"Kau yakin dengan keputusanmu?"
"Kau sudah bisa menebaknya. Aku hanya pergi sesaat. Tak lebih. Jika hatiku telah tenang, percayalah, aku akan kembali padamu."
"Tetapi, mengapa harus begitu, Pandu? Bukankah kau mengatakan bahwa kau sangat mencintaiku? Atau...?"
"Aku mencintaimu. Justru itu aku tak ingin menyakitimu. Berilah aku waktu, Nes."
Lalu, apa yang harus aku lakukan, jika kau ingin meninggalkanku. Aku mengerti. Aku merasa bersalah. Tetapi keadaan membuatku demikian. Aku sendiri sangat membenci diriku sendiri.
"Dua tahun, Nes. Waktu yang kuberikan pada diriku sendiri juga buatmu. Seandainya kita bertemu kembali, dan kita belum milik siapapun. Berarti kita berjodoh."
"Mengapa begitu?" tanyaku sambil meraung. "Please, Pandu. Kumohon, jangan pergi dariku."
"Aku harus pergi, Nes. Percayalah. Aku sangat sayang padamu. Justru itu, aku akan pergi. Ijinkanlah aku. Sejenak aku ingin mencari jati diri. Dua tahun akan cepat berlalu. Lalu kita akan bertemu kembali." katamu. Memelukku erat sebagai tanda perpisahan. Aku sudah tak bisa berkata apa-apa dan hanya mengalirkan air mata.
Baiklah, Pandu. Aku akan setia. Carilah jati dirimu. Tak akan ada yang mampu memisahkan cinta kita. Tak juga.... dia.
***
Persiapan telah selesai. Aku akan segera menikah. Bukan hal yang mudah, ketika aku harus menikah dengannya. Butuh pertimbangan yang banyak dan beberapa rentetan peristiwa. Sesaat setelah Pandu pergi, ayah memaksaku untuk menikah dengan dia, Danang. Lelaki pilihan ayah. Anak sahabat Ayah. Yang terlanjur dijodohkan denganku, saat aku masih kecil.