Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bunga-bunga Bermekaran, Apa Kabarmu Hari Ini?

27 September 2018   15:36 Diperbarui: 27 September 2018   18:59 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pantai berpasir hitam itu basah oleh ombak yang besar dari arah lautan. Tak lama kemudian, pasir hitam itu cepat mengering oleh panasnya terik mentari yang menyinar penuh, bagai melukai kulit yang memerih. Lalu, pasir hitam itu kembali basah oleh air laut yang tersapu oleh ombak, yang menuju daratan. Seiring ombak pergi kembali ke lautan, pasir itu mengering kembali. Begitu terus menerus tanpa pernah lelah. Ia selalu konsisten pada alam.

Pantai yang menempati lautan sebelah selatan pulau Jawa ini memang memberikan ombak yang besar. Gulungan ombak yang menderu, terkadang mematikan pendengaran dari kejauhan, karena termakan oleh derunya. Bahkan, gulungan ombak itu, seperti menelan segala kegundahan hati Putik.

Dari kejauhan tampak ia memegang-megang rambut panjangnya, yang tersibak oleh angin dari arah pantai. Ia kemudian menggulung rambutnya menjadi sebuah cempolan di atas kepalanya. Ia lupa membawa topi. Panas yang terik, seperti ingin menghisap wajah putihnya. Seketika, wajahnya yang putih itu menjadi memerah, bagai terluka dari dalam kulitnya. Ia tak peduli. Bahkan mungkin tak merasakan kesakitannya.

Kegundahan hati yang dirasakan lebih perih dari kesakitan kulit yang terbakar mentari. Meski ia berusaha untuk melupakan bayangan yang membuat perih hatinya, tetapi tetap saja tampak ada kesedihan di raut wajahnya.

Ia pergi bersama teman-teman satu kantornya, yang ingin refreshing setelah lama berkutat dengan pekerjaan. Lima orang temannya itu, telah lama menjadi sahabat Putik. Mereka mengerti kegundahaan hatinya dan mau memahami. Mereka membiarkan Putik melampiaskan kegundahan hati pada lautan.

Meski dari kejauhan, mereka tampak mencemaskan Putik yang terlalu dekat dengan lautan. Takut terbawa ombak. Lalu siapa yang akan menerima tampungan cerita dari kecerewetan lima temannya kalau bukan Putik. Meskipun Putik suka galau dan cepat melow, tetapi hatinya lembut dan mudah tersentuh. Ia tak segan membantu temannya yang sedang membutuhkan. Dalam segala hal.

***

"Putik, sepertinya kita tak bisa meneruskan langkah bersama. Aku rasa, kau semakin menjauh dariku."

"Mengapa? Bukankah kau sudah berjanji padaku akan menyamakan langkah ini?"

"Aku tak mampu, Putik. Kau terlalu baik untukku."

"Dari mananya aku terlalu baik untukmu? Kau mengada-ada. Mengapa tak bilang dari dulu? Mengapa harus sekarang?" Putik menghela nafas panjang. Ia menyesali sikap kekasihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun