"Kamu sih, jarang memperhatikan jalan. Lihatin hp terus. Memangnya ada apa sih hp kamu itu? Punya pacar baru, ya?" tanya Yufa. Wajah Rie memerah. Ia emosi. Sekejap ia marah. Bagaimana tidak marah, tadi ia tersesat dan tegang. Eh, Yufa menuduhnya yang bukan-bukan. Aku kan banyak teman di media sosial. Harus eksis di sana, kata Rie dalam hati. Â
"Ya sudah. Anterin aku pulang. Setelah itu kita putus." kata Rie.
"Loh, kok gitu? Aku kan nggak minta putus. Ya udah, terserah kamu saja. Aku capek pada sikapmu yang manja itu." sahut Yufa. Mereka putus?
***
"Bun, tunggu ya bun. Mainanku ketinggalan di kelas."
"Iya, bunda tunggu. Cepat ya sayang. Bunda tunggu di tempat parkir, ya."
"Siap, bun."
Secepat kilat anak seumuran sekolah play group masuk kembali ke ruang kelasnya. Tak lama kemudian, secepat kilat pula menemui bunda tercintanya di parkiran sepeda motor sekolah.
"Sudah? Pegangan yang kuat ya sayang." kata bundanya.
Ya, Rie sudah pintar mengendarai sepeda motor. Tidak seperti dulu. Saat masih kuliah. Mengandalkan orang lain untuk bisa sampai kemana-mana. Rie banyak belajar dari ia tersesat saat di jalan, karena ia ingin pergi sendiri dan mandiri. Ia tak lagi fokus kepada handphonenya dan keeksisannya di dunia maya. Ia lebih fokus pada dirinya sendiri.
Sejak putus dengan Yufa, ia berpikir keras. Di rumah ia minta belajar pada adik lelakinya untuk naik sepeda motor dan setir mobil. Akhirnya ia bisa. Dan iyes, kemana-mana sekarang ia bisa sendiri. Ia juga mulai belajar menghafalkan jalan. Tak melulu melihat google map. Meski, ia sudah fasih membaca peta.