Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Takkan Sempurna, Jika Itu Tanpamu

30 Oktober 2018   14:49 Diperbarui: 30 Oktober 2018   14:57 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

"Aku akan pergi besok," katamu serak, seperti menahan beban kemarau sepanjang tahun. Aku hanya diam, memandangmu dengan tatapan mata sayu. Lalu hening.  Aku tahu, kamu sebenarnya berat untuk meninggalkanku, terbang tanpa diriku. Tapi apapun itu, kepak sayapmu tak akan bisa berhenti melaju dan akan tetap melaju.

"Aku tak akan lama. Seandainya waktu bisa diputar ulang, aku akan memilih tinggal."

"Pergilah."

"Aku tak akan lama, aku janji." Katamu, mengulang kata yang sama untuk meyakinkanku.

"Iya, aku tahu." jawabku pelan. Aku menahan sesuatu yang amat berat di dalam hati.

Menjelang kepergianmu, aku merasa segala peristiwa tiba-tiba melesat kembali. Secepat mengelibat, seperti cahaya. Hem, rasanya segala peristiwa itu terjadi baru kemarin. Semua masih mengendap di pelupuk mata.

Kemarin, saat menjelang kepergianmu, segala persiapan telah sempurna. Kamu memang tipe orang yang perfek. Segala sesuatunya harus sempurna. Berbeda denganku yang sedikit ceroboh. Tetapi kamu tak pernah marah, jika aku melakukan kesalahan yan tak kusengaja. Sepertinya, kamu memakluminya. Sering aku meruntuki diriku sendiri, mengapa aku ceroboh. Tetapi kamu menghiburku bahwa, aku terlihat sempurna di matamu. Aku hanya sedikit senyum kemudian cemberut.

Barangkali hanya kamu yang memang diperuntukkanku.

Suatu hari di sebuah taman yang redup, di tepi danau di dekat kampus. Beratap langit, di cerah hari tanpa awan sedikitpun. Bulan baru mati dan hanya bintang gemintang yang tampak. Kelap-kelipnya menyilaukan mata menembus sukma, indah bak permata.

Aku dan kamu duduk berdua, memandang langit tanpa berkedip. Mengagumi keindahan yang ada di depan mata. Jika berdekatan denganmu, ada suatu kenyamanan abadi yang tak bisa kuumpamakan dengan kata-kata. Hanya sebuah rasa, dan itu nyata. Kau tampaknya juga begitu.

"Aswini, kalau boleh aku mengumpamakan dirimu, kamu adalah bintang hatiku di langit itu. Aku akan melihatmu setiap hari dan menjagamu agar kamu tetap tampak di pelupuk mata. Tak ingin jauh darimu. Aku akan memakai sayapku, terbang secepat yang kupunya, jika kau tiba-tiba melesat jauh ke langit hingga tak tampak dariku. Aku tak akan membiarkanmu di langit sendirian. Kamu milikku." katamu pada saat itu.

Kamu memang selalu romantis. Membuatku tak bisa melupakan selalu gerak-gerikmu. Hatiku takluk padamu. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan segala kata-katamu. Ah.

Tiba-tiba di hari lain kamu mengatakan bahwa kau mendapat bea siswa dari kampus tempatmu belajar selama satu tahun ke depan. Sebenarnya berat hati kau menjalaninya. Kamu tak ingin berada jauh dariku. Ada sebuah dilema yang kau pendam. Hingga akhirnya, keluar juga kata dari dirimu. Bahwa bea siswa itu harus kau ambil, "Kesempatan tak akan datang kedua kalinya, Win." Aku mengangguk mengiyakan. "Kesempatan emas untukmu dan aku," jawabku.

Aku harus merelakan.

Kabut di matamu jelas terlihat. Tapi sorot mata kebahagiaan juga tampak setajam pisau. Kau ingin meraih cita-cita, yang sebenarnya juga untuk diriku. Demi masa depan bersama.

Kau memberiku sebuah cincin, bermata putih bercahaya. "Ini untukmu. Sebagai pertanda, bahwa aku mencintaimu dengan tulus. Pakailah. Mungkin cincin ini bisa bercerita, bahwa cinta kita akan abadi, dan dipertemukan kembali."

"Hai, Bijak. Kau hanya pergi setahun. Tak akan lama. Aku akan setia. Percayalah. Satu tahun hanya sekedip mata. Lalu kita bisa bertemu kembali." kataku menghibur.

Kau tersenyum kemudian memelukku.

"Rajin belajar ya kamu Win. Biar cepat lulus, jangan terlalu banyak kegiatan di kampus yang dirasa tak perlu.

"Iya, sayang."

"Setelah aku kembali, aku akan melamarmu."

"Sungguh?" tanyaku sambil berbinar. Kau mengerlingkan mata. Dan menggodaku, bahwa aku sudah kepengin nikah. Aku mencubitmu pelan. Dan kau pura-pura kesakitan.

Bayangan itu mengelebat kembali.

***

Uuuff... Aku menghela nafas. Kemudian memandangmu. Entah apa yang ada di pikiranmu, tapi aku merasa gengaman tanganmu semakin erat.

"Baiklah, sayapku akan pergi. Hanya sebentar, kemudian akan kembali." bisikmu pelan. Aku mengangguk. Saat itu, hujan tiba-tiba jatuh, memberikan suara yang sedikit berisik. Seperti air mataku, yang menetes deras membasahi pipi.

"Selamat jalan sayang, semoga sukses. Tuntutlah ilmu setinggi langit, aku akan selalu mendukungmu dan aku akan setia menunggumu. Hati-hatilah selama kau jauh dariku."

"Terimakasih sayang, selamat tinggal."

Hanya itu.

Tak lama, burung besi membawamu pergi. Menjauh. Ada perasaan hampa. Aku tak mengerti. Mungkin hatimu yang tertinggal di sini. Tapi aku berusaha menguasai diri. Untuk satu tahun mendatang, kita akan berpisah, kemudian akan bertemu lagi. Kamu pergi untuk mencari ilmu, bukan yang lain.

***

Tugas di kampus sedang berjubel. Apalagi harus asistensi pada dosen hari ini. Agak terlambat ke kampus, karena tadi harus ke bandara terlebih dahulu mengantar Bijaksana. Tadi kamu sempat mengirim foto di WA saat sudah berada di dalam pesawat. Aku memarahimu. Hei, matikan ponselmu. Tetapi kau hanya tersenyum dan mengatakan bahwa, "Aku sudah rindu, Win."

"Duh, baru beberapa menit jauh dariku, sudah rindu. Bagaimana nanti selama setahun? Bakalan mati beku menahan rindu," jawabku sambil menggodanya. Kau menjawab, "Biarin."

 Aneh, biasanya kau yang begitu sempurna tak akan berbuat ceroboh. Bahkan sering kau yang mengingatkanku agar tak ceroboh.

Ketika aku menuliskan untukmu, aku takkan sempurna, jika itu tanpamu, Bijak. I love you. Pesan terkirim centang satu. Artinya, kau telah mematikan ponsel. Semoga kau selamat sampai tujuan. Segera kabari aku jika sudah sampai,ya. Tulisku kembali di pesan WA.

***

Ada keributan di ruang dosen, saat aku mencari pak Ricard, dosen wali. Ingin meminta tanda tangan untuk laporan. Keributan itu terjadi dengan mata mereka yang tertuju pada sebuah layar televisi yang sedang menyala di ruang dosen.

Aku tak menemukan pak Ricard. Tetapi mataku menatap layar televisi yang telah menyita perhatian banyak orang di ruangan ini.

"Ada apa?" tanyaku pada Yuan temanku.

"Nggak tahu, aku juga baru datang. Tapi sepertinya ada kecelakaan pesawat deh."

Aku memandang layar televisi dengan acara Breaking News. Aku terkesiap. Wajahku memucat. Aku tak bisa berpikir lagi. Kemudian pandanganku kabur.

Bijaksana kekasihku, berada di pesawat itu.

Semarang, 30 Oktober 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun