Betapa ini suatu kebetulan, keindahan yang diagungkan olehmu berangsur menyurut. Kamu akan terus berjalan, sementara aku diam saja. Bagai sebuah batu yang teronggok di sebuah tempat yang indah meski perih di rasa. Di dera sebuah dingin dan angin yang menerpa, tak mampu menggoyahkan tempatku berada.
Tak terusik perasaan apapun yang kamu bangun dengan sepotong hati yang tersisa. Makin membumbung rasa yang pedih ini. Hembusan katamu, yang mengatakan aku cinta kamu, tapi tak pernah bersemanyam lama, hanya sebentar dan pergi.
Berhentilah sejenak, aku memohon padamu, berhentilah sejenak, agar aku bisa merapatkan hati, lalu mengatakan pula, kamu adalah belahan jiwa. Aku tak akan berpaling darimu. Hanya kamu. Adakah waktu yang tak berbatas untukku, untuk merasa bahagia, saat aku jatuh cinta, saat aku terbang jauh ke sana, selalu denganmu. Hanya saja, itu tak pernah ada.
O, tak sanggup, aku tak sanggup.
Kecuali kepada embun malam, aku telah terlanjur membencinya. Aku terlanjur membenci kebahagianmu. Aku terlanjur membenci kebinasaan larutnya cintamu, sedang aku sulit melupakanmu. O, betapa aku tak sanggup. Apa arti keabadian bagi kita? Terlalu dalam rahasianya. Cinta, sekali menyala, begitu terbentang menuju binasa. O, aku tak sanggup, tak sanggup. Aku tak sanggup melukaimu terlalu dalam. Kamu begitu sempurna, sedang aku tidak.
***
Fe, benar-benar tak habis pikir. Mengapa Zang tak pernah bilang bahwa ia sakit? Mengapa? Padahal selama ini ia menyangka, Zang berubah. Tak mencintainya lagi seperti dulu. Ia salah. Zang menutupi sakitnya demi cintanya pada Fe.
Dengan hati cemas dan gundah, Fe segera menuju rumah sakit dimana Zang dirawat. Ia naik sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang ia mampu.
***
Ciiiiitt... Brakkk....
Kemudian banyak orang berkerumun. Beberapa orang mendekat.