Keberuntungan kadang memang datang di waktu yang tak terduga. Seperti saat tiba-tiba mendapat hadiah doorprize di acara car free day hari Minggu. Atau mendapat hantaran makanan dari teman saat tak sempat masak buat diri sendiri.
Satria mengenal Naira dari seorang sahabat yang menjadikan Naira dengannya menjadi dekat. Tak begitu ingat, sejak kapan kejadian ini. Ia memang benar-benar bilang pada Naira akan serius.
Dulu ia mengetahui Naira adalah seorang pegawai bank di mana ia sering mengunjunginya. Pada saat itu ia tidak terlalu perhatian padanya. Hanya sedikit rasa yang aneh saat bertemu. Tetapi ia cepat melupakan. Hanya berlalu begitu saja.
Tetapi sejak mengenalnya lewat Nety, angannya tiba-tiba mengembara pada seseorang yang ternyata adalah dia. Setidaknya ia pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian mereka menjadi terikat. Ia berjanji akan menjaga Naira seumur hidupnya.
Suatu keberuntungan buat Satria.
***
"Kamu yakin?" tatap mata ayah Naira seperti meminta jawaban pasti. Mata ayah memandang Satria tajam. Sebenarnya ia meragukan kesungguhan hati Satria. Tetapi Naira terlanjur menjatuhkan pilihan yang tak bisa ditawar, seperti harga mati saja.
"Yakin, ayah." jawab Naira mantap.
"Sudah kamu pikirkan?" dan pertanyaan itu seperti memaksa jawaban agar Naira menjawab "tidak". Tetapi Naira tetap pada pendirian. Ayahnya tak bisa memaksa. Hanya memberi restu dan berharap akan kebahagiaan putrinya.
***
Keterikatan antara Satria dan Naira berjalan baik-baik saja. Mereka menikah. Kebahagian datang. Wajah mereka jelas mencerminkan pasangan yang romantis. Bagai sebuah taman dengan bunga yang bermekaran warna-warni mirip pelangi. Juga berbau harum dan indah. Gemericik kolam yang ada di taman memberi keceriaan hati. Ibaratnya bangunan kokoh yang tampak nyaman karena taman yang hijau dengan bunga warna-warni. Alangkah kenikmatan itu mampu menenggelamkan mereka pada kebahagiaan sesungguhnya.
Apalagi di antara kebahagiaan tersebut, suatu anugerah datang di tengah-tengah mereka. Naira hamil. Satria bertambah sayang pada Naira. Tentu saja, Naira menjadi sangat bahagia. Begitu sayangnya Satria, maka ia menyuruh Naira agar berhenti bekerja, agar lebih fokus pada kehamilannya.
Naira sedikit keberatan. Karena toh ia bisa menjaga diri dan bayi yang ada dalam kandungannya tanpa harus berhenti bekerja. Bukankah jika ia berhenti bekerja maka ia tak lagi bisa menambah bantuan finansial? Padahal selama ini mereka terlanjur membeli mobil walaupun secara kredit.
Mobil itu sangat berarti untuk bisa mengunjungi orang tua Satria maupun dirinya. Jarak rumah dengan kedua orang tuanya memang lumayan jauh. Jika harus mengendarai motor, ia nyaris tak kuat karena capek. Apalagi kondisinya yang sedang hamil.
Tetapi Satria mampu meyakinkan dirinya bahwa akan mampu mengatasi masalah itu. Hingga akhirnya ia dengan lega hati keluar dari pekerjaan. Ia pikir, toh, semua untuk kepentingannya juga dan calon bayi yaang ada dalam kandungannya.
***
Dan Naira menjadi tak mengerti ketika pada suatu saat, Satria menjadi begitu pemarah. Dalam keadaan seperti ini, dari mulutnya mungkin akan keluar bisa yang sangat beracun seperti pedang yang baru terasah. Tajam sekali. Kemarahan yang memuncak di kepalanya menggedor-gedor mencari jalan keluar dan sasaran. Siapa lagi yang ada di dekatnya, jika bukan Naira.
Awal dari kemarahan bermula ketika Naira tak mampu mempertahankan kehamilannya. Bayinya mengalami keguguran. Satria kecewa. Tetapi, bukankah ia juga merasa kecewa? Bahkan mungkin lebih besar, karena ia yang mengalami kesakitannya. Bagaimana calon bayi yang ada dalam kandungannya, yang selalu ia jaga dan berinteraksi layaknya bayi yang sudah lahir. Tiba-tiba meninggalkan dirinya. Amat sakit.
Dan setiap kemarahan itu muncul, tak jarang benda melayang menuju ke segala arah. Naira hanya bisa terdiam. Apalagi sekarang posisinya yang tak lagi bekerja. Ia merasa menjadi orang yang tak berguna dan tak bisa membantu apa-apa. Sekarang ia menyesal, mengapa dulu ia keluar dari pekerjaan itu. Paling tidak, ia bisa sebentar keluar rumah yang tak lagi nyaman.
Kesalahan sedikit saja yang ia lakukan, bisa memicu kemarahan Satria. Entah salah meletakkan buku milik Satria saat membersihkan rumah atau kopi yang kurang manis. Naira hanya bisa diam. Hatinya lambat laun menjadi beku. Ia tak lagi bisa merasakan kesakitan ataupun sebuah kebahagiaan. Semuanya datar.
***
Bel rumah berdering.
"Ibu istrinya pak Satria? Suami ibu ada di rumah sakit. Tadi ditemukan terluka tak sadarkan diri. Lukanya tak begitu parah. Hanya sedikit lebam. Tetapi ia mengalami koma." kata seseorang di seberang sana.
Naira seperti biasa, hanya bisa terdiam. Ketika dirinya berada di rumah sakit, dilihatnya laki-laki yang dicintainya terbaring lemah. Nafasnya yang terlihat turun naik, terbantu oleh selang oksigen. Selebihnya Satria seperti tidur pulas.
Naira merasa bingung, apakah ia patut bahagia atau sedih? Karena dengan begitu ia tak lagi merasakan kesakitan karena luka hati dan fisik yang keluar dari diri Satria. Ia merasa bebas saat ini. Bebas dari kemarahan yang meledak dan ingin memecahkan sesuatu. Juga perkataan yang setajam belati.
"Pak Satria sakit tumor otak. Pada saat ia menyetir mobil, sakitnya kambuh. Ia tidak bisa mengendalikan laju mobil, sehingga menabrak pembatas jalan. Beruntung ia hanya sedikit luka. Tetapi penyakit tumor otak itulah yang membuatnya koma. Dan bisa saja penyakitnya itu dalam keseharian membuatnya sering marah dan tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Biasanya kemarahan itu meletup-letup dan ingin membanting sesuatu. Ia merasa kesakitan." tutur dokter yang merawat.
Naira terdiam. Seperti biasa ia tak mampu berkata banyak. Ia bingung, harus merasa bahagia atau sedih.
***
Semarang, 8 April 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H