Kadang-kadang aku ngiler melihatnya dan ingin memiliki. Tetapi apa daya, ayahku tak akan mampu membelikannya.
Hanya memang saat motor Puguh dititipkan ke rumah, aku sering mencobanya. Membayangkan, bahwa itu milikku.
Aku mulai merubah penampilan agak sedikit urakan. Keren juga ternyata. Celana sobek di dengkul. Kaos lusuh. Meskipun aku belum berani memakainya saat di rumah. Tetapi saat aku berkumpul dengan teman kelompokku, baru aku mengganti baju yang kupakai dari rumah dengan baju urakan.
Meskipun ayah adalah orang tak mampu, tetapi ia berusaha menyekolahkan aku hingga sekarang. Hanya seorang pesuruh di salah satu rumah makan dekat rumah sebagai tukang kebersihan.
Jika sedang kumat baik, maka aku merasa amat kasihan pada ayah. Mencari nafkah sekuat tenaga demi anaknya.
Tetapi gerombolan Puguh mampu menghipnotis. Aku melupakan ayah. Juga ibu yang menyayangiku.
***
Pintu itu terbuka. Klek! Aku mampu membukanya. Dan masuk ke rumah. Entah milik siapa. Keahlianku di bidang obeng.
"Cepat, bawa barang apa saja yang ada di sana. Lima menit, Beng!"
Dengan nafas terengah, aku berhasil keluar rumah yang sepi ditinggal pemiliknya. Puguh dan Beni menungguku di atas motor yang tetap menyala. Beberapa barang berhasil aku bawa. Sebuah laptop dan dua cincin emas.
Perasaanku tak karuan. Ini kali pertama aku melakukannya. Sepertinya aku tak ingin lagi melakukannya. Cukup. Sekali ini saja.
"Puguh, setelah ini aku menyerah. Aku tak mau lagi. Aku takut."