Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zang dan Fe, Menaklukkan Dunia dalam Cinta

2 Oktober 2018   17:03 Diperbarui: 2 Oktober 2018   19:41 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila cinta saling menguatkan, itu Zang dan Fe. Tetapi cinta kadang membuat sakit hati, saat kekasih yang disayangi mengabaikan dirinya. Meskipun nyatanya, itu hanya pemikirannya saja. Kekasih bukan mengabaikan. Tetapi, ia terlalu sayang. Zang sangat sayang pada Fe.

Lapangan Basket

Siapa yang tak kenal dengan Zang. Kapten basket. Yang selalu dikerumuni gadis-gadis cantik. Tetapi ia tak pernah terlalu memperhatikan mereka. Fokusnya hanya pada basket. Basket adalah dunianya.

"Maaf," kata seseorang. Zang tak sengaja tertabrak olehnya. Lalu saat itu wajah Zang begitu dekat dengan gadis yang menabraknya. Zang terpana. O, mengapa dia begitu cantik? Pekiknya dalam hati.

"Namamu Nana?"

"Bukan lah. Aku Fe."

"Oh, maaf Fe. Namaku Zang."

Tetapi, siapapun tahu bahwa itu hanya siasat Zang agar bisa tahu nama gadis yang telah menabraknya. Itulah awal pertemuan Zang dan Fe yang kemudian disusul dengan pertemuan-pertemuan lanjutan.

Lalu kisahpun berlanjut.

"Kamu mau kan jadi kekasihku, Fe?"

Fe mengangguk dan hari selanjutnya adalah hari yang indah, layaknya mereka yang sedang dilanda asmara. Hanya ada kamu, begitu katanya.

***

Zang, suatu hari, di suatu tempat.

Selang pernafasan menempel di hidung Zang. Ia tertidur lelap. Layar berkedip di sampingnya memberikan suara yang syahdu. Bip... bip... bip... Nafas teratur menandakan bahwa Zang masih berada di sini, meski jiwanya entah kemana. Hanya ada perawat yang sesekali menengoknya. Memberikan obat yang disuntikkan melalui selang infus. Lalu, kemudian perawat itu pergi meninggalkan Zang seorang diri.

Tak pernah tampak orang lain yang menengoknya. Baru satu hari Zang berada di tempat ini. Ia yang datang saat badannya masih kuat untuk menopang badannya. Seperti hari-hari yang lalu sebelum hari kemarin, ia akan datang sendiri ke tempat ini. Setelah beberapa hari berlalu, ia akan sehat kembali dan pulang ke rumah.

Begitu juga hari ini. Tetapi tampaknya hari ini merupakan kesakitan yang agak mencemaskan. Nafas Zang agak tersengal kemarin. Meskipun hari ini agak membaik. Tetapi, entahlah. Ia memasrahkan segalanya kepada keputusan-Nya. Badan ini, jiwa ini, hanya titipan. Semua adalah milik-Nya.

Ia tak pernah memberitahukan siapapun tentang sakitnya. Juga kepada kekasihnya. Ia hanya bilang, bahwa ia akan pergi sebentar beberapa hari dan meminta izin untuk tak bisa datang berkunjung. Dan kekasihnya hanya bisa memakluminya tanpa tahu alasan yang sebenarnya. Meski segala tanda tanya hadir di benaknya, tetapi ia tak pernah menanyakannya. Ia percaya pada Zang. Bahwa Zang adalah kekasih yang baik.

***

Fe kekasih Zang. Di tempat yang berbeda dari tempat Zang.

Aku memandang rembulan yang membundar. Aku membayangkan dirimu, pula sedang memandang rembulan yang sama. Di tempatmu berada. Barangkali memang tak ada alasan untuk membencimu. Aku tak tahu, alasan apa yang harus kupakai untuk mengatakan bahwa aku tak lagi bisa dekat denganmu.

Kamu terlalu sempurna untukku, sedang aku tidak. Setidaknya itu menurutku. Aku bukanlah seorang yang sempurna, yang bisa melengkapimu. Sebongkah cemburu selalu menyertaiku, sedang dirimu selalu meyakinkan aku untuk percaya padamu akan cintamu.

Bukankah luka itu, akan beranjak pergi seiring waktu, yang membalut luka itu dengan baik. Tapi aku mengatakan tak mampu. Baik, baik, aku akan menunggu hingga mampu, meski sakit terlanjur mendera dengan sangat pelan dan pedih karena uluran waktu berjalan pelan. Lalu apa sebab tak jua berkata, aku ingin bersamamu selamanya? Aku menunggu kata itu darimu.

Betapa ini suatu kebetulan, keindahan yang diagungkan olehmu berangsur menyurut. Kamu akan terus berjalan, sementara aku diam saja. Bagai sebuah batu yang teronggok di sebuah tempat yang indah meski perih di rasa. Di dera sebuah dingin dan angin yang menerpa, tak mampu menggoyahkan tempatku berada.

Tak terusik perasaan apapun yang kamu bangun dengan sepotong hati yang tersisa. Makin membumbung rasa yang pedih ini. Hembusan katamu, yang mengatakan aku cinta kamu, tapi tak pernah bersemanyam lama, hanya sebentar dan pergi.

Berhentilah sejenak, aku memohon padamu, berhentilah sejenak, agar aku bisa merapatkan hati, lalu mengatakan pula, kamu adalah belahan jiwa. Aku tak akan berpaling darimu. Hanya kamu. Adakah waktu yang tak berbatas untukku, untuk merasa bahagia, saat aku jatuh cinta, saat aku terbang jauh ke sana, selalu denganmu. Hanya saja, itu tak pernah ada.

O, tak sanggup, aku tak sanggup.

Kecuali kepada embun malam, aku telah terlanjur membencinya. Aku terlanjur membenci kebahagianmu. Aku terlanjur membenci kebinasaan larutnya cintamu, sedang aku sulit melupakanmu. O, betapa aku tak sanggup. Apa arti keabadian bagi kita? Terlalu dalam rahasianya. Cinta, sekali menyala, begitu terbentang menuju binasa. O, aku tak sanggup, tak sanggup. Aku tak sanggup melukaimu terlalu dalam. Kamu begitu sempurna, sedang aku tidak.

***

Fe, benar-benar tak habis pikir. Mengapa Zang tak pernah bilang bahwa ia sakit? Mengapa? Padahal selama ini ia menyangka, Zang berubah. Tak mencintainya lagi seperti dulu. Ia salah. Zang menutupi sakitnya demi cintanya pada Fe.

Dengan hati cemas dan gundah, Fe segera menuju rumah sakit dimana Zang dirawat. Ia naik sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang ia mampu.

***

Ciiiiitt... Brakkk....

Kemudian banyak orang berkerumun. Beberapa orang mendekat.

"Hei, dia masih bernafas."

"Oh, tapi, entahlah."

"Apakah di sini ada dokter?"

"Segera saja panggil ambulan."

"Kasihan. Cantik sekali dia."

"Namanya siapa?"

"Fe Wijayanto."

"Duh. Mengapa ia naik motor sendiri dan tak hati-hati. Mungkin ia lelah. Sehingga harus menabrak pohon."

Nguiiiing... nguiiing.... mobil polisi datang. Polisi segera mengamankan area dan memberikan tanda.

Fe melihat dirinya sendiri dari kejauhan.

Dan, hei itu aku! Entah mengapa aku bisa melihat diriku sendiri yang tergeletak. Agak sebel. Karena banyak orang yang berkerumun, tetapi mereka tak segera menolongku. Hanya melihatku saja. Aduh, mengapa aku menjadi ringan seperti ini? Bukankah tadi aku ingin menemui kekasihku? Zang, dia sedang terbaring sakit dan aku tak pernah mengetahuinya selama ini.

Zang, kau curang. Mengapa tak bilang dari dulu bahwa kau sakit? Bahkan kau menutup itu dariku? Apakah kau tak menginginkan aku terluka? Zang, aku mencintaimu. Tunggu aku. Aku akan menjengukmu. Memelukmu erat. Tak akan kulepas lagi.


***

Semarang, 2 Oktober 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun