***
Zang, suatu hari, di suatu tempat.
Selang pernafasan menempel di hidung Zang. Ia tertidur lelap. Layar berkedip di sampingnya memberikan suara yang syahdu. Bip... bip... bip... Nafas teratur menandakan bahwa Zang masih berada di sini, meski jiwanya entah kemana. Hanya ada perawat yang sesekali menengoknya. Memberikan obat yang disuntikkan melalui selang infus. Lalu, kemudian perawat itu pergi meninggalkan Zang seorang diri.
Tak pernah tampak orang lain yang menengoknya. Baru satu hari Zang berada di tempat ini. Ia yang datang saat badannya masih kuat untuk menopang badannya. Seperti hari-hari yang lalu sebelum hari kemarin, ia akan datang sendiri ke tempat ini. Setelah beberapa hari berlalu, ia akan sehat kembali dan pulang ke rumah.
Begitu juga hari ini. Tetapi tampaknya hari ini merupakan kesakitan yang agak mencemaskan. Nafas Zang agak tersengal kemarin. Meskipun hari ini agak membaik. Tetapi, entahlah. Ia memasrahkan segalanya kepada keputusan-Nya. Badan ini, jiwa ini, hanya titipan. Semua adalah milik-Nya.
Ia tak pernah memberitahukan siapapun tentang sakitnya. Juga kepada kekasihnya. Ia hanya bilang, bahwa ia akan pergi sebentar beberapa hari dan meminta izin untuk tak bisa datang berkunjung. Dan kekasihnya hanya bisa memakluminya tanpa tahu alasan yang sebenarnya. Meski segala tanda tanya hadir di benaknya, tetapi ia tak pernah menanyakannya. Ia percaya pada Zang. Bahwa Zang adalah kekasih yang baik.
***
Fe kekasih Zang. Di tempat yang berbeda dari tempat Zang.
Aku memandang rembulan yang membundar. Aku membayangkan dirimu, pula sedang memandang rembulan yang sama. Di tempatmu berada. Barangkali memang tak ada alasan untuk membencimu. Aku tak tahu, alasan apa yang harus kupakai untuk mengatakan bahwa aku tak lagi bisa dekat denganmu.
Kamu terlalu sempurna untukku, sedang aku tidak. Setidaknya itu menurutku. Aku bukanlah seorang yang sempurna, yang bisa melengkapimu. Sebongkah cemburu selalu menyertaiku, sedang dirimu selalu meyakinkan aku untuk percaya padamu akan cintamu.
Bukankah luka itu, akan beranjak pergi seiring waktu, yang membalut luka itu dengan baik. Tapi aku mengatakan tak mampu. Baik, baik, aku akan menunggu hingga mampu, meski sakit terlanjur mendera dengan sangat pelan dan pedih karena uluran waktu berjalan pelan. Lalu apa sebab tak jua berkata, aku ingin bersamamu selamanya? Aku menunggu kata itu darimu.