Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ketika Kulihat Kau Semakin Tua

14 Januari 2018   07:40 Diperbarui: 22 Mei 2023   12:16 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kulihat kau tampak semakin tua, dengan syal di leher dan batuk kecil. Kau semakin indah di mataku. Guratan-guratan tipis di sekitar mata, membuatmu anggun, bahkan mampu memancarkan sinar keibuan yang kental.

Kau seorang wanita yang tangguh, begitu tabah menemaniku dalam keadaan apapun. Dalam ukuran wanita normal, kau mampu melewati segala permasalahan yang membelenggu selama ini. Kau tak pernah mengeluh, bahkan sedikit menggerutupun tidak. Aku tak pernah mendengarnya.

Kau menerima dengan ikhlas kehidupan kita. Menjalani hidup di desa. Dengan berbekal keahlianku mencari batu, tak banyak yang bisa aku berikan padamu. Kadang ketika musim panen tiba, maka banyak mereka membangun rumah membutuhkan batu, mereka memesan padaku, itupun tak seberapa.

Dan ketika musim paceklik, batu banyak menumpuk di pekarangan rumah menunggu pembeli datang. Kau tak pernah mengeluh, selalu saja kau bisa mengatur segala kebutuhan hidup dengan baik.

Bahkan ketika banyak kekurangan dalam bidang finansial kau dengan cekatan menutupnya dengan penghasilanmu sebagai pengarang. Honormu sebagai pengarang itu pulalah yang mampu menyekolahkan anak kita hingga ke perguruan tinggi dan sekarang bekerja sebagai pegawai bank.

Kau tak pernah menuntut apapun dariku, kau hanya butuh cintaku, cinta yang tulus dari seorang lelaki pencari batu seperti diriku.

Beberapa puluh tahun yang lalu, ketika kunyatakan cintaku padamu, aku seorang lelaki muda yang gagah, anak seorang kaya di kampung kita. Ya, orangtuaku memang terpandang di kampung. Tapi aku tak pernah merasa kaya, aku hanya seorang lelaki yang kebetulan hidup di lingkungan orang kaya. Dengan keras kepala, ketika aku tak mau menerima bantuan dari siapapun termasuk orang tuaku untuk membantu keuangan, kau bahkan mendukungku. Uang bukan segalanya, katamu saat itu. Dengan cinta kita kita bisa hidup. Dan kau buktikan hingga sekarang.

***

Beberapa hari ini, batukmu kian menjadi, kau bahkan sampai sesak nafas. Aku tahu, kau sangat menderita, tapi tak pernah kau tampakkan. Kau tetap tersenyum. Ketika menyambutku pulang dari mengambil batu. Senyuman tulusmu, membuatku tetap semangat dan tetap hidup dengan segala keterbatasanku. Apapun yang aku peroleh hari itu kau terima dengan hati ikhlas, tak pernah memprotes.

Bahkan kadang aku yang protes, kenapa kau tak pernah protes terhadap diriku. Kau menjawab, "Sayang, dalam hidup, kadang-kadang keputusan yang terbaik adalah menerima keadaan, apapun keadaan itu."

Dan bila kau yang mengatakan itu, aku seperti berada di gunung es yang sejuk dan dingin, nyaman sekali. Aku benar-benar merasa beruntung memiliki dirimu. Kau bukan saja sebagai penasehat hidupku, tapi kau juga sekaligus penyejuk jiwaku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila aku hidup tanpa dirimu.

***

Hari ini seperti biasa, pagi hari setelah subuh, kau telah mempersiapkan segala kebutuhanku untuk bekerja pagi ini. Tak lupa kau membawakan bekal makan siang untukku. Kau selalu perfekto untuk ukuran seorang ibu rumah tangga.

Kau berkata, "Sayang, hari ini aku memasak oseng jamur dan bacem tahu kesukaanmu untuk bekal makan siangmu, kau harus jaga diri, jangan terlalu memforsir diri. Cukup kau menyuruh Danu dan Kus untuk mengumpulkan batu. Tetap semangat sayang, cintaku bersama."

Seperti biasanya dengan senyum tulus mengembang dari bibirmu yang agak pucat. Dan seperti biasanya pula aku berangkat dengan semangat yang berasal dari dirimu, kukemasi perlengkapan kerjaku.

***

Batukmu semakin bertambah. Ketika kutanya dirimu, apakah kau baik-baik saja, kau menjawabnya, "Aku baik-baik saja sayang, hari ini aku harus menyelesaikan satu cerita yang sedikit lagi memasuki ending cerita. Cintamu membuatku semangat, jangan kawatirkan tentang diriku."

Aku berangkat dengan langkah berat, meski ada sesuatu yang aku tak tahu sangat memberati langkahku. Mungkin karena dirimu yang sakit dan aku tak mampu berbuat banyak untuk menyembuhkan sakitmu atau karena batukmu hari ini yang semakin menjadi. Entahlah.

Pagi ini aku harus berangkat lebih awal karena pesanan batu banyak dan tak bisa menundanya. Seperti biasanya dan seperti hari-hari sebelumnya. Setelah subuh aku berangkat mencari batu, dan kau memulai aktivitasmu di balik laptop kesayanganmu. Semua berjalan seperti biasanya.

Tapi pagi ini kau kelihatan pucat dan sayu, serta batuk yang tak kunjung henti. Selalu kau bilang aku tak apa-apa sayang, tidak usah terlalu menjadi beban pikirmu. 

Aku melihat guratan tua di wajahmu semakin bertambah, apalagi uban yang tiap hari kian bertambah. Bila aku bilang kau tampak cantik dengan ubanmu, kaupun menjawab, bila kita melihat uban dirambut kita bertambah, itu berarti kita melihat keberhasilan kita juga bertambah, sayang. Keberhasilan tak harus berupa materi atau harta, tapi kasih sayangmu kepadaku yang tak pernah putus, membuktikan keberhasilanmu agar kita senantiasa berada dalam koridor cinta. Aku mencintaimu tanpa syarat, hanya cinta yang yang tak dilebih-lebihkan, demikian juga sebaliknya dirimu.

Aku tersenyum mendengar uraianmu yang panjang lebar, seolah-olah besok kita tak akan bertemu lagi. Bagaimana aku bisa memalingkan cintaku padamu, kau begitu teduh dan syahdu. Itulah dirimu. Dayu.

***

Ketika siang belum lagi membubung, aku harus cepat-cepat pulang, ada sesuatu yang memanggilku agar aku cepat pulang. Kutitipkan semua pekerjaan pada Danu dan Kus, lalu aku segera pulang. Firasat itu memanggilku, ketika pagi tadi sorot matamu yang semakin sayu, meski kau berusaha menyembunyikannya, tapi aku tahu perubahannya.

Oh, Dayu, aku tiba-tiba ingin dekat denganmu.

Kukayuh sepeda tuaku secepat mungkin untuk bisa berjumpa denganmu. Semakin cepat dan cepat, ketika aku sampai rumah dan kuketuk pintu dengan nafas yang harus kuatur, aku merasakan sedikit sakit di bagian dada. Aku tak sabar untuk berjumpa dengan dirimu.

"Sayang, kaukah itu?" tanyamu pelan.

"Iya sayang, bagaimana keadaanmu? Entah sesuatu apa yang membawaku agar aku pulang lebih awal. Dayu, kau baik-baik saja kan?"

Aku tersentak, kau terbaring lemah di tempat tidur yang berseprai bersih. Kau lemas dan pandangan itu masih sayu. Batukmu semakin menjadi. Aku memelukmu erat. Pelukanmu lemah, tapi mengandung makna yang dalam.

"Laksono suamiku, masihkah kau mencintaiku, meski keadaanku lemah tak berdaya seperti ini?"

"Dayu istriku, mengapa kau menanyakan hal itu, kau tak perlu bertanya, tapi kau telah tahu jawabannya, tentu saja aku sangat mencintaimu, kau wanita paling sempurna untukku. Aku mencintaimu dulu dan sekarang, tak berkurang sedikitpun."

"Aku tak kuat lagi sayang, peluklah aku, jangan kau lepas, aku ingin tidur dipelukmu selamanya,"

Aku memelukmu erat, erat sekali, seakan tak pernah aku lepas. Sementara dadaku semakin terasa sakit. Kau tersenyum syahdu, sambil memejamkan mata. Tenang.

Tiba-tiba nafasmu semakin tak beraturan, ada, tak ada, lalu....

"Dayu, aku mencintaimu, selamat jalan Dayu."

Aku menidurkanmu di tempat tidur, kau tersenyum, tenang.

Dadaku semakin terasa sakit, ngilu, tiba-tiba perih sekali seperti terpukul sembilu. Aku membaringkan tubuhku disisi Dayu istriku, dan aku ingin tidur.

Kau menunggu di pintu kamar. Bajumu putih berenda dan cantik. Kau masih muda, menungguku dengan sabar.

"Laksono, mari kita bergandengan tangan, kita pergi". Aku mengiyakan.

Tiba-tiba aku merasa ringan, dan tubuhku seperti terangkat. Aku memakai baju putih bersih, dan menujumu. Aku berusia muda seperti dirimu.

Kita berjalan bergandengan menuju satu titik cahaya. Sempat kutengok ke belakang, di sana ada sosok Dayu tua dan Laksono tua berbaring bersebelahan, seakan tidur, dalam tidur panjang yang tenang, dengan membawa cinta kasih sejati.

Tak berapa lama, ramai orang-orang berdatangan kerumah kita. Mereka menangis pilu, anak kita, saudara kita, tetangga kita, teman-teman kita.

***

Dan ketika tanah merah itu masih basah, di sana ada nama: Broto Laksono dan Dayu Murti yang bersatu dalam satu liang.

Cinta sejatinya tak berbatas ruang dan waktu.

Semarang, 14 Januari 2018.

For: my day.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun