"Belum ada yang cocok, bu." jawabku pelan.
"Sava, dia dulu juga kuliah di kota ini lho, barangkali kamu mengenalnya. Fahrizal namanya."
Deg! Apakah dia Izal? Kamu? Fahrizal Pambudi? Kok kebetulan sekali? Apakah ini yang dinamakan jodoh? Ibu memang belum begitu mengenal Izal, karena aku mempunyai banyak teman. Antara aku dan Izal hanya bersikap teman biasa, meskipun berpacaran. "Apakah karena ini kamu menghilang? Karena dijodohkan? Dan kamu tahu sebelumnya? Curang! Kamu curang, Izal! " kataku dalam hati.
"Baik, bu, Sava akan mencobanya. Tapi tidak ada paksaan kan, jika aku nggak menyukainya?"
"Iya, ibu juga tidak memaksamu." Bapak berdehem, membuat aku dan ibu berpaling ke arah Bapak.
"Ayo, Sava, makan dulu, ini lho empal daging. Kamu suka kan? Pokoke mak nyus." Bapak nimbrung ikut berbicara, meniru gaya pak Bondan. Kami semua tersenyum.
Baiklah, aku makan dengan lahap. Ketika kami selesai bersantap malam, ibu menahanku untuk tidak segera masuk kamar.
"Sebentar Sava, ibu punya foto nak Fahrizal, ibu ambilkan, ya."Â
Fahrizal Pambudi?
*** Â
Terasa de ja vu, ketika akhirnya aku bertemu denganmu. Kamu masih sama seperti dulu.