Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hal yang Terungkap di Saat Terakhir

8 April 2018   14:08 Diperbarui: 9 April 2018   09:06 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu istrinya pak Satria? Suami ibu ada di rumah sakit. Tadi ditemukan terluka tak sadarkan diri. Lukanya tak begitu parah. Hanya sedikit lebam. Tetapi ia mengalami koma." kata seseorang di seberang sana.

Naira seperti biasa, hanya bisa terdiam. Ketika dirinya berada di rumah sakit, dilihatnya laki-laki yang dicintainya terbaring lemah. Nafasnya yang terlihat turun naik, terbantu oleh selang oksigen. Selebihnya Satria seperti tidur pulas.

Naira merasa bingung, apakah ia patut bahagia atau sedih? Karena dengan begitu ia tak lagi merasakan kesakitan karena luka hati dan fisik yang keluar dari diri Satria. Ia merasa bebas saat ini. Bebas dari kemarahan yang meledak dan ingin memecahkan sesuatu. Juga perkataan yang setajam belati.

"Pak Satria sakit tumor otak. Pada saat ia menyetir mobil, sakitnya kambuh. Ia tidak bisa mengendalikan laju mobil, sehingga menabrak pembatas jalan. Beruntung ia hanya sedikit luka. Tetapi penyakit tumor otak itulah yang membuatnya koma. Dan bisa saja penyakitnya itu dalam keseharian membuatnya sering marah dan tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Biasanya kemarahan itu meletup-letup dan ingin membanting sesuatu. Ia merasa kesakitan." tutur dokter yang merawat.

Naira terdiam. Seperti biasa ia tak mampu berkata banyak. Ia bingung, harus merasa bahagia atau sedih.

***

Semarang, 8 April 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun