Gerombolan anak seragam SMA berjumlah puluhan itu membuatku takut. Sungguh, aku takut. Mereka berteriak sambil mengacungkan senjata tajam yang ada di tangan. Mereka tampak tak bersahabat. Entah apa yang ada di benak mereka. Tetapi yang jelas, mereka kalap dan seperti lupa diri. Mereka seperti siap hendak berperang. Tapi, perang apa? Apa yang dibelanya? Solidaritas?
***
Kidung Lanang. Itu nama yang diberikan oleh ayah ibu untukku. Sebuah nama yang memiliki keindahan. Seperti harapan yang diinginkan oleh mereka. Tetapi nama itu beringsut surut. Tak ada lagi keindahan. Kini tak ubahnya, sebuah kesenduan. Aku menjadi anak yang sangat bengal.
Memang selama ini aku mencoba menjadi anak yang baik. Berteman dengan anak-anak yang menurutku baik dan memiliki solidaritas tinggi. Mereka ringan tangan saat temannya menghadapi masalah dan siap dengan tulus membantu.
Mereka tahu, bahwa aku adalah anak lemah lembut meskipun anak laki-laki. Bahkan mereka menjaga diriku agar tak terluka. Apabila ada yang mencoba membully dengan memaksaku memberi uang. Jika aku tak memberinya, aku akan dilukai. Mereka dengan sigap membela.
"Kidung, kamu nggak usah ikut-ikutan kami melakukan ini. Kamu anak baik. Jangan sampai seperti kami." kata Puguh. Ia adalah anak yang paling memiliki nyali paaling besar di antara teman lainnya. Ia mampu menegak sebotol minuman keras, meskipun berakhir mabok.
Sebaik-baik mereka, aku akhirnya terpengaruh juga. Awalnya sedikit, aku mencoba minuman keras. Lama-lama terbiasa. Dan mereka mengacungi jempol buatku.
"Hebat kamu coy! Salut!"
Pujian mereka membuatku merasa melambung, bangga dan lebih berarti di antara kelompok. Hingga mereka memberi julukan padaku Obeng. Nama pemberian dari mereka.
***
Jika kemudian aku memastikan diri untuk bergabung dengan gerombolan Puguh, itu karena ia membuatku percaya diri sebagai lelaki. Ia mengangkatku menjadi tangan kanannya. Aku yang dipercaya olehnya dengan berbagai urusan. Bahkan kadang menitipkan motornya di rumahku. Motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.