Sedangkan Maya yang begitu mencintainya, tak patah arang meskipun ia mematahkan hati berkali-kali. Maya mengerti, bahwa di dalam hati yang paling dalam, ia juga mencintai. Maya dapat melihat dari sorot mata yang hitam. "Aji, sesungguhnya hatimu milikku," serunya dalam hati.
Maya sering sedikit gemas dengan perasaan hati Aji. Sering berbelok arah, meski kembali dan melabuhkan hati padanya. Tak apa. Selama Aji tak lepas dari pandangan matanya. Aji adalah miliknya.
"Maafkan Ayah, tante. Ayah memang suka galau. Biasa lah, seperti remaja yang sedang jatuh cinta," goda Kinan pada ayahnya saat mereka bertemu bertiga. Terkadang berlima bersama Dananjaya suami Kinan dan Aurora. Ayahnya hanya tersenyum seperti biasa. Tak menolak, juga tak menanggapinya. Hanya datar.
***
Butuh keberanian berton-ton untuk membicarakan kembali keseriusan hati. Ia merasa masih terpaku pada Dena. Istrinya, yang lebih dulu meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Meskipun sesungguhnya ia menyayangi Maya, tetapi ia selalu berdentum pada kegundahan. Ia tak sanggup, jika Maya tiba-tiba meninggalkannya. Ia tak ingin kehilangan, untuk kedua kalinya. Bahkan pada saat Maya belum dimilikinya utuh.
"Aji, apa aku bagimu? Apakah selama ini sikapku yang selalu condong padamu tak cukup?"
Ia memandang Maya. Lama. Kemudian menarik nafas panjang.
"Mengapa?"
"Seharusnya aku yang bertanya. Mengapa Aji?"
"Kau tahu Maya, aku sudah tak muda lagi. Apakah kau masih mau padaku?"