Tiba-tiba nafasmu semakin tak beraturan, ada, tak ada, lalu....
"Dayu, aku mencintaimu, selamat jalan Dayu."
Aku menidurkanmu di tempat tidur, kau tersenyum, tenang.
Dadaku semakin terasa sakit, ngilu, tiba-tiba perih sekali seperti terpukul sembilu. Aku membaringkan tubuhku disisi Dayu istriku, dan aku ingin tidur.
Kau menunggu di pintu kamar. Bajumu putih berenda dan cantik. Kau masih muda, menungguku dengan sabar.
"Laksono, mari kita bergandengan tangan, kita pergi". Aku mengiyakan.
Tiba-tiba aku merasa ringan, dan tubuhku seperti terangkat. Aku memakai baju putih bersih, dan menujumu. Aku berusia muda seperti dirimu.
Kita berjalan bergandengan menuju satu titik cahaya. Sempat kutengok ke belakang, di sana ada sosok Dayu tua dan Laksono tua berbaring bersebelahan, seakan tidur, dalam tidur panjang yang tenang, dengan membawa cinta kasih sejati.
Tak berapa lama, ramai orang-orang berdatangan kerumah kita. Mereka menangis pilu, anak kita, saudara kita, tetangga kita, teman-teman kita.
***
Dan ketika tanah merah itu masih basah, di sana ada nama: Broto Laksono dan Dayu Murti yang bersatu dalam satu liang.