Apalagi di antara kebahagiaan tersebut, suatu anugerah datang di tengah-tengah mereka. Naira hamil. Satria bertambah sayang pada Naira. Tentu saja, Naira menjadi sangat bahagia. Begitu sayangnya Satria, maka ia menyuruh Naira agar berhenti bekerja, agar lebih fokus pada kehamilannya.
Naira sedikit keberatan. Karena toh ia bisa menjaga diri dan bayi yang ada dalam kandungannya tanpa harus berhenti bekerja. Bukankah jika ia berhenti bekerja maka ia tak lagi bisa menambah bantuan finansial? Padahal selama ini mereka terlanjur membeli mobil walaupun secara kredit.
Mobil itu sangat berarti untuk bisa mengunjungi orang tua Satria maupun dirinya. Jarak rumah dengan kedua orang tuanya memang lumayan jauh. Jika harus mengendarai motor, ia nyaris tak kuat karena capek. Apalagi kondisinya yang sedang hamil.
Tetapi Satria mampu meyakinkan dirinya bahwa akan mampu mengatasi masalah itu. Hingga akhirnya ia dengan lega hati keluar dari pekerjaan. Ia pikir, toh, semua untuk kepentingannya juga dan calon bayi yaang ada dalam kandungannya.
***
Dan Naira menjadi tak mengerti ketika pada suatu saat, Satria menjadi begitu pemarah. Dalam keadaan seperti ini, dari mulutnya mungkin akan keluar bisa yang sangat beracun seperti pedang yang baru terasah. Tajam sekali. Kemarahan yang memuncak di kepalanya menggedor-gedor mencari jalan keluar dan sasaran. Siapa lagi yang ada di dekatnya, jika bukan Naira.
Awal dari kemarahan bermula ketika Naira tak mampu mempertahankan kehamilannya. Bayinya mengalami keguguran. Satria kecewa. Tetapi, bukankah ia juga merasa kecewa? Bahkan mungkin lebih besar, karena ia yang mengalami kesakitannya. Bagaimana calon bayi yang ada dalam kandungannya, yang selalu ia jaga dan berinteraksi layaknya bayi yang sudah lahir. Tiba-tiba meninggalkan dirinya. Amat sakit.
Dan setiap kemarahan itu muncul, tak jarang benda melayang menuju ke segala arah. Naira hanya bisa terdiam. Apalagi sekarang posisinya yang tak lagi bekerja. Ia merasa menjadi orang yang tak berguna dan tak bisa membantu apa-apa. Sekarang ia menyesal, mengapa dulu ia keluar dari pekerjaan itu. Paling tidak, ia bisa sebentar keluar rumah yang tak lagi nyaman.
Kesalahan sedikit saja yang ia lakukan, bisa memicu kemarahan Satria. Entah salah meletakkan buku milik Satria saat membersihkan rumah atau kopi yang kurang manis. Naira hanya bisa diam. Hatinya lambat laun menjadi beku. Ia tak lagi bisa merasakan kesakitan ataupun sebuah kebahagiaan. Semuanya datar.
***
Bel rumah berdering.