***
Rie kebingungan, Â Ia tak tahu ada di lokasi mana. Apalagi ia jarang pergi sendiri. Biasanya ia tinggal membonceng. Wajahnya pias hampir menangis. Apalagi saat ia menghubungi teman-temannya, tidak ada yang bisa dihubungi.Â
Duh, kenapa sih begini? Keluhnya dalam hati. Coba tadi aku diantar Yufa, pasti semua beres, tambahnya. Tetapi ia tak mau mengeluh. Bukankah tadi ia memberanikan diri untuk pergi sendiri? Meskipun awalnya ia ragu.
Mana ia tak tahu arah angkutan umum, nomer berapa, jurusan apa. Duh. Benar-benar bikin senewen. Membaca google map? Ia tak pandai membaca peta. Akhirnya Rie putus asa. Satu-satunya jalan yang bisa membantunya, adalah menelpon Yufa. Antara gengsi dan malu juga butuh, ia menelponnya.
"Yufa, tolongin aku, ya. Aku tersesat. Aku tak tahu arah jalan pulang." kata Rie sambil terisak hampir menangis.
Demi mendengar suara kekasihnya, Yufa hampir meloncat dari tempat duduknya. Ia takut Rie kenapa-napa. Meskipun ia tadi hampir tergelak, saat Rie mengatakan tersesat tak tahu arah jalan pulang. Seperti syair lagu saja.
Saat ia menemukan Rie dalam keadaan bingung, hampir saja ia cemas. Tetapi hanya sesaat, karena setelahnya Yufa malah merasa geli dan ingin marah sekaligus. Bagaimana tidak? Ia tahu sifat kekasihnya yang jarang menghafalkan jalan.Â
Jika sedang pergi dengannya, Rie hanya diam dan tak memperhatikan jalan. Bahkan sambil memegang handphone kesayangannya. Memangnya yang menjadi kekasih Rie itu handphone atau Yufa sih?
"Yufa, makasih ya, kamu akhirnya bisa menemukanku di sini. Aku hampir putus asa tadi. Untung saja kamu datang."
"Biasa saja, keles Rie. Ini kan jalan yang biasa kita lewati."
"Oya?" tanya Rie sambil terbengong.