keyboard dengan jarinya. Bagai memainkan alunan musik dengan jajaran huruf-huruf dalam layar.
Sejak kejadian satu tahu lalu, ia limbung. Meninggalkan Maya yang hendak dinikahinya, karena ia merasa tidak mampu. Rasa bersalah selalu menghantui. Meskipun Maya masih rajin mengunjunginya. Tetapi ia tetap belum bisa menata hatinya untuk berani kembali melamarnya.
"Ayah, tante Maya itu perempuan terbaik sedunia. Mengapa Ayah menyia-nyiakannya?" tanya Kinan anak semata wayangnya di suatu hari. Kinan, sekarang telah dimiliki Dananjaya dan Aurora. Ia hanya bisa membuang nafas pelan, pertanda bahwa ia belum siap menjawab pertanyaan itu.
"Kinan, suatu hari nanti. Pasti ayah akan melamarnya. Ayah belum berani untuk saat ini."
"Karena mama? Mama pasti merestui, ayah. Bahkan Kinan pernah mimpi bertemu mama. Ia tampak bahagia di sana."
Ia hanya senyum simpul mendengar kata Kinan.
"Bagaimana kabarnya Aurora cucu Ayah? Ayah kangen padanya." tanyanya.
Sengaja ia membelokkan arah cerita, saat Kinan mulai membahas tentang Maya. Lelaki tengah baya itu seperti menghindar. Dan pembicaraan tentang itu, seperti biasa, akan menguap dengan sendirinya.
***
Keheningan adalah miliknya. Bertandang setiap hari dan ia menemaninya tanpa berusaha untuk melepasnya. Maya dan Kinan hanya bisa berusaha agar keheningan menjadi sedikit riuh dan berbunyi merdu. Kecerewetan Kinan dengan kalimat yang bertubi-tubi menyerupai bujukan, agar ayahnya tak larut dalam kesunyian.
Sedangkan Maya yang begitu mencintainya, tak patah arang meskipun ia mematahkan hati berkali-kali. Maya mengerti, bahwa di dalam hati yang paling dalam, ia juga mencintai. Maya dapat melihat dari sorot mata yang hitam. "Aji, sesungguhnya hatimu milikku," serunya dalam hati.
Maya sering sedikit gemas dengan perasaan hati Aji. Sering berbelok arah, meski kembali dan melabuhkan hati padanya. Tak apa. Selama Aji tak lepas dari pandangan matanya. Aji adalah miliknya.
"Maafkan Ayah, tante. Ayah memang suka galau. Biasa lah, seperti remaja yang sedang jatuh cinta," goda Kinan pada ayahnya saat mereka bertemu bertiga. Terkadang berlima bersama Dananjaya suami Kinan dan Aurora. Ayahnya hanya tersenyum seperti biasa. Tak menolak, juga tak menanggapinya. Hanya datar.
***
Butuh keberanian berton-ton untuk membicarakan kembali keseriusan hati. Ia merasa masih terpaku pada Dena. Istrinya, yang lebih dulu meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Meskipun sesungguhnya ia menyayangi Maya, tetapi ia selalu berdentum pada kegundahan. Ia tak sanggup, jika Maya tiba-tiba meninggalkannya. Ia tak ingin kehilangan, untuk kedua kalinya. Bahkan pada saat Maya belum dimilikinya utuh.
"Aji, apa aku bagimu? Apakah selama ini sikapku yang selalu condong padamu tak cukup?"
Ia memandang Maya. Lama. Kemudian menarik nafas panjang.
"Mengapa?"
"Seharusnya aku yang bertanya. Mengapa Aji?"
"Kau tahu Maya, aku sudah tak muda lagi. Apakah kau masih mau padaku?"
Maya menatap syahdu wajahnya. Dalam hatinya mengatakan, "Kamu, lelaki yang aku cintai, tetapi sekaligus mematahkan hatiku berkali-kali. Cukup. Aku sudah tak sanggup."
Kemudian Maya berlalu dari Aji.
"Aku pulang. Maafkan aku selama ini."
Dalam hitungan detik, Maya berharap bahwa ia akan memanggilnya dan mengatakan bahwa ia sangat mencintainya. Dua menit berlalu. Maya telah sampai di pintu keluar rumahnya.
Tetap tak ada suara.
Di menit kelima. Tiba-tiba suara serak memanggilnya.
"Maya, tunggu! Aku..."
Maya menunggu kata selanjutnya, dari mulut lelaki yang dicintainya.
"Aku tak mau kehilanganmu."
Akhirnya ia berkata juga.
"Maksudnya?"
"Maukah kau menikah denganku?"
Lalu, terbitlah senyuman selebar lengkungan bulan sabit.
Maya mendekat pada lelaki tengah baya, dengan rambut yang mulai memutih. Aji. Cahaya wajahnya memancar cerah.Â
"Akhirnya aku bisa memilikimu." bisiknya pelan. Seperti tak percaya tentang apa yang baru saja terjadi.
Maya tak akan membuat arah kesempatan berbelok kembali. Arah angin perasaan Aji, mudah sekali berubah. Maya harus menangkapnya, kemudian mengikatnya agar tak lepas.
***
Selanjutnya, setiap pertengahan bulan Mei, akan ada sebuah seremonial sederhana, yang sengaja dilakukan olehnya dan Maya. Tahun ini memasuki angka ke-empat.
Hari-hari bahagia, tak hanya bersama Kinan. Tetapi ada Maya melengkapi. Aurora cucunya semakin besar daan pintar. Sedangkan Kinan dengan perut buncit berisi adik Aurora. Semuanya tampak bahagia dan nyaris sempurna. Dananjaya menantunya memeluk Kinan dengan penuh kasih sayang.
Hari ini, jadwal launching buku miliknya. Sudah empat belas buku yang dihasilkan.
Ia adalah penulis terkenal.
***
Semarang, 15 Mei 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H