"Tidak, aku takut ombak besar, tapi aku tetap harus menuju laut." seruku pula. Suaraku dan suara  Fera terdengar seperti dari kejauhan, padahal jarak kami hanya beberapa meter saja. Angin menyaput sebagian suara dan membawanya terbang, hingga terdengar pelan ketika sampai di telinga.
"Lalu, mau apa kau ke laut? Bukankah kau takut ombak besar? Ayolah, kita pulang. Sebentar lagi petang. Aku takut angin semakin keras dan membuat ombak semakin besar." kata Fera. Aku menjawab, aku sedang menunggu seseorang.
Fera tak mendengarnya, ia hanya melihat gerakan mulutku saja, hingga ia tak tahu maksudku. Deru ombak yang memecah karang di pinggir pantai, tiba-tiba datang. Mengaburkan suara itu.
"Apa? Kau mengatakan apa? Aku tak mendengar suaramu. Ulangi lagi perkataanmu."
"Aku menunggu seseorang, kau pulanglah dulu." seruku.
"Oh, bagaimana mungkin aku meninggalkanmu sendirian di tepi pantai? Aku tak akan tega melakukan itu. Ayolah, kita pulang. Dia tak akan datang secepat itu. Bahkan dia tidak tahu bila kau menunggunya di sini."
Aku tertunduk lunglai. Aku tahu dan selalu bersedih bila sedang memikirkan dirimu.
"Fera, dia berjanji padaku, akan datang di musim kedua musim bunga ilalang. Sedangkan saat ini, musim bunga ilalang untuk kedua kalinya semenjak ia menjanjikan itu, kan?" kataku sambil mendekat ke Fera.
"Ah, Nadine, aku tahu itu. Tapi janji itu, apakah kau masih tetap mempercayainya? Sedangkan ia tak pernah memberi kabar sedikitpun?"
"Fera, kau tahu? Perasaanku mengatakan bahwa dia semakin dekat di hatiku. Tadi malam aku bermimpi, dia mengatakan sesuatu dan tersenyum padaku. Bukankah itu pertanda bahwa dia baik-baik saja?"
"Ya, aku tahu, Alfin memang cinta pertamamu, Nadine. Tapi bukan berarti kau harus berbuat yang berlebihan hingga melebihi nalarmu kan?"